78 Tahun Kemerdekaan Indonesia : Ketimpangan Ekonomi dan Ketidakadilan Gender Belum Usai

  • Bagikan
ILUSTRASI

Tanggal 17 Agustus 2023 Indonesia telah merdeka selama 78 tahun. Sayangnya kemerdekaan belum dialami sepenuhnya oleh bangsa Indonesia, terutama perempuan dan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, warga miskin, dan lainnya.

Ketergantungan pada investasi asing, utang luar negeri dan perdagangan internasional yang terus berlanjut sejak rezim Orde Baru Soeharto sampai saat ini, membuat perusahaan dan lembaga keuangan asing serta elit-elit ekonomi dan politik, mendikte arah pembangunan Indonesia yang ekstraktif dan eksploitatif.

Akibatnya, rakyat tetap terjajah dan tidak berdaulat dalam kepemilikan tanah dan sumberdaya alam, dalam bekerja, berproduksi, berdagang dan berkonsumsi.

Utang luar negeri menyebabkan negara tidak mempunyai kedaulatan dalam mensejahterakan rakyatnya karena dipaksa untuk menghapus subsidi kesejahteraan rakyat terutama untuk kesehatan dan pendidikan. Utang luar negeri telah mencapai Rp7.855,53 triliun (per 31 Juli 2023).

Menyebabkan pemerintah menaikkan pajak untuk membayar utang negara, seperti Pajak Pertambahan Nilai. Namun, keberpihakan ke perusahaan menyebabkan pemerintah justru antara lain
meringankan tarif ekspor dan impor, memberikan insentif pajak, dan terus memberlakukan tax holiday. Pemerintah menciptakan ketidakadilan pajak bagi warga negaranya sendiri, terutama perempuan dan kelompok marginal.

Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2023 sekali lagi mengagungkan perekonomian ekstraktif dan eksploitatif sumber daya alam terutama mineral, batu bara, perkebunan, kelautan, sumber energi baru dan terbarukan, pertambangan, dan lainnya. Selain itu, klaim keberhasilan meningkatkan Indeks Pemberdayaan Gender menjadi 76,59 di tahun 2022 dan tersedia anggaran perlindungan sosial melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS), kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), Sembako, perlindungan bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya sebesar Rp3.212 triliun mulai tahun 2015-2023, masih perlu bukti lapangan mengenai sejauh
mana efektivitas dan cakupannya.

Konsultasi yang kami lakukan di 10 kota, yaitu di Ambon, Bengkulu, Jakarta, Jayapura, Kupang, Makassar, Purwokerto, Prapat, Palangkaraya dan Tabanan yang melibatkan 260 perempuan akar rumput dari berbagai latar belakang, memperlihatkan situasi berbeda: terbatasnya akses perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam
akibat masifnya pembangunan infrastruktur, alih fungsi lahan pertanian produktif untuk perkebunan monokultur, proyek pembangunan, proyek energi, yang semuanya memiskinkan dan meminggirkan perempuan dari sumber-sumber kehidupannya.

Selain itu perempuan sulit memperoleh informasi dan akses ke Program Bantuan dan Perlindungan Sosial dari pemerintah. Program Perlindungan Sosial nyatanya, menurut para perempuan miskin, justru menimbulkan diskriminasi, konflik sosial dan kekerasan. Undang-Undang No. 2 tahun 2022 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja antara lain memberikan karpet merah bagi investor dengan memberikan kemudahan perizinan, membatasi ruang masyarakat terlebih perempuan untuk terlibat secara bermakna dalam pengambilan keputusan.

“78 tahun merdeka, tetapi feminisasi kemiskinan terus berlangsung, di mana selain miskin perempuan mengalami diskriminasi, pelecehan, kekerasan dan ketidakadilan gender. Kemerdekaan Indonesia dalam arti sepenuhnya masih belum dirasakan oleh terutama perempuan”, ucap Titi Soentoro, Direktur Aksi! for gender, social and ecological justice. (*)

  • Bagikan