Putusan MK Tak Bisa Dianulir

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dewan Perwakilan Rakyat berupaya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan Nomor 70 mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia calon gubernur.

Praktik pengingkaran terhadap putusan MK tersebut dilakukan dengan dalih revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah 2024. Pembahasan RUU ini secepat kilat dilakukan sehingga gelombang penolakan dari seluruh elemen masyarakat. DPR hanya menunda rapat penetapan RUU Pilkada, namun operasi menolak putusan MK tersebut masih akan dilanjutkan.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan penundaan rapat penetapan RUU Pilkada karena jumlah anggota DPR yang hadir tidak kuorum.

“Hanya 89 hadir, izin 87 orang, oleh karena itu kita akan menjadwalkan kembali rapat Bamus untuk rapat paripurna karena kuorum tidak terpenuhi,” kata Dasco di Gedung Parlemen DPR RI, (22/8/2024).

Dasco belum memastikan sampai kapan penundaan ini dilakukan. Penundaan ini diketok saat Dasco memimpin sidang.

Sebelumnya DPR RI dijadwalkan akan mengesahkan RUU Pilkada setelah mengesahkan draf RUU ini, sehari sebelumnya. Badan Legislasi dan Pemerintah menggelar empat rapat selama tujuh jam. Draf ini pun disepakati dalam waktu sehari.

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua putusan pada 20 Agustus yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara sah, diturunkan berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT).

Ada empat klasifikasi besaran suara sah berdasarkan putusan MK, yakni 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Berdasarkan klasifikasi ini, syarat ambang batas untuk Jakarta adalah 7,5 persen suara sah.

Akan tetapi, Baleg DPR RI dan Pemerintah berupaya mengakali Putusan MK ini. DPR memasukan syarat ambang batas di dalam Pasal 40 draf RUU Pilkada. Namun, panitia kerja DPR RI hanya menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD.

Dalam draf RUU Pilkada, partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas Pilkada. Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Ketentuan RUU Pilkada ini membuat PDIP tidak bisa mencalonkan gubernur dan wakil gubernur di Jakarta. Lewat Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi juga memutuskan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon.

Alih-alih mematuhi Putusan MK, DPR justru memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan MA menyebutkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.

Putusan MA menuai polemik karena dianggap menjadi karpet merah untuk Kaesang maju di Pilkada. Saat ini usia Kaesang 29 tahun. Ia akan genap berusia 30 tahun pada Desember 2024 atau empat bulan setelah masa pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka. Sehingga menerapkan Putusan MA sama saja membuka peluang bagi Kaesang untuk diusung sebagai calon gubernur.

Dalam draf RUU yang disetujui DPR RI berbunyi usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Ketentuan ini otomatis memberi karpet merah kepada Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi untuk maju di Jawa Tengah sebagai bakal calon wakil gubernur.

Pengamat hukum dan politik dari Universitas Hasanuddin Profesor Amir Ilyas menyebut, DPR tidak bisa begitu saja membatalkan putusan MK melalui revisi UU Pilkada. Alasannya, dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 sesungguhnya sudah jelas batas terendah untuk calon gubernur yaitu 30 tahun.

"Yang jadi perdebatan sekarang, MA juga sudah memutus syarat calon berkenaan dengan umur yang menguji Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota (Putusan Nomor 23 P/HUM/2024)," ujar Amir.

Untuk itu, menurut Amir, bila memaknai batas umur 30 tahun tersebut berlaku sejak calon gubernur dilantik, bukan sejak ditetapkan sebagai paslon.

Terlebih sekarang ini, kata dia, dengan berdasarkan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam pertimbangannya dinyatakan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.

"Artinya MK memaknai untuk batas usia yang 30 tahun itu sudah harus terpenuhi sejak ditetapkan sebagai pasangan calon, bukan saat dilantik," imbuh Amir.

Amir mengatakan yang diuji materil oleh Mahkamah Agung adalah PKPU, sedangkan MK melakukan pengujian materil pada undang-undang. Itu sebabnya, kata dia, UU lebih tinggi tingkatannya daripada PKPU. Sehingga, menurut Amir, sangat jelas putusan MK yang menegaskan persyaratan calon terkait dengan umur 30 tahun yang dihitung sejak penetapan pasangan calon yang berlaku.

