Tragedi Pelanggaran HAM Berat di Pulau Rempang

  • Bagikan

Oleh : Hafid Abbas
Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017)

Beberapa hari terakhir ini, media ramai memberitakan proses penggusuran paksa warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Penggusuran itu menjadi sorotan publik setelah, pada 7 Sept. 2023, terjadi bentrokan antara aparat Kepolisian, TNI dan Satpol PP dengan warga setempat yang menolak digusur paksa agar meninggalkan tempat pemukimannya. Akhirnya aparat menggunakan gas air mata untuk memaksanya berpindah. Bentrokan tidak dapat lagi dihindari, dilaporkan 11 orang korban yang telah dilarikan ke rumah sakit terdekat, 10 di antaranya adalah siswa dan seorang guru. Bentrokan itu terlihat terus berlanjut hingga hari ini dan bahkan warga terus melakukan perlawanan ke BP Batam yang mengakibatkan bertambahnya enam orang korban luka-luka (CNNI, 11/09/2023).

Meski demikian, warga dalam wadah Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang dan Galang, yang terdampak proyek Eco-City, tetap menolak direlokasi. Alasannya, mereka sudah berada di sana secara turun temurun sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka juga meminta aparat agar menghentikan segala bentuk intimidasi kepada masyarakat, dan juga meminta agar negara mengakui hak kepemilikan Tanah Ulayat mereka.

Dari perspektif HAM, kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dengan dasar berikut.

Pertama, merujuk pada Basic Priciples and Guidelines on Development-Based Eviction and Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6, oleh Dewan HAM PBB (2009) dikemukakan:


Forced evictions constitute gross violations of a range of internationally recognized human rights, including the human rights to adequate housing, food, water, health, education, work, security of the person, security of the home, freedom from cruel, inhuman and degrading treatment, and freedom of movement.

Ketentuan PBB ini menyebut penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang. Penggusuran paksa adalah perlakuan tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan martabat seseorang yang semestinya harus dimajukan, dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Penggusuran harus dilakukan secara sah, hanya dalam keadaan luar biasa, dan sepenuhnya harus sesuai dengan aturan HAM internasional dan hukum humaniter.

Kedua, pada Fact Sheet No. 25/Rev.1 yang dikeluarkan oleh PBB pada 2014 tentang Penggusuran Paksa (Forced Evictions), dinyatakan bahwa: Forced evictions violate, directly and indirectly, the full spectrum of civil, cultural, economic, political and social rights enshrined in international instruments. Kasus penggusuran paksa warga di Pulau Rempang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat baik secara langsung atau tidak karena menyentuh seluruh aspek hak sipil, budaya, politik dan sosial yang dilindungi oleh hukum HAM internasional.

Ketiga, merujuk pada Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM penggusuran paksa bagi sekitar 7500 warga Pulau Rempang, agar berpindah dari tempat pemukimannya ke pulau lain atau ke tempat lain (population transfer), pemaksaan eksodus massal, yang menyebabkan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.

  • Bagikan