‘Kado’ Hari Antikorupsi, Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulsel Dinilai Tebang Pilih Usut Kasus Korupsi Tambang Pasir Laut

  • Bagikan
Ilustrasi Korupsi

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Aktivis Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Ramzah Thabraman menilai, penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, tebang pilih mengusut kasus korupsi penetapan harga jual tambang pasir laut di Kabupaten Takalar pada tahun 2020.

"Di fakta persidangan, baik dari keterangan saksi maupun terdakwa terkuak kalau masih ada pejabat yang disebut sebut paling berperan dalam penetapan harga jual tambang pasir laut namun tidak diseret sebagai tersangka. Yang kami pertanyakan itu, posisi hukum mantan Sekda Takalar? ," ujar Wakil Ketua DPN GNPK, Ramzah Thabraman, Jumat (8/12/2023).

Ramzah menguraikan, rapat pembahasan permohonan pengurangan pajak tambang pasir laut yang diajukan pihak penambang itu, dilakukan oleh tim Terpadu optimalisasi PAD Kabupaten Takalar yang kala itu dipimpin langsung oleh Sekda Takalar dan dihadiri sejumlah pejabat Pemkab Takalar.

"Kenapa bisa ketua tim terpadu optimalisasi PAD Kabupaten Takalar itu tidak terjerat sementara beberapa pejabat di bawahnya justru terbelit hukum dan menjadi terdakwa. Kami akan mengambil langkah taktis menyikapi masalah ini. Di momentum Peringatan Hari Antikorupsi ini, GNPK akan memberikan catatan khusus dan akan mempertanyakan ke Kejaksaan Agung terkait penanganan kasus ini," ujar Ramzah.

Sebelumnya, sejumlah pihak juga telah menyoroti kinerja penyidik Kejati Sulsel dalam penanganan kasus korupsi penetapan harga jual tambang pasir laut.

Kuasa hukum Direktur PT Benteng Laut, Syahban Munawir pada Selasa (7/11/2023) lalu, juga menganggap penyidik Kejati Sulsel tebang pilih dalam menyeret pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus korupsi penetapan harga jual tambang pasir laut Takalar.

"Klien kami dari PT. Benteng Laut mengajukan permohonan pengurangan pajak dan dari permohonan tersebut dilakukan rapat Oleh tim Terpadu optimalisasi PAD Kabupaten Takalar yang kala itu dipimpin langsung oleh Sekda Takalar," tegas Syahban Munawir.

Syahban menegaskan, dari hasil rapat mereka dan berdasarkan fakta persidangan ketika mereka menjadi saksi, mengakui bahwa menyetujui dan mempertimbangkan permohonan pengurangan pajak dari PT. Benteng Laut dari harga 10.000 m3 menjadi 7500 m3. Sementara yang diseret dalam kasus ini hanya Kepala BPKD dan Kepala Bidang Pajak Retribusi.

"Harusnya, kalau ingin menegakkan hukum semua unsur yang terlibat dalam kasus ini harus diseret ke meja hijau jangan tebang pilih dalam penegakan hukum. Selama ini klien kami membayarkan pajak retribusi berdasarkan surat ketetapan pajak daerah yang dikeluarkan oleh Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) dan Bahkan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah pernah mengeluarkan surat kepada Perusahaan Klien kami sebagai Perusahaan yang patuh dalam membayarkan pajak/retribusi daerah dalam produksi tambang pasir laut di tahun 2020," kata dia.

Penegasan Syahban Munawir diperkuat dengan pernyataan mantan Plh Kepala BPKD Takalar, Faisal Sahing, satu dari enam terdakwa kasus korupsi tambang pasir laut.

Menurut Faisal Sahing, yang lebih layak menjadi tersangka sejatinya bukanlah dirinya melainkan mantan Sekda Takalar, AT. Menurut Faisal, dalam fakta persidangan, Selasa 7 November, terungkap kalau mantan Sekda Takalar, AT pernah mengeluarkan hasil analisa pengurangan pajak daerah kepada PT Alefu Karya Makmur, untuk penertiban ketetapan pajak daerah.

Sedangkan PLH BPKD dalam hal ini dirinya tidak pernah menandatangani, analisa pengurangan pajak untuk dipedomani, dalam rangka penertiban SKPD.

Atas fakta persidangan itu pun, Faisal Sahing meminta agar penegakan hukum berjalan proporsional serta profesional, tanpa tebang pilih.

"Kami minta agar yang bertanggung jawab mengeluarkan hasil analisa pengurangan pajak diseret ke dapan hukum. Di fakta persidangan terkuak kalau ada orang yang lebih layak menjadi tersangka daripada saya," tandas Faisal Sahing. (*)

  • Bagikan