MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Wacana penggunaan sistem hybrid dalam Pemilu 2024 yang dilontarkan hakim Mahkamah Konstitusi menuai reaksi dari berbagai kalangan. Hakim MK dinilai tidak etis "menawarkan" pola baru di tengah proses sidang uji materi Undang-undang Pemilu yang tengah berlangsung di lembaga tersebut.
Penerapan sistem hybrid dalam Pemilu pertama kali dilontarkan oleh hakim konstitusi Arief Hidayat di sela-sela sidang pemeriksaan atas permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Ruang Pleno Mahkamah Konstitusi, pekan lalu.
Dalam sidang tersebut, Arief Hidayat menyampaikan pandangannya bahwa kemungkinan sistem pemilihan umum menggunakan sistem hybrid. Menurut dia, penerapan pemilu dengan cara memilih partai politik dan berubah menjadi memilih calon anggota DPR/DPRD, memiliki kebaikan dan keburukan.
“Artinya meninggalkan yang buruk di terbuka dan meninggalkan buruk yang tertutup, kita gunakan dua-duanya, kita pandu padankan menjadi sistem khas asli Indonesia,” kata Arief.
Arief mengusulkan untuk menggunakan kedua sistem tersebut dan menyatukannya menjadi sistem khas asli Indonesia. Menurut dia, sistem pemilihan umum proporsional terbuka sebaiknya digunakan untuk pemilihan pasangan presiden-wakil presiden dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan untuk pemilihan anggota DPR/DPRD, sebaiknya menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup, yaitu rakyat dapat memilih partai politik, dan para anggota DPR/DPRD dipilih oleh partai politik berdasarkan nomor urut masing-masing.
Buntut pernyataan Arief Hidayat memantik reaksi berbagai kalangan. Pengamat demokrasi di Makassar, Nurmal Idrus menilai hakim konstitusi seharusnya tidak boleh mengomentari hal tersebut karena akan menimbulkan kecurigaan.
"Menurut saya MK tak bisa terlalu jauh masuk dalam penerapan sistem pemilu. Tugas lembaga ini hanyalah menguji sistem yang ada sekarang itu, cocok dengan konstitusi atau tidak," kata Nurmal, Selasa (11/4/2023).
Menurut dia, wacana Arief Hidayat bukan merupakan ranah di hakim konstitusi tapi menjadi kewenangan dari pembuatan undang-undang yaitu yaitu DPR dan pemerintah.
Nurmal mengatakan, sistem proporsional tertutup berpotensi melanggar konstitusi karena tak sesuai dengan asas langsung yang termaktub dalam UUD 1945 sebagai asas dasar pemilu.
"Proporsional tertutup juga mengangkangi prinsip kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi seperti yang dianut di Indonesia," kata eks Ketua KPU Kota Makassar ini.
Manager Strategi dan Operasional Jaringan Survei Indonesia (JSI), Nursandi Syam mengatakan, sistem pemilu secara hybrid yang diwacanakan oleh hakim Arief Hidayat sebenarnya kurang tepat secara momentum.
"Bagi saya yang diutarakan itu kurang tepat di tengah bergulirnya proses uji materi," kata Nursandi.
Dia menyebutkan, tugas MK adalah memutus apakah yang sedang diuji itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Maka, kata dia, semestinya hakim konstitusi fokus menyikapi permohonan sistem Pemilu dari terbuka menjadi tertutup.
"Bukan justru memunculkan wacana sistem yang lain yang bisa memicu polemik di publik," ujar dia.
Pengamat politik dari Profetik Institute, Muh Asratilla, menyebutkan seharusnya MK berdiam diri tanpa memberikan komentar yang menimbulkan gejolak. Ia menyampaikan, yang selama ini dipersoalkan oleh parpol-parpol adalah sistem pemilihan untuk anggota legislatif.
"Kalau merujuk kepada statement hakim MK, maka itu berarti sistem pemilihan untuk anggota adalah tertutup," kata dia.
Sehingga, lanjut Asratillah, jika pemilihan caleg menggunakan sistem proporsional tertutup maka akan berdampak pada beberapa hal.
Pertama, partai-partai mesti melakukan penyesuaian-penyesuaian dan marketing politik tidak lagi bertumpu pada pribadi-pribadi caleg tetapi bertumpu pada mesin partai politik. Partai politik mesti mempermak citra dirinya secara kelembagaan dan memiliki ciri khas yang bisa membuat pemilih tertarik.
Kedua, lanjut Asratillah, partai mesti menyiapkan mekanisme agar para caleg tetap punya etos dalam memasarkan partai. Selain itu, partai mesti menyiapkan mekanisme kompensasi politik yang menarik bagi para caleg yang kecil kemungkinannya untuk duduk di legislatif.
