Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tanggal 3 Januari setiap tahun dikenal dengan Hari Amal Bhakti bagi keluarga besar Kementerian Agama Republik Indonesia dengan semboyan Ikhlas Beramal. Jika ikhlas diartikan sebagai melakukan kebaikan ala kadarnya, asal jadi, asal selesai.
Pemaknaan ikhlas seperti ini perlu diluruskan kembali. Apalagi bila ada yang memaknai ikhlas dengan ucapan “mending menyumbang seribu tapi ikhlas, dari pada menyumbang sejuta tapi pamer”. “Sudah bagus saya berinfak lima puluh ribu, dari pada tidak sama sekali”.
Kalimat senada dengan ini sering kali kita dengar dalam pergaulan di masyarakat setiap hari. Bahkan ikhlas sering dimaknai sebagai sikap menolak imbalan atas sebuah jasa atau pekerjaan. Misalnya, ketika seorang mubalig berceramah, setelah selesai mubalig itu menerima amplop, kita menilainya tidak ikhlas.
Benarkah ikhlas artinya tidak menerima imbalan setelah mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik dan benar? Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak suatu imbalan. Kalau sudah bekerja secara baik dan benar, maka imbalan yang kita terima adalah konsekuensi, itu profesional namanya.
Ikhlas sesungguhnya terletak di ranah hati. Perhatikan motif yang menggerakkan perilaku Anda. Bila Anda melakukan sesuatu karena ingin menjalankan perintah Allah, tidak peduli bagaimana pun reaksi orang kepada Anda, maka Anda benar-benar ikhlas. Anda berikan bantuan kepada orang yang kesusahan, walaupun dia tidak berterima kasih. Anda teruskan perjuangan Anda meskipun Anda dijelek-jelekkan orang.
Bagaimana bila Anda menuntut upah setelah memberikan pengajian? Bila Anda menuntut upah karena Anda tahu bahwa Allah melalui Rasul-Nya menyuruh Anda menuntut hak Anda, Anda masih ikhlas. Anda menjadi tidak ikhlas, justru ketika Anda menolak untuk menerima hak Anda, karena takut disebut tidak ikhlas.
Islam mengajarkan, orang yang menuntut hak tapi melalaikan kewajiban adalah tercela. Sedang orang yang melaksanakan kewajiban tapi tidak menuntut hak adalah lemah.
Makna ikhlas dengan indah digambarkan dalam doa iftitah. “Sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku “Lillahi Rabbil ‘Alamin”. Ada tiga makna “lillah”, yakni karena Allah, kepunyaan Allah, dan untuk Allah.
Makna-makna ini sekaligus menunjukkan tingkat keihklasan. Bila Anda memberi bantuan kepada orang yang dalam kesulitan, karena Anda mengetahui bahwa Allah memerintahkan, Anda beramal karena Allah. Tapi jika Anda menghentikan bantuan Anda kepada orang itu, karena ternyata ia tidak berterima kasih atau bahkan menjelek-jelekkan Anda di mana-mana, Anda tidak ikhlas.
Kebaikan Anda sangat bergantung dan dipengaruhi oleh reaksi orang lain pada Anda. Anda sangat bersemangat melakukan kebaikan, ketika orang menghargai dan memuji Anda, atau paling tidak memperhatikan Anda. Anda kehilangan gairah untuk berjuang, ketika orang mencemooh Anda, menjauhi Anda, atau bahkan mengganggu Anda.
Pernahkah Anda mendengar seorang istri yang menunggu kehadiran suaminya selama berbulan-bulan? Ketika suaminya datang, ia berusaha berkhidmat padanya, dengan melakukan apa pun yang diperintahkan kepadanya. Istri itu melakukan semuanya bukan karena ingin diberi uang, bukan juga karena takut suaminya marah.
Semuanya dilakukan dengan hati yang bahagia, seluruh perhatiannya dipusatkan pada kebahagiaan suaminya.
Inilah pengkhidmatan istri yang sejati lahir karena cinta. Seperti sikap istri itu kepada suaminya, seorang hamba yang ikhlas berbakti kepada Tuhan yang dicintainya. Dia tidak lagi menghiraukan ganjaran atau siksaan, semuanya didasarkan pada cinta sejati.
Berbeda dengan seorang birokrat ketika berada di hadapan para ulama. Birokrat itu dengan fasih membacakan ayat Al-qur'an dan hadis, kebanyakan tidak relevan, karena birokrat tersebut tidak memahami meskipun telah berhari-hari menghafalkan ayat dan hadis, karena dia hanya ingin meyakinkan para ulama yang berada di hadapannya bahwa ia tahu banyak tentang agama, bahwa dia bukan sekedar birokrat tapi juga agamawan. Ini bukan ikhlas melainkan rekayasa kesan. (*)