Demagogi dan Narcisisme dalam Demokrasi

  • Bagikan

Oleh: Saifuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Seorang koboi, pelawak, komentator sosial, pemain sandiwara Vaudeville Amerika Serikat yang bernama Will Rogers pernah mengungkapkan “Bahwa politik itu mahal, sebab untuk kalah pun harus mengeluarkan biaya yang besar”.

Pernyataan ini bisa dibilang antitesa dari catatan dari The End of History yang ditulis oleh Francis Fukuyama yang merilis “atas kemenangan kapitalisme”. Yang kemudian menegasikan kalau demokrasi kedepan akan menghadapi berbagai tantangan yang semakin besar, termasuk kontekstasi politik yang berbiaya mahal.

Demokrasi hanya menjadi slogan, sebab siapa yang memiliki uang (kapital) maka ia akan memenangkan pertarungan. Kelompok burjuasi (oligarki) sebagai pemilik modal akan mengendalikan kelompok pekerja dan buruh di bawah kendali korporasi yang dikuasainya. Dehumanisasi kembali menjadi hal yang krusial untuk mengembalikan hak-hak kemanusiaan termasuk hak politik dibelenggu untuk bertaklik dikekuasaan.

Peristiwa demikian sesungguhnya sudah ditentang oleh Karl Marx yang ingin mengembalikan posisi manusia sebagaimana mestinya, mereka punya hak hidup yang layak, keadilan, HAM, kemerdekaan serta hak untuk hidup yang tidak dibelenggu oleh korporasi atau kelompok oligarki (pemilik modal).

Perkembangan politik modern berkecenderungan membawa politik-kapitalisme di ruang demokrasi yang menyebabkan munculnya politik transaksional, mahar politik, jual beli suara, serta jual beli kursi parlemen demi memuluskan jalan di kontestasi politik.

Bahwa demokrasi memang mahal harganya, sepertinya sudah menjadi budaya politik bagi bangsa Indonesia. Demokrasi masih menjadi sistem terbaik dan masih dipercaya sebagai jalan terbaik ketimbang monarki, tirani, maupun otoritarianisme yang cenderung tertutup, sewenang-wenang dan menindas rakyat.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tagar “Darurat Demokrasi” ketika jalan demokrasi dijegal dengan cara mengubah konstitusi, menggerakkan aparat untuk melakukan intimidsi, tidak terjaganya netralitas penyelenggara negara, rusaknya hukum hanya untuk memuluskan kepentingan kolega, kroni, keluarga dan keturunan (4 K). Dan semua itu adalah praktek demokrasi yang berpihak kepada oligarki bukan kepada rakyat. Dan ini bukti pengingkaran terhadp makna “demos dan kratos.”

Jika kita berbicara demokrasi tidak terlepas dari gagasan dua filsuf besar yang diyakini sebagai penggagas demokrasi, yakni Plato dan Aristoteles. Kedua filsuf guru dan murid tersebut justru tidak sepakat dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Bahkan Socrates pun dari awal memperkenalkan demokrasi lalu kemudian ia menolaknya.

Plato lebih condong kepada aristokrasi dengan pemerintahan dijalankan oleh para cendekiawan yang pandai dan cerdas serta berpedoman pada keadilan. Begitupun dengan Aritoteles yang juga tidak menghendaki demokrasi, dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang berbahaya dan memiliki banyak kelemahan. Kelemahan dari Aristotelian adalah melihat pada konsep “suara terbanyak” yakni bila suara terbanyak dijadikan dasar utama untuk memutuskan perkara ; kalau seekor kucing disepakati dengan konsep suara terbanyak menjadi monyet, maka jadilah monyet.

Kalau kebenaran disepakati oleh konsep suara terbanyak menjadi ketidak-benaran, maka jadilah ketidak-benaran. Kekhawatiran Aristotelian adalah “suara terbanyak” dapat disalahgunakan untuk memanipulasi kebenaran untuk melakukan pemufakatan jahat.

