Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Demokrasi tanpa hukum bagaikan pertandingan tanpa aturan. Setiap orang boleh menggunakan apa saja untuk meraih kemenangan, termasuk cara tidak terpuji, bahkan tindak kriminal. Demokrasi seperti inilah yang kini terjadi di Indonesia.
Kita bisa memahami jika ada pihak yang berpendapat, demokrasi belum cocok bagi Indonesia, negara berpenduduk 270 juta dengan pendapatan per kapita US$ 3.800, orang miskin 12 juta, pengangguran terbuka 7,5 juta, setengah penganggur lebih dari 50 juta, dan pekerja informal 75 juta.
Berbagai kesemrawutan, maraknya korupsi, suburnya dinasti politik, saratnya money politics, vote buying, dan counting manipulation dalam pemilu merupakan bukti yang ditunjukkan sebagai dampak langsung dari demokrasi. Harapan terhadap demokrasi sebagai jalan terbaik untuk menggapai kesejahteraan tidak terwujud.
Bukan hanya kaum pendukung Orba yang kecewa, dengan mengatakan lebih enak zaman Pak Harto. Sebagian kelompok prodemokrasi juga sudah mulai gerah dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Pekan lalu, seorang ekonom dan juga politisi dari sebuah partai besar-yang pada era Orba dimarginalkan-menilai sistem demokrasi tidak cocok bagi Indonesia. Ia menyarankan sistem politik semidemokrasi dan semiotoriterianisme. Tidak semua pemimpin eksekutif harus dipilih langsung oleh rakyat.
Cukup presiden yang dipilih langsung. Gubernur dan bupati dipilih oleh presiden dari nama-nama yang diajukan DPRD. Presiden terpilih diberikan wewenang lebih besar dalam mengelola negara. Jabatan penting negara–seperti kapolri dan panglima TNI–tidak perlu disaring oleh DPR, cukup ditunjuk oleh presiden. Singapura dan RRT adalah contoh negara yang sukses membangun ekonomi, bukan dengan cara demokrasi liberal seperti Indonesia.
Di kedua negara itu, tidak ada sistem multipartai yang menguras energi seperti di Indonesia. Dengan beberapa partai dan satu partai besar sebagaisingle majority, pemerintahan menjadi kuat untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Program pembangunan lebih mudah dijalankan tanpa banyak pertengkaran di parlemen. Kabinet lebih kompak karena para menteri diambil dari satu partai.
Kritik terhadap demokrasi di Indonesia merupakan ungkapan kekecewaan terhadap penyelenggaraan negara yang amburadul. Para pengkritik sesungguhnya bukan tidak percaya kepada demokrasi sebagai sistem politik terbaik yang ditemukan manusia sepanjang sejarah. Penilaian mereka merupakan ungkapan kekecewaan terhadap para penyelenggara negara yang menikmati situasi centang perenang akibat demokrasi tanpa hukum.
Masalah penyelenggaraan negara di Indonesia bukan terletak pada demokrasi sebagai sistem politik yang diterapkan sejak 1998. Sebagaimana bukti empiris yang ditunjukkan berbagai negara di dunia, demokrasi adalah sistem politik terbaik. Disebut terbaik karena lewat sistem politik yang demokratis, rakyat diberikan hak untuk memilih pemimpin politiknya dan mengontrol jalannya penyelenggaraan negara.
Lewat para wakil rakyat yang dipilih, rakyat ikut menyusun undang-undang, menyusun budget negara, mengawasi, dan mengontrol penyelenggaraan negara. Rakyat memilih para pemimpin eksekutif, mulai dari presiden hingga bupati. Di luar sistem kelurahan, rakyat memilih langsung kepala desa.
Tapi, sistem demokrasi seperti ini tidak diterapkan dengan benar di bumi Pancasila ini. Demokrasi mensyaratkan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) serta jujur dan adil (jurdil). Ini semua tidak terwujud karena demokrasi diterapkan tanpa dukungan hukum yang kuat.
Bagai burung yang terbaik dengan satu sayap dan kelelahan, begitu pula demokrasi tanpa sayap hukum. Masalah hukum di Indonesia tidak semata-mata terletak pada penerapan yang lemah, melainkan juga perangkat hukum yang tidak jelas dan saling bertentangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan terlalu besar dalam memutuskan sengketa pilkada. Keputusannya bersifat final dan mengikat. Kewenangan yang terlalu besar ini menggoda para hakim lembaga ini untuk korup. Kasus tangkap tangan ketua MK Akil Mochtar adalah bukti tak terbantahkan betapa MK menjadi sarang korupsi dan ajang untuk memenangkan pihak tertentu yang didukung kekuatan uang dan politik.
Sejumlah hakim MK adalah orang parpol, sesuatu yang sesungguhnya diharamkan. Tidak heran jika jauh lebih banyak keputusan MK yang tidak adil dan hanya menguntungkan pihak yang membayar lebih besar dan berasal dari parpol tertentu. MK–yang mendapat kewenangan besar dari UUD–tidak membela yang benar, melainkan membela yang bayar dan yang kuasa. Selain itu, sengketa pilkada selama ini diselesaikan oleh sejumlah lembaga, sehingga membingungkan para pencari keadilan. Ini beberapa contoh hukum yang harus diamendemen.
Demokrasi di Indonesia hanya bisa berjalan dengan baik bila ada reformasi hukum. UU Parpol dan UU Pemilu perlu direvisi lagi agar parpol memiliki sumber pendanaan yang jelas. Kampanye pemilu yang selama ini menguras banyak uang bisa diatur lebih sederhana, adil, dan tidak perlu mengerahkan dana besar.
