Oleh: Ahmad Razak
Dosen Fakultas Psikologi UNM
RAKYATSULSEL - Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan bukanlah sekadar hitungan mundur menuju Idul Fitri, tetapi ini adalah sebuah simfoni spiritual yang memuncak, sebuah medan ujian ketahanan jiwa yang sesungguhnya. Di tengah keletihan fisik akibat menahan lapar dan dahaga, di tengah potensi penurunan semangat setelah melewati dua pertiga bulan yang penuh ibadah, justru di sinilah esensi resilensi spiritual diuji dan ditempa. Umat Muslim yang menghayati makna Ramadhan akan menemukan bahwa fase ini adalah panggilan untuk meningkatkan intensitas ibadah, memperdalam refleksi diri, dan menggapai lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS. Al-Qadr: 1 – 5).
Resiliensi spiritual dalam konteks ini termanifestasi dalam kemampuan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas ibadah di tengah tantangan kekuatan fisik dan mental yang tersisa. Ini bukan sekadar tentang memperpanjang durasi shalat atau memperbanyak bacaan Al-Qur'an, melainkan tentang menghadirkan hati secara penuh dalam setiap amalan, merenungi makna setiap ayat yang dilantunkan, dan merasakan kedekatan yang lebih intim dengan Sang Pencipta. Kelelahan yang dirasakan seharusnya tidaklah menjadi penghalang, melainkan pemicu untuk semakin bersandar pada kekuatan Allah SWT. Sebuah ungkapan menyebutkan “man jadda wa jada” siapa yang bersungguh sunggu pasti ia berhasil (mendapatkan). Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Ankabut: 69).
Salah satu bentuk nyata dari resilensi spiritual adalah kemampuan untuk melawan godaan duniawi dan kemalasan yang mungkin muncul menjelang akhir Ramadhan dan berpotensi kuat untuk meruntuhkan amalan ibadah yang selama ini kita bangun. Nabi bersabda: Kam min saimin laisa lahu min siyamihi illa ju’I wal “atasy (Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak menghasilkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya haus dan dahaga saja). Oleh karena itu seorang Muslim yang resilien akan memperkuat benteng spiritualnya melalui doa, dzikir, dan memperbanyak amal kebajikan. Ia akan menyadari bahwa setiap detik di 10 hari terakhir ramadhan sangat berharga dan tidak boleh disia-siakan. Lebih dari sekadar ketahanan dalam beribadah, resilensi spiritual juga mencakup kemampuan untuk menjaga hati dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa, seperti ghibah, perkataan sia-sia, dan pikiran negatif. Fokus dialihkan sepenuhnya pada upaya membersihkan diri dari dosa dan meningkatkan kualitas taqwa. Suasana masjid harusnya semakin ramai dikunjungi dan melakukan iktikaf untuk ibadah, muhasabah berkontemplasi dengan penuh kesadaran sebagai seorang hamba, menjauhkan diri dari hiruk pikuk duniawi untuk lebih fokus pada hubungan vertikal dengan Allah.
Esensi dari 10 hari terakhir Ramadhan seringkali terletak pada perburuan lailatul qadar. keyakinan akan adanya malam yang penuh keberkahan yang menjadi motivasi utama bagi umat Muslim untuk meningkatkan ibadah. Resiliensi spiritual di sini tercermin dalam kesungguhan dan harapan yang terus menyala, meskipun waktu pasti datangnya lailatul qadar dirahasiakan. Setiap malam di 10 hari terakhir dianggap sebagai potensi datangnya malam istimewa tersebut, sehingga semangat untuk beribadah tidak boleh padam. Disamping itu, resilensi spiritual juga mesti tercermin dalam interaksi sosial di 10 hari terakhir Ramadhan. Semangat berbagi, ukhuwah, kebersamaan, saling mengingatkan dalam kebaikan tetap dijaga. Sesama muslim saling memotivasi untuk terus beribadah, berbagi makanan untuk berbuka, dan mempererat tali silaturahmi. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas yang kuat juga memancar dalam hubungan antar sesama manusia.
Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, menjagadan memperkuat resilensi spiritual di 10 hari terakhir Ramadhan menjadi semakin penting. Godaan duniawi seperti persiapan menyambut Idul Fitri yang berlebihan dapat mengalihkan perhatian dari fokus utama ibadah. Walau bagaimanapun seyogyanya seorang muslim harus mampu menyeimbangkan antara persiapan duniawi dan ukhrawi, bahkan sebaiknya menjadikan ibadah sebagai prioritas utama tanpa mengabaikan tanggung jawab lainnya.
Yakin dan percaya dengan kekuatan spiritual dan kesungguhan dalam mengisi ramadhan, kita mampu meraih keberkahan yang luar biasa yaitu Khairun min alfi syahr. Semoga, Amin yra. (*)