Dalam berbagai perelatan politik kita banyak menjumpai peristiwa politik seperti kecurangan, kerusuhan, serta ketidakjujuran dalam penyelenggaraannya. Hal tersebut dalam praktiknya demokrasi masih mengandung berbagai kekurangan dan kelemahan. Sebagai contoh yaitu biaya politik yang tinggi saat pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Selain itu demokrasi juga melahirkan para elite dan aktor politik yang berparas narsis serta para demagog yang berkeliaran dalam sistem politik. Kedua hal inilah yang menurut mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD disebut dengan dua penyakit demokrasi yang senantiasa menggerogoti jalannya sistem pemerintahan.

Apa itu Demagogi?

Demagog berdasarkan KBBI adalah penggerak atau pemimpin rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk mendepankan kekuasaan. Secara kebahasaan demagog berasal dari bahasa Yunani yaitu demos berarti rakyat, dan agógos berarti penghasut (pemimpin).

Maka demagog dapat diartikan sebagai pemimpin penggerak politik yang pandai mempengaruhi rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Demagogi seringkali kita jumpai dalam berbagai forum orator, kampanye serta aksi demonstrasi yang menyampaikan pesan-pesannya dengan semangat yang membara. Di Indonesia seperti Soekarno bisa disebut sebagai sosok demagog yang mampu mempengaruhi kawan dan lawan politiknya saat Indonesia menuju kemerdekaannya.

Penyakit kedua yaitu narsisme. Narsisme merupakan perasaan cinta kepada dirinya sendiri dengan memuji diri sendiri secara berlebihan. Dalam konteks politik para narsisme seakan-akan mereka merasa dirinya berhasil, prestasi yang dibuatnya semata-mata keberhasilan pribadi tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya.

Narcisme sebagaimana yang pernah diungkapkan Max Diamond, dalam buku yang ditulis oleh Nehdi Neekesten yang berjudul “Konstribusi Intelektual Islam terhadap Dunia Barat” disebutkan bahwa kemajuan barat sesungguhnya adalah hasil dari pemikiran dunia Islam.

Barat memang tidak tau diri. Jadi kesimpulannya bahwa narsisme adalah penyakit “tak tau diri” jadi kalau diterjemahkan masuk dalam konteks politik maka bisa bermakna bahwa seorang politisi atau penguasa tak perlu merasa lebih hebat, sebab tanpa rakyat kalian bukanlah siapa-siapa.

Kedua penyakit ini menganggap mereka seolah-olah memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, padahal tujuan utama mereka yaitu untuk memperoleh kekuasaan dan menaikan citra dirinya di masyarakat. Perilaku para demagog dan narsisme ini tentunnya sangat berbahaya bagi jalannya demokrasi di Indonesia. Agenda pemerintahan mulai dari pembangunan, reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi dapat terhambat dengan merebaknya para demagog dan narsisme ini.

Lebih parahnya panggung politik saat ini sudah dikuasai dengan eksistensi para kaum demagog dan narsisme. Lembaga-lembaga pemerintahan, institusi-institusi publik telah dikuasai oleh kedua penyakit ini. Ada politisi yang berjanji mengatasnamakan rakyat namun ketika berkuasa perilakunya justru menindas rakyat.

Ada pejabat publik yang melakukan pembangunan atas nama rakyat, justru semata-mata untuk menaikan derajat citranya di mata publik. Ada aparatur negara yang mengklaim bergerak bersama rakyat, namun hanya untuk kepentingan dirinya pribadi. Itulah beberapa contoh perilaku cerminan para demagog dan kaum narsisme dalam kehidupan demokrasi kita.

Ketika demokrasi yang dijalankan justru hanya melahirkan para demagog dan kaum narsisme. Hal itu berimbas pada pergeseran makna politik serta kualitas perilaku atau etika para pelaku politik dalam kehidupan bernegara. Makna politik sebagai usaha untuk mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera, atau apa yang Plato dan Aristoteles menamakannya dengan ‘en dam onia’ atau the good life menjadi bergeser hanya untuk kepentingan kekuasaan semata.

