MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) Provinsi Sulawesi Selatan percaya diri mampu bersaing dengan partai lain untuk bisa meraih kursi di DPR RI khususnya Daerah Pemilihan (Dapil) Sulsel III pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Sekretaris DPD Partai Garuda Sulsel, Andi Zainuddin Baso mengatakan, khusus untuk DPR RI komposisi calon anggota legislatif (caleg) terisi penuh khususnya daerah pemilihan (Dapil) Sulsel III sebanyak tujuh figur.
“Partai Garuda jelas punya target. Tidak muluk-muluk lah, minimal satu kursi untuk setiap dapil yang terisi. DPR RI yang terisi penuh, semoga bisa dapat tiga kursi lah,” harapnya.
Andi Zainuddin Baso mengakui, meski struktur di 24 kabupaten/kota belum tuntas, namun seluruh pekerjaan tetap jalan, semua kepengurusan yang sudah terbentuk langsung bekerja maksimal.
“Kerja ke basis tetap all out. Cuma ya itu tadi, sekarang ini struktur belum 100 persen,” singkatnya.
Manajer Strategi dan Operasional Jaringan Suara Indonesia (JSI) Nursandy Syam menyatakan, dengan ambang batas parlemen secara nasional sebanyak empat persen, maka kans partai-partai kecil akan membutuhkan effort yang luar biasa untuk mencapainya.
“Branding partai, kekuatan kapital dan kualitas caleg yang dipersiapkan akan ikut menentukan masa depan partai secara nasional,” katanya.
Sebagai contoh, berkaca dari pemilu 2019, partai Perindo sejatinya mampu meraih kursi di beberapa dapil namun kandas karena perolehan suara secara nasional tidak mencapai empat persen.
Dia mengungkapkan, setidaknya untuk mencapai empat persen, parpol baru dan partai-partai kecil perlu memfokuskan dapil garapan yang potensial saja.
“Tidak perlu habis-habisan di dapil yang memang sulit untuk mendapatkan kursi,” jelasnya.
Pakar politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Sukri Tamma menilai, memang cenderung sulit bagi partai politik pendatang baru untuk berkontestasi pada Pemilu kali ini. Sebab, persaingan sangat ketat.
“Memang akan sangat sulit untuk bersaing bagi parpol pendatang baru. Mengingat, sekarang ini parpol yang sudah matang pun masih saling sikut, sehingga butuh kerja lebih ekstra untuk bisa bersaing,” ujarnya.
Selain itu, infrastruktur partai juga sangat menentukan. Sehingga, bagi partai yang masih setengah-setengah, atau bahkan hanya sekadar tes-tes ombak, secara otomatis akan kewalahan.
Terlebih lagi jika mereka tidak punya pentolan tokoh yang
memang punya jejak karir politik bagus. Itu mengharuskan mereka bekerja berkali-kali lebih ekstra untuk bisa merebut suara, khususnya Parlementary Treshold.
“Kalau mesin partai lemah, infrastruktur minim, ditambah tidak ada tokoh, maka mereka harus berkali-kali lipat lagi kerjanya. Beda dengan Gelora atau PSI, yang memang tidak memulai dari nol,” jelasnya.
Pengamat politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Priyanto. Kata dia, ketika parpol berani menempuh jalan pertarungan, maka pilihannya hanya totalitas.
Jika tidak, maka sama saja dengan bunuh diri. Bahkan ketika partai tidak mampu memenuhi persyaratan paling vital, dalam hal ini jumlah caleg, maka hal itu bisa disimpulkan sebagai sebuah kegagalan.
“Kekurangan Caleg merupakan dampak dari Kegagalan rekrutmen kader sebuah partai politik,” ungkapnya.
Dia juga menegaskan, situasi yang terjadi pada beberapa parpol baru, termasuk PKN ini, mencerminkan dengan gamblang bahwa mereka lemah dalam konsolidasi. Bahkan bisa juga sebagai kegagalan besar karena
terkesan memaksakan diri.
“Ini mencerminkan lemahnya konsolidasi mereka di panggung politik elektoral. Kondisi ini akan membuat mereka kesulitan berkompetisi dalam sistem pemilihan umum yang ketat dan high cost,” imbuhnya.
Kemudian, tidak adanya figur besar yang menjadi simbol partai juga akan sulit bagi mereka untuk kompetitif. Sebab, tidak vote getter yang menjadi poros utama mereka untuk meraup suara.
“Dengan kegagalan rekrutmen tokoh-tokoh politik vote getter yang kompetitif, maka bisa dipastikan partai ini akan sulit meraih kursi di parlemen lokal dan nasional,” jelasnya. (Fahrullah/C)