Menurutnya, para mantan cakada itu bisa menjadi ancaman nyata bagi para petahana. Namun, kata Nurmal, mantan cakada harus menyadari bahwa Pilleg itu pertarungan yang lebih luas dan lebar karena tak hanya mencakup wilayah yang mereka kuasai selama ini.
"Maka, tak ada alasan mantan cakada harus kerja keras meluaskan keterpilihannya di daerah lain," jelasnya.
Sedangkan, Direktur Profetik Institute, Asratillah menilai, para mantan cakada sudah memiliki kantong suara di masing-masing daerahnya. Sehingga peluang mereka untuk terpilih terbuka lebar.
Namun yang perlu diingat kata dia, konteks pilkada berbeda dengan konteks pileg, terkhusus untuk kursi Senayan. Pertama, di Pilkada sang kandidat memiliki kantong suara hanya di daerah tertentu.
Tapi dalam konteks DPR RI ada sembilan daerah baik untuk Dapil II dan III yang mesti digarap. Walaupun daerah yang pernah ditempati sebagai cakada bisa menjadi salah satu basis suara.
"Hanya saja, mengandalkan hanya satu daerah sebagai basis saya pikir belum mencukupi, mesti ada daerah-daerah lain yang mesti dijadikan basis suara tambahan," ungkapnya.
Kedua, para loyalis sewaktu cakada bisa saja memiliki konteks loyalitas yang berbeda saat pencalegan, apakah karena faktor dukungan partai ataupun faktor relasi sosial (profesi, pertemanan bahkan keluarga).
"Jadi para bakal caleg mesti melakukan identifikasi ulang terhadap para loyalisnya sewaktu pilkada, apakah mereka bisa tetap berada dalam gerbong yang sama saat pileg nanti," ungkap dia.
Ketiga, para bakal caleg mesti jeli dalam memilih parpol yang akan dikendarai, apakah berpotensi lolos ambang batas suara parlemen? Apakah memiliki citra baik di mata publik pada dapil bersangkutan?.
"Saya pikir figur-figur di atas masih punya waktu untuk mensosialisasikan diri, melakukan komunikasi politik dengan parpol yang tepat, membangun jejaring politik dan merencanakan langkah politik selanjutnya," pungkasnya. (Fahrul-Yadi)