"Para caleg dalam sistem proporsional tertutup akan lebih berfungsi sebagai juru kampanye bagi partai masing-masing," ujar dia.
Selanjutnya, hal lain menurut Asratillah adalah penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, mesti mencari cara agar partisipasi pemilih tetap tinggi. Sosialisasi mesti digalakkan dan pelibatan masyarakat sipil mesti ditingkatkan. Menurut dia, salah satu persoalan bagi proporsional tertutup adalah rendahnya partisipasi.
"Dan sebaiknya keputusan mesti agak dipercepat agar ada kepastian politik baik bagi para elit parpol ataupun konstituen di tingkat bawah, begitu pula bagi penyelenggara pemilu," ujar dia.
Lantas bagaimana respons para politisi dan kader partai politik menyangkut hal tersebut?
Anggota DPR RI dari Partai Golkar, Muhammad Fauzi menyatakan pernyataan hakim konstitusi yang memberi pandangan pemilihan dilakukan secara hybrid dinilai tidak etis disampaikan saat proses uji materi masih belum diputuskan.
"Pernyataan ini bisa mempengaruhi publik dan juga mempengaruhi hakim MK lainnya, sehingga sangat tidak etis disampaikan saat masih dalam proses pemeriksaan di MK," ujar dia.
Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Sulsel, Azhar Arsyad menegaskan PKB sudah jelas menolak sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Menurut dia, hampir semua caleg juga menolak dengan alasan merugikan hasil pencalegan nantinya.
"Tetap pada komitmen awal. PKB Sulsel satu komando dengan DPP menolak sistem proporsional tertutup," imbuh Azhar.
Di lain pihak, Sekretaris Partai Perindo Sulsel, Hilal Syahrim menilai, proporsional tertutup cukup menarik untuk diterapkan. Konsep tersebut, kata dia, akan menguatkan kaderisasi yang berjenjang dalam partai politik.
"Ini adalah hal yang menggembirakan bagi kader di internal parpol itu sendiri. Minusnya adalah, tokoh masyarakat yang ingin maju jadi caleg dan belum menjadi kader partai akan merasa kesulitan bersaing di internal," ujar Hilal.
"Kalau pemilihan nanti hanya menusuk gambar atau logo partai saya pikir menarik. Karena kertas suara sudah tidak terlalu besar dibuka pada saat pencoblosan. Dari segi resource yang dimiliki Ketum Perindo tentu kami sangat senang dengan metode proporsional tertutup," sambung dia.
Hilal mengatakan, sistem hybrid ini belum jelas dan masih memerlukan kajian yang panjang. Dia berharap pemilu sistem hybrid tersebut dia menggunakan sistem bilangan pembagi dan bukan berdasarkan jumlah kursi.
"Tapi penentuanya di kembalikan ke partai politik. Karena tertutup untuk kepentingan kader partai," ujar dia.
Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sulsel, Imam Fauzan Amri mengatakan, pihaknya siap jika MK memutuskan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka maupun tertutup, atau malah sistem hybrid yang digulirkan hakim konstitusi.
"Apapun keputusan MK, kami di PPP Sulsel sangat siap. Mau terbuka atau diubah menjadi tertutup, tidak ada masalah. Kalau nantinya diputuskan tertutup, malah kami lebih diuntungkan di Sulsel," kata Imam.
Dirinya menyebutkan PPP sudah memiliki strategi yang matang dalam menghadapi Pemilu 2024 sistem proporsional tertutup. Dan daftar bakal caleg relatif sudah terisi di seluruh daerah pemilihan. Di mana para caleg juga siap bertarung di sistem proporsional terbuka.
"Komposisi bakal caleg kami aman, tidak ada masalah. Malahan banyak tokoh yang bergabung. Saya pun pastikan, caleg di PPP itu tidak ada yang dirugikan. Apakah itu sistem pemilu terbuka maupun tertutup. Kami punya strategi," imbuh dia.
Sementara itu sidang uji materiil di MK akan dilanjutkan kembali pada Rabu 12 April 2023, hari ini. Agendanya untuk mendengarkan keterangan ahli lainnya.
Sebelumnya, dalam permohonannya ke MK, Riyanto dan kawan-kawan meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa untuk pemilihan anggota DPR/DPRD pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota, harus dipilih oleh partai politik. Dengan demikian, rakyat dalam mengikuti kontestasi pemilihan anggota DPR/DPRD adalah dengan cara mencoblos partai politik. (Suryadi-Fahrullah/C)