MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers di Indonesia terus berulang. Pihak yang keberatan dengan produk jurnalistik seyogyanya mengajukan hak jawab terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk mengadukan permasalahan ke Dewan Pers. Namun, seringkali saluran yang telah dijamin oleh Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers dilewati.
Direktur LBH Pers Makassar, Fajriani Langgeng, mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, lembaganya telah menghadapi berbagai kasus pers, mulai dari kasus kekerasan jurnalis hingga kasus pidana dan perdata.
Pada tahun 2022, LBH Pers Makassar telah melakukan advokasi terhadap kasus kekerasan jurnalis di beberapa kota. Di tahun berikutnya, yakni 2023, jurnalis dari media TV serta seorang jurnalis perempuan dilaporkan mengalami kekerasan seksual.
Saat ini, kata dia, kasus perdata yang tengah berjalan melibatkan dua perusahaan media Herald.id dan Inikata.co.id, serta dua jurnalis dan narasumber jurnalis. Kasus ini sebelumnya telah memasuki tahap mediasi. Ia mengatakan media tersebut telah memberikan hak jawab, begitu pun melampirkan permohonan maaf.
“Seharusnya kasus itu sudah selesai,” kata Fajriani dalam diskusi yang digelar AJI Makassar dengan tajuk Perlukah Amendemen UU Pers? di Sekretariat AJI Makassar pada Minggu sore 24 Maret 2024.
Menariknya, ia menyebut bahwa salah satu alasan penggugat untuk kasus ini berdasarkan surat penilaian dari Dewan Pers, yang menilai bahwa berita tersebut tidak mencakup sudut pandang kedua belah pihak dan melanggar kode etik jurnalistik. Penggugat mengklaim telah mengalami kerugian dari pemberitaan tersebut.
"Nilai gugatannya sangat fantastis, mencapai Rp700 miliar," ungkap dia, menyoroti besarnya jumlah yang diminta oleh para penggugat dalam kasus ini.