Politik mengalami pergeseran dan pendangkalan makna dan jauh seperti apa yang dikatakan oleh Peter Merkl bahwa “politics, as its best is a noble quest for a good order and justice”. Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.

Akibatnya masyarakat mengalami alergi terhadap politik. Masyarakat meyakini bahwa politik itu buruk, politik itu jahat, politik pencitraan, politik penuh intrik seperti persepsi yang berkembang saat ini. Selain itu adanya demagog dan narsisme dalam politik juga menggeser substansi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berisi nilai-nilai yang luhur (seperti kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, kerakyatan) menjadi tergeser oleh suatu hal yang bersifat sensasional (seperti iklan politik, baliho kampanye, pemberitaan di media sosial dan lain sebagainya).

Kualitas perilaku para pelaku atau aktor politik pun semakin buruk karena dicemari oleh perilaku-perilaku para demagog dan kaum narsisme. Mereka berlomba-lomba meraup massa demi meraih kekuasaan dan menaikan citra dirinya. Hanya dengan bekal retorika dan modal, menebar janji-janji manis kepada rakyat sedangkan kualitas perilaku dan etika para aktor politik ini sangat minim. “Politisi semua sama, berjanji ingin membangun jembatan tapi disitu tidak ada sungai”---(Nikita Kruschev).

Membaca Sejarah

Dahulu kita memiliki tokoh-tokoh politik bangsa yang memang memiliki kualitas perilaku dan etika yang tinggi. Sebut saja diantarnya Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Sutan Sjahrir. Mereka memiliki integritas dalam kepemimpinan dan etika dalam berpolitik. Mereka berjuang ikhlas dan tulus semata-mata untuk kepentingan rakyat seutuhnya. Mereka saling memahami jalan pikiran masing-masing, sekalipun berbeda ideologi.

Suatu ketika JS Kasimo (Partai Kristen) ingin membelikan rumah dan kendaraan kepada M. Natsir (Partai Masyumi) sebagai sahabat baik secara individual walau berbeda ideologi partai, tetapi M. Natsir menolaknya dengan halus tanpa membuat JS. Kasimo tersinggung, dengan nada merendah M. Natsir berucap, biarlah aku mengabdi dengan caraku seperti ini. Mereka pun saling berangkulan satu sama lain, saling memuji lisan dan pikiran-pikiran mereka.

Berbeda dengan zaman sekarang, para tokoh negeri, elite politik, politisi, pejabat justru memiliki perilaku seperti seorang demagog dan kaum narsis. Perlu upaya untuk mengubah perilaku para tokoh politik saat ini. Salah satunya yaitu dengan ditanamkannya etika politik pada diri tokoh dan elite politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Ambigu kekuasaan telah meluluhlantahkan nilai-nilai moral dan Pancasila sebagai ideologi negara. Kita tak lagi bisa mendengar percakapan-percakapan yang bernas, sebab motif politisi adalah kekuasaan bukan membangun peradaban sehingga yang muncul adalah kekerasan bertutur, hasut, fitnah dan kebencian.

Di era demokrasi yang serba terbuka, dan ditengah arus informasi yang demikian kencang justru sebagian politisi tidak merasa malu untuk melakukan tindakan korupsi, abuse of power, OTT dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dari Pancasila.

Padahal etika politik berdasarkan nilai-nilai Pancasila ini dapat menjadi detox dalam lamenyembuhkan penyakit demokrasi di Indonesia. Untuk itu sudah menjadi keharusan bagi setiap individu atau pelaku politik di Indonesia memiliki perilaku dan etika politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Sehingga kehadiran demagog dan kaum narsisme dapat teralienasi dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Sehingga mampu menghadirkan peradaban politik dan demokrasi yang lebih baik sebagaimana cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

Membangun peradaban demokrasi untuk menemukan eksistensi diri sebagai suatu bangsa, bukan dengan citra diri semata (baca : Baudrillard), karena hanya memburu legacy politik untuk diri sendiri. Itu kemunafikan dalam demokrasi. (*)

  • Bagikan