Demokrasi tanpa hukum hanya melahirkan situasi hukum rimba: yang berdaulat bukan rakyat, melainkan kaum berduit dan yang memegang kekuasaan. Tanpa hukum, suara rakyat dapat dengan mudah dibeli dan dimanipulasi. Tanpa hukum, pemilu hanya ajang untuk melegitimasi jalan politik para koruptor, bandit, dan pemegang dinasti menuju tampuk kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Tanpa hukum, demokrasi tidak bisa menyejahterakan rakyat.
Sudah lama demokrasi di Indonesia dikritik sebagai demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif. Secara formal, ada sejumlah ciri-ciri demokrasi, yakni adanya partai politik, wakil rakyat, dan pemilu, bahkan pilpres dan pilkada langsung.
Tapi, secara substansial, yang terpilih menjadi wakil rakyat dan pemimpin eksekutif adalah mereka yang didukung kekuatan uang. Agar burung demokrasi bisa terbang dengan dua sayap, amendemen UU bahkan UUD perlu segera dilakukan. Demokrasi tanpa hukum hanya menghadirkan para bandit di panggung politik. Inilah tragedi demokrasi yang harus segera diakhiri.
Dan, Pemilu 2024 adalah sebagai tonggak untuk melihat apakah demokrasi sudah sesuai dengan substansinya atau tidak. Dengan maraknya kecurangan yang ada seakan menandai jalan buruk demokrasi lima tahunan. Tragedi dalam politik menandai indeks demokrasi kian menurun bukan karena tingkat partisipasi yang rendah tetapi adanya gejala yang mencoba membatasi pikiran dalam setiap event diskusi.
Berbagai alasan yang membatasi; karena tekanan pihak hotel sehingga acara tersebut dibatalkan, adanya tekanan dan intimidasi dari kelompok tertentu, adanya pembubaran paksa suatu diskusi dan fenomena yang lain sebagai sebab menurunnya indeks demokrasi kita.
Gejala otorianisme sipil yang memuncak di detik-detik terakhir masa jabatan Presiden Jokowi, yang juga memang diwarnai berbagai kritik tajam dan aksi demo dimana-mana sebagai penanda bahwa demokrasi kita tidak sedang tidak baik-baik saja. Hingga pada akhirnya masuknya beberapa orang di kabinet Prabowo sebagai orang-orang yang bermasalah di era Jokowi.
Pertanyaannya adalah akankah Prabowo Subianto akan meneruskan gejala pemerintahan Jokowi? Ataukah ini bentuk tiga periode Jokowi di tubuh pemerintahan Prabowo. Dengan asumsi ; beberapa orang menteri kabinet Jokowi masih bercokol di pemerintahan kabinet Merah Putih Prabowo Subianto. Belum lagi beberapa orang menteri yang masih tersandera kasus di masa pemerintahan Jokowi, tetapi tetap dipakai oleh Prabowo Subianto.
Terlihat gestur Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dalam setiap pidato politiknya dengan lantang ingin membangun pemerintahan yang bersih---yang sepakat ayo jalan, kalau tidak silakan minggir. Ini sebuah pernyataan yang deskriptif tetapi mengandung makna tersirat pada politik kekinian dan Prabowo tahu itu bahwa di sekelilingnya begitu banyak yang tersandera oleh kasus hukum---dan Prabowo akan menghitung 100 hari, 3 bulan, bahkan 6 bulan ke depan, akan ter-evaluasi bahkan ancaman resuffle. Di situlah hak prerogatif seorang presiden akan digunakan, dan itu dijamin dalam konstitusi negara.
Prabowo Subianto bukan hanya seorang jenderal, seorang presiden, tetapi beliau juga sebagai manusia yang tentu punya naluri untuk melihat manusia lainnya dengan “rasa terima kasih” apalagi yang telah membantunya untuk memenangkan Pilpres 2024.
Tetapi sebagai manusia, apalagi sebagai seorang presiden yang tidak hanya sebatas melihat orang per-orang dengan rasa terima kasih, namun akan lebih dari itu sebagai presiden yang memikul tanggung jawab dari kurang lebih 270 juta penduduk Indonesia---dan atas nama kepentingan bangsa dan negara, dan atas pembelaan kepada rakyat, maka mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar, Prabowo akan melakukan upaya perombakan kabinet kalau itu dianggap; menjadi beban negara, efesiensi dan efektifitas, serta belum lagi kondisi geososio-politik, ekonomi serta demokrasi dalam keadaan yang belum stabil.
Publik tentu berharap banyak kepada pemerintahan Merah Putih di tangan kendali Prabowo Subianto untuk mengembalikan citra bangsa dan negara bukan hanya di mata rakyatnya tetapi juga di mata dunia internasional---yang kurang lebih 3 tahun terakhir ini media asing menyorot pemerintahan Jokowi yang dianggap gagal membangun demokrasi tetapi hanya memproduksi nepotisme dalam kekuasaan. Sungguh ini kurang baik bagi keberlanjutan demokrasi di masa mendatang.
Karena itu, demokrasi harus ditumbuh-kembangkan dengan dua kekuatan, (1) kekuatan pressure group, sebagai medium kontrol politik di satu sisi, dan (2) pemerintah sebagai medium penyedia ruang berdemokrasi tanpa harus membatasi ruang gerak dalam berfikir warga negara. Sehingga dapat mewujudkan check and balances dalam demokrasi. Saatnya menanti titah Prabowo untuk mengembalikan keadaan menjadi lebih baik. (*)