"Itu yang tidak jelas dalam pasal tersebut, sehingga menurut pendapat hukum (legal opinion) saya, sebagai pasal 'karet' atau blanket norm (norma kabur), akibat hukumnya adalah, warga negara yg melakukan kritik terhadap presiden bisa dianggap menyerang kehormatan, harkat, dan martabat presiden, atau itulah yang disebut sebagai kriminalisasi," ucapnya.
Demikian juga dengan Pasal 188 Ayat (1) dan Pasal 256 yang juga disorot oleh Herman. Dia menjelaskan terkait Pasal 188 Ayat (1) perlu dipahami bahwa faham atau ajaran komunisme/marxisme-lenimisme selalu dikaitkan dengan sejarah kelam G/30S PKI di Indonesia pada masa lalu. Sehingga jelas tidak memiliki relevansi lagi dimuat dalam suatu pasal pelarangan.
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Negeri Makassar itu menyebut indikasi dan faktanya selama ini sering digunakan sebagai alat politik oleh seseorang, lembaga dan bahkan pemerintah dalam soal politik, demokrasi, dan hukum untuk melanggar hak konstitusional warga negaranya.
"Aturan ini di sisi lain bertentangan dengan hak konstitusional yang di atur dalam Pasal 28, 28D Ayat (1) dan (3), 28E Ayat (2) dan (3), 28F, dan 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ucapnya.
Kemudian pasal lain yang dianggap bermasalah yaitu Pasal 256 yang dinilai bersifat terlalu teknis dan seharusnya tidak menjadi muatan norma undang-undang. Pasal ini seharusnya dimuat saja dalam Peraturan Kapolri, soal pemberitahuan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.
"Karena hal ini merupakan norma yang berkenaan dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk tekni (juknis) bagi aparat hukum seperti polisi. Hal ini selain itu berkenaan dengan izin (vergunning) dari Kepolisian dalam hal pawai, demonstrasi, atau pawai," tukasnya.
Lalu pasal lain yang tak kalah pentingnya untuk disoroti ucap Herman adalah soal pidana mati yang jelas-jelas bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam Pasal 28I Ayat (1).
Dia pun menjelaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.