Rapuhnya ‘Kaum Intelektual’

  • Bagikan
Pemerhati Politik dan Kandidat Doktor di Unhas, Anis Kurniawan

Oleh: Anis Kurniawan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kaum intelektual atau cendekiawan memiliki posisi penting sebagai penjaga moral bangsa. Keberadaannya menjadi penyimbang di tengah gelombang politik dan konflik elit. Intelektual ada di titik tengah. Mereka bertindak sebagai pencerah. Karenanya, dituntut netral dan independen dalam menyikapi dinamika politik.

Independensi tersebut amat krusial agar kaum intelektual tetap merdeka dalam menyuarakan ketimpangan dan ketidakadilan. Termasuk mengkritisi borok kepemimpinan dan kekuasaan.

Peran intelektual juga dinantikan sebagai komunikator massa dalam masyarakat. Derajat pengetahuan, moralitas, dan independensi mereka, membuatnya dipercaya publik. Mereka adalah sandaran juga oase kebenaran.

Kaum intelektual memperjuangkan nilai kebajikan (virtue) etika politik, dan prinsip-prinsip kebijaksanaan (wisdom). Ketiganya adalah basis fundamental dari suatu demokrasi.

Kaum intelektual ibaratnya adalah petugas nilai yang terpandang karena idealisme. Bila basis fundamental demokrasi ini terkoyak karena kaum intelektual berpaling, demokrasi kita akan terjerembab ke dalam kubangan. Pada saat itu, demokrasi dan kepemimpinan politik akan nir-nilai—menjadi pragmatis, dilandasi ego yang kuat, oportunis, dan materialis.

Kabar buruknya, demokrasi kita bergerak mundur ke titik nadir ini. Meminjam istilah Julien Benda, intelektual telah berkhianat. Intelektual bermetamorfosis sebagai politisi. Intelektual juga berdiri sebagai volunteer politisi.

Sebagian lagi tiarap di balik buku-bukunya yang sesak. Juga yang melupakan perannya sebagai kelompok kritis dan penjaga moral, lantaran tugas-tugas akademik, beban jurnal, dan semacamnya.

Di kampus-kampus, budaya politik barbar juga tampaknya telah melanda. Ada banyak kasus hukum yang melibatkan guru besar dan cendekia justru disulut dari bobroknya tradisi berdemokrasi di kampus-kampus. Ini cukup ironis!

Jauh sebelum reformasi, kampus-kampus di Indonesia sejatinya bertumbuh dengan kualitas demokrasi yang kondusif. Dan itu tampak dari lembaga-lembaga kemahasiswaan—sementara para dosen bertindak sebagai “sharing partner” yang baik—membersamai dalam diskusi-diskusi filsafat dan tema-tema progresif lainnya.

Bila dibandingkan dengan saat sekarang. Dua dekade lebih pascareformasi, wajah kampus kita memang berubah. Yah, perubahan memang kadang sulit terelakkan. Setiap masa memang punya dinamikanya sendiri. Tapi, poinnya adalah kampus mestinya perlu bangun dari tidur panjangnya. Dua puluh tahun rasanya sudah cukup terninabobokkan. Sudah terlampau banyak pelajaran yang memadai untuk kita berbegas berbenah. Bangkit! Melihat dengan kejernihan akal sehat.

Sudah saatnya kita kembali ke format ulang terminologi intelektual seperti dibayangkan Profesor Edrward Said. Dalam bukunya “Representation of Intellectual”, Said menegaskan bahwa ciri intelektual adalah mereka yang tidak ikut-ikutan menceburkan diri dalam sebuah sistem kekuasaan. Sebaliknya, mereka bergerak sebagai pencerah dalam menuntun pada nilai-nilai keluhuran. Mereka bertindak kritis dalam membela masyarakat agar tidak terjebak pada hegemoni kekuasaan tertentu.

Memang sudah ada pada fase akut. Bukan perkara mudah untuk membalikkan keadaan. Di saat satu-satu para intelektual menjelma politisi, kehilangan daya kritis, dan “melacur”. Kita hanya perlu memulai menyuburkan daya kritis dan cara pandang yang terbuka.

Harapan itu ada pada dosen-dosen muda yang basis intelektual dan aktivisme-nya kuat. Mereka cukup dominan di kampus-kampus. Meski minim kekuatan secara struktural, mereka sejatinya punya kekuatan besar bernama kepingan idealisme. Yang tersisa usai tergerus sekian tahun.

Ini proyek intelektual yang tidak gampang. Disadari atau tidak, terbunuhnya 'kaum intelektual' juga didambakan sekelompok kepentingan. Intelektual yang rapuh, menjadi jalan masuk kekuasaan yang barbar dan tak berempati pada keadilan sosial.

Semoga saja, tidurnya kaum intelektual justru dijadikan sebagai momen “katarsis” untuk kembali pulih sebagai intelektual sejati. Kita memerlukan penyeimbang agar demokrasi tidak hanya surplus kata-kata, tetapi juga makna-makna—di sanalah peran kaum intelektual. (*)

  • Bagikan