Bukan hanya itu, Amir juga menuturkan, jika DPR yang mengubah UU Pilkada (revisi terbatas), berbeda dengan pemaknaan yang dalam putusan MK, misalnya DPR mengubahnya dengan waktu menghitung batas umur tersebut, sejak calonnya nanti dilantik. Apakah putusan MK itu dapat dinyatakan batal atas revisi terbatas UU?.

"Kalau dalam hemat saya, tidak bisa DPR membatalkan putusan MK dengan cara merevisi UU," jelas Amir.

Atas masalah tersebutlah, ia memberikan beberapa argumentasi hukumnya di antaranya, putusan MK dinilai memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47 UU MK). Menurut dia, putusan MK itu juga disebut wajib dimuat dalam berita negara, sehingga putusan merupakan bagian dari ketentuan atau pasal yang sudah diuji materiil yaitu Pasal 57 ayat 3 UU MK.

"Justru DPR dalam membentuk undang-undang (termasuk melakukan perubahan/revisi terbatas), materi muatan yang harus diatur salah satunya harus berisi tindak lanjut atas putusan MK (Pasal 10 ayat 1 huruf d UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)," kata dia.

Lalu, Amir menjelaskan, apa masih ada jalan lain, materi muatan yang diatur dalam revisi terbatas UU, misalnya berbeda dengan apa yang terdapat dalam putusan MK?. Menurut dia, masih ada, yaitu kalau pembentuk undang-undang atau dalam hal ini DPR bersama dengan pemerintah menganggap ketentuan yang dimunculkan itu karena pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat sebagaimana dalam Pasal 10 ayat 1 huruf e UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Namun kasus yang sekarang, usia calon diutak-atik batas waktu menghitungnya, mau dikembalikan usia 30 tahun dihitung sejak calon dilantik sebagai gubernur. Termasuk dalam hal ini syarat persentase pengusungan calon melalui Parpol, 6,5 persen sampai dengan 10 persen berdasarkan DPT, dengan berdasarkan suara sah dari pemilu DPRD terakhir baik yang mendapatkan kursi di DPRD maupun yang tidak mendapat kursi (Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024)," tutur Amir.

"Kemudian oleh DPR syarat itu dimaknai dengan menambahkan satu ketentuan di Pasal 40 UU Pemilihan, syarat dimaksud hanya berlaku untuk parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD. Saya kira ini bukan lagi soal perubahan UU karena pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Tapi ini sudah berada dalam pemenuhan kepentingan untuk golongan atau kelompok tertentu saja. Saya kira publik bisa melihat apa yang terjadi saat ini," imbuh dia.

Makassar Bergolak

Sementara itu, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar bersama masyarakat sipil menggelar unjuk rasa di sepanjang Jalan A.P. Pettarani-Jalan Urip Sumoharjo, tepatnya di bawah flyover sebagai titik. Massa ikut mengawal putusan MK dan menolak rencana DPR RI mengesahkan RUU Pilkada.

Sejumlah kelompok mahasiswa menggunakan almamater kampusnya berdatangan di bawah Flyover, bersama masyarakat dan organisasi sipil lainnya. Beberapa dosen dari Unhas Makassar juga terlihat hadir mendampingi mahasiswinya menyampaikan aspirasinya.

Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Azis Dumpa mengatakan aksi mahasiswa dan masyarakat ini merupakan bentuk perlawanan secara spontan terhadap rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang sewenang-wenang mengobrak-abrik konstitusi guna melanggengkan kekuasaannya.

"Aksi ini murni perlawanan mahasiswa, rakyat, buruh, dan petani atas penghancuran demokrasi dan konstitusi, yang hari ini kita tau DPR RI dan rezim Jokowi sedang membahas RUU Pilkada untuk menganulir putusan MK," kata Azis.

"Jadi teman-teman berkumpul menyampaikan pesan perlawanan bahwa pemilik konstitusi sebenarnya adalah rakyat. Pemilik kekuasaan adalah rakyat dan rakyat hadir di sini untuk menentukan nasibnya itu sendiri," sambung dia.

