Oleh: Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dikutip dari CNN Indonesia, Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi) masuk dalam daftar finalis pemimpin paling korup di dunia oleh sebuah lembaga non pemerintah, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). OCCRP merilis daftar itu pada Selasa (31/12/2024) dalam laporan "Corrupt person of the year 2024" yang memenangkan Presiden Suriah Bashar Al Assad.
Daftar finalis koruptor dunia ini berada di kolom kecil di antara laporan mengenai Al Assad. Dalam daftar itu, sejumlah tokoh dunia selain Jokowi disebut jadi finalis, yakni Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha asal India Gautam Adani.
"Kami meminta nominasi dari pembaca, jurnalis, juri Person of the Year, dan pihak lain di jaringan global OCCRP," seperti tertulis dalam dalam laman OCCRP.
Nominasi tersebut didasarkan pada sejumlah kebijakan dan keputusan yang dinilai kontroversial selama masa pemerintahannya. Lembaga OCCR merupakan salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda.
Politikus PDIP Djarot Saiful Hidayat merespons rilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukan nama Presiden ke-7 Joko Widodo sebagai nominasi tokoh terkorup 2024. Djarot mengakui kalau lima tahun terakhir kasus korupsi memang tinggi di Indonesia.
Meski mengakui tindak pidana korupsi meningkat dalam lima tahun terakhir, Djarot enggan mengaitkan andil Jokowi dalam kasus rasuah ini. Dia menyatakan tidak berhak untuk membawa-bawa nama Jokowi dalam permasalahan ini.
“Saya tidak berhak menanggapi, ya. Tapi, ini sebagai masukan, baik untuk kita semua. Memang mau jujur lima tahun terakhir tindak pidana korupsi di Indonesia sangat luar biasa,” kata Djarot dikutip dari Tempo.co.
Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi ini turut menyinggung soal korupsi timah yang dilakukan oleh Harvey Moeis. Dia menganggap kerugian negara dalam kasus rasuah ini sangat besar namun vonis hukuman terhadap pelaku terkesan ringan. “Korupsi timah merugikan negara sampai Rp 300 triliun, tapi hukumannya cuma 6 tahun 6 bulan,” kata Djarot, sembari menyebut, “Jadi tingkat korupsi di Indonesia nilainya fantastis banget, gede banget, terutama terkait pengolahan sumber daya alam.”
Hemingway
Saya kurang lebih berpandangan seperti Djarot bahwa dalam beberapa tahun belakangan angka korupsi di negeri ini masih tinggi. Dan, itu mengingatkan saya pada novel karya penulis Amerika Ernest Hemingway, Old Man and The Sea atau Lelaki Tua dan Laut.
Mengisahkan perjuangan seorang nelayan tua Santiago yang bersusah payah berjuang menangkap ikan marlin raksasa di Teluk Meksiko. Selama 40 hari si Tua Santiago mengarungi lautan dengan perahu kecilnya namun tak ada hasil sama sekali.
Namun hal tersebut tak mengecilkan semangatnya. Di hari dan waktu yang tepat akhirnya takdir itu menjemput kailnya. Di sinilah letak kisah sesungguhnya bermula. Ikan yang terjerat kailnya ternyata berukuran dua kali lebih besar dari perahunya, alamak!
Di negeri yang kebetulan maritim ini (laut lebih luas dari daratan), pulau-pulau di Nusantara ibaratnya sikap anti-korupsi sementara lautan dan isinya adalah niat dan perilaku koruptif.
Sementara Santiago dan perahunya adalah para penegak hukum yang masih memiliki integritas yang mencoba menjaring ikan dari mulai ikan kakap hingga teri. Santiago tua yang hanya berbekal semangat dan alat seadanya berharap bisa menjaring ikan yang justru kadang mengacam nyawanya sendiri.
Betul saja, ketika Santiago tua berhasil menaklukan marlin si ikan raksasa, dan mengikatkan ke perahunya karena ukuranya yang termat besar, masalah lain muncul. Hiu yang mencium bau darah dan amis ikan marlin kemudian ikut menjadi lawan Santiago, beruntung Santiago berhasil menaklukkan kedua hiu tersebut.
KPK dan Figh Back
Model ikan marlin dalam pemberantasan korupsi di negeri ini cukup banyak. Kenapa seperti itu? Karena usaha mereka untuk “fight back” sangat kuat. Melawan institusi semacam KPK atau lembaga penegakan hukum lainnya.
Usaha “fight back” ini macam-macam. Dari mulai teror seperti yang pernah dialami Novel Baswedan, penghilangan saksil dan bukti, celah prapradilan, sampai menggunakan institusi yang lain yang lebih besar untuk menekan. Yang terakhir, misalnya, DPR melakukan bonsai dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang KPK.
Dalam salah satu laporan Tempo menyatakan bahwa mereka memakai orang dalam KPK untuk melakukan upaya perlawanan dari dalam. Kalau itu terjadi, maka KPK sebagai lembaga yang dulu disegani dan dihormati, saat ini tidak lebih menjadi lembaga yang akan melayani kepentingan penguasa.
Bahkan di tahun 2024 ini lembaga antirasuah yang mestinya diperkuat dengan sosok-sosok yang berintegritas malah mempertahankan wajah-wajah lama.
Bagaimanakah nasib pemberantasan korupsi negeri ini di bawah komando Prabowo-Gibran? Apakah dinominasikannya Persiden ke-7 RI Jokowi sebagai salah satu pemimpin dunia terkorup mencerminkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang jalan di tempat? Ataukah hal ini tidak lebih sebagai kaca benggala wajah umum perilaku kita di Republik ini? (*)