Dia menjelaskan, gerakan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat ini dilakukan untuk menentang rezim Jokowi dan koalisinya di DPR yang ingin 'membajak' demokrasi lewat Revisi UU Pilkada untuk menganulir putusan MK.

"Teman-teman membawa pesan yang sama untuk menyampaikan pesan kepada presiden Joko Widodo, DPR untuk segera menghentikan pembahasan RUU Pilkada. Kami menyerukan pesan bahwa sudah saatnya rakyat menentukan nasibnya. Rezim otoriter hari ini akan ditumbangkan oleh rakyat jika masing-masing menuruskan segala proses yang akan membungkam demokrasi yang akan menggerogoti konstitusi," ujar Azis.

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Endang Sari menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat. Ia menilai penundaan paripurna oleh DPR adalah tepat, namun lebih tepat lagi bila dibatalkan.

"Karena berbagai riak-riak bermunculan menandakan demokrasi sedang tidak baik-baik," ujar Endang.
Menurut dia, putusan MK tersebut harus segera ditindaklanjuti sehingga KPU wajib melaksanakan putusan tersebut menjaga kepercayaan publik.

"Ini adalah keputusan MK yang sifatnya final dan mengikat serta wajib ditindaklanjuti," imbuh dia.

Dia menilai putusan MK yang mengubah syarat usungan di Pilkada memiliki karakteristik yang sama dengan putusan soal batas usia calon di pilpres lalu. Putusan itu merupakan mandat konstitusional dari MK.

"Publik tahu bahwa karakteristik putusan ini sama dengan putusan MK nomor 90 tahun 2023 kemarin tentang syarat usai di pemilihan presiden dan wakil presiden. Sikap KPU pada saat itu langsung menindaklanjuti putusan MK dengan melakukan revisi PKPU," kata Endang.

"Artinya dengan karakteristik yang sama ini juga segera direspons karena ini terkait dengan mandat konstitusional yang sudah dikeluarkan MK sebagai lembaga yang berwenang dan ini wajib ditindaklanjuti," sambung dia.

Dia menilai tak ada alasan DPR RI untuk mengulur menindaklanjuti putusan MK tersebut. Alasannya, pada saat putusan MK soal batas usia calon di Pilpres lalu, KPU langsung menindaklanjutinya meski tahapan pencalonan makin mepet.

"Tenggat waktunya juga sama dengan yang kemarin jadi tidak ada alasan KPU untuk tidak merevisi PKPU," kata mantan komisioner KPU Makassar itu.

Dia khawatir publik tak lagi percaya KPU dan DPR bila putusan MK ditangguhkan. Apalagi dia menilai elite politik mencoba mengatur Pilkada berjalan sesuai kepentingannya di sejumlah daerah. Menurut dia, sikap DPR akan berdampak pada pertaruhan kepercayaan masyarakat.

"Karena sepertinya pilkada dicoba di setting untuk lebih berpihak kepada kepentingan koalisi gemuk yang terjadi di banyak daerah dan ini sangat tidak sehat bagi demokrasi," ujar dia.

Dia berharap konsultasi KPU dengan DPR segera dirampungkan. Selanjutnya KPU segera melakukan revisi PKPU pencalonan.

"Kita berharap konsultasi itu cepat selesai dan kemudian segera dilakukan revisi PKPU pencalonan," imbuh Endang.

Dia optimistis, KPU akan menjalankan putusan MK tersebut meski waktunya terbatas. Pada saat revisi batas usia calon presiden dan wakil presiden, KPU bisa melakukannya dengan mudah tanpa koordinasi yang berbelit-belit.
Situasinya juga sama dan itu (putusan batas usia capres-cawapres) segera ditindaklanjuti dengan revisi PKPU pencalonan pada saat itu. Sehingga ini pun seharusnya bisa dilakukan dengan cepat.

"Mekanisme koordinasinya tidak berbelit-belit padahal poinnya lebih krusial karena terkait dengan usia calon wakil presiden pada saat itu," kata dia. (isak pasa'buan-suryadi/C)

  • Bagikan