Stop Cawe-cawe di Pilkada Serentak!

  • Bagikan
Ilustrasi Pemilu Serentak 2024

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sengketa atau gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) telah berakhir dengan hasil menolak seluruh permohonan penggugat. Meskipun ada beberapa catatan yang masih jadi pembahasan publik.

Catatan yang jadi perhatian itu yakni Penjabat atau Pelaksana Jabatan (Pj) Gubernur di beberapa wilayah di Indonesia diduga tidak netral selama berlangsungnya Pilpres 2024. Hal tersebut diungkapkan oleh Hakim MK, Saldi Isra, yang menyebut bahwa ada sejumlah Pj Gubernur yang memanfaatkan jabatannya untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Profesor Aminuddin Ilmar mengatakan, bila melihat catatan-catatan tersebut meskipun tidak menyeluruh maka harus menjadi perhatian ke depan, utamanya dalam pelaksanaan Pilkada.

"Kalau saya memang ini menjadi perhatian ke depan agar di dalam melaksanakan fungsi tugas dan kewenangannya, sesuai dengan sisi kepentingannya. Sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan, tidak ikut bermain apalagi di dalam pelaksanaan Pilkada, karena akan membuat perhelatan pemilihan kepala daerah itu menjadi bermasalah," ujar Prof Ilmar, Selasa (23/4/2024).

"Kalau itu bermasalah, kan, rentan terjadi gesekan, dan kita harapkan itulah menjadi pelajaran agar ke depan pejabat itu berhati-hati lagi. Artinya sesuai tugas dan fungsi dan kewenangannya. Tidak ikut campur di dalam proses politik yang sedang berlangsung, sebab kalau itu dilakukan, itulah yang menjadi sumber masalah," sambung dia.

Ilmar mengatakan, dalam pelaksanaan pilpres, salah satu masalah pokok yang mendapat perhatian publik adalah putusan 90 yang meloloskan Gibran Rakabuming sebagai cawapres. Meskipun dalam sidang sengketa Pemilu di MK dinyatakan PKPU pencalonan presiden dan wakil presiden telah sesuai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. MK menilai KPU sebagai pihak termohon telah melaksanakan putusan MK tersebut.

"Putusan MK 90 itu menjadi sumber masalah dan kemarin dari dissenting opinion itu saya tidak melihat bahwa ada konsisten menerapkan apa yang menjadi kepentingan. Sepertinya hakim MK juga ingin menyelamatkan keputusan nomor 90 itu," ucap Ilmar.

Dengan begitu, Ilmar berharap ke depannya pelaksanaan pemilu maupun pilkada tidak ada campur tangan pemerintah dalam prosesnya. Termasuk penyelenggara diminta melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.

"Kedua, pelaksanaan atau penyelenggara Pilkada serentak sendiri juga bisa melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan apa yang menjadi batasannya, tidak melampaui, juga pengawasan Pemilu lebih ketat lagi sehingga pengawasan itu bukan menjadi masalah tapi menyelesaikan masalah," ujar dia.

Sebelumnya, hakim konstitusi Saldi Isra menyebutkan beberapa penjabat gubernur yang diduga melanggar kewenangannya atau tidak netral itu diantaranya Pj Gubernur Sumatera Utara, Pj Gubernur DKI Jakarta, Pj Gubernur Jawa Tengah, Pj Gubernur Banten, Pj Gubernur Kalimantan Barat, termasuk Pj Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Bahtiar Baharuddin.

Menurut Saldi, ketidaknetralan mereka terungkap setelah membaca keterangan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta fakta yang terungkap dalam persidangan. Alat bukti juga dipelajari secara seksama oleh Saldi.

“Berdasarkan penelitian, saya menemukan adanya masalah netralitas Pj, kepala daerah, dan pengerahan kepala desa yang terjadi di beberapa wilayah, antara lain Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan,” ujar Saldi dalam sidang putusan di Gedung MK, Senin lalu.

Saldi menjelaskan bahwa bentuk ketidaknetralan Pj Gubernur tersebut antara lain terlihat dari penggerakan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pengalokasian dana desa untuk kepentingan kampanye.

Bahkan, kata dia, mereka secara terang-terangan mengajak masyarakat untuk memilih pasangan calon yang dinilai memiliki komitmen jelas terhadap kelanjutan pembangunan Infrastruktur Konektivitas Nasional (IKN).

“Beberapa tindakan yang dilakukan termasuk pembagian bantuan sosial kepada pemilih dengan menggunakan kantong yang bermerek paslon tertentu, penyelenggaraan kegiatan massal dengan menggunakan seragam dan aksesori yang menonjolkan dukungan kepada paslon tertentu, pemasangan alat peraga kampanye di kantor pemerintahan daerah, serta ajakan untuk memilih paslon di media sosial dan gedung milik pemerintah,” tambahnya.

Adanya beberapa catatan tersebut, juga dinilai bisa berdampak pada proses pelaksanaan Pilkada tingkat provinsi maupun kabupaten-kota yang bakal digelar November 2024 nanti.

Lebih lanjut, MK menjelaskan Posisi Ketidaknetralan Sulsel dalam Pemilu 2024 kemarin, berdasarkan dalil pemohon terdapat catatan; yakni, pada tanggal 2 Februari 2024, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengajak warga Sulawesi Selatan untuk memilih pasangan nomor urut 2 dalam acara silaturahmi relawan Prabowo-Gioran se-Sulawesi Selatan di GOR Sudiang, Makassar.

Pada tanggal 10 Januari 2024, terdapat kegiatan pemberian dukungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 2 oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Takalar, Muhammad Hasbi di media sosial yang menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo sudah menjanjikan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil bagi tenaga pengajar dan program itu akan dilanjutkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 nika terpilih pada Pilpres 2024 mendatang.

Terkait dengan dalil pemohon tersebut. Bawaslu tidak memberikan keterangan secara utuh mengenai persoalan yang didalilkan Pemohon di atas sehingga seolah-olah tidak terdapat persoalan mengenai ketidaknetralan pejabat tersebut.

Komisioner Bawaslu Sulsel, Andarias Duma mengatakan pihaknya telah menjalankan tugasnya sebagai pengawas dan telah melakukan penindakan. “Semua laporan dan temuan kami di Bawaslu sudah tindaki semua,” kata dia.

Untuk ASN yang tidak netral pada Pileg dan Pilpres, Andaris tidak tahu jumlah pastinya. Menurut dia, semuanya sudah direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk diberikan sanksi seperti Sekretaris Daerah Kabupaten Takalar, Muhammad Hasbi dan Pj Bupati Bone, Andi Muhammad Hasbi.

“Kalau Bone dan Takalar, itu sudah kami tidak lanjuti ke KANS kalau tidak salah sudah diberikan sanksi, begitu juga ASN yang berpihak kepada Caleg,” ucap dia.

Sementada Pj Gubernur Sulsel, Bahtiar Baharuddin, Andarias menyebutkan jika kasus tersebut dilaporkan langsung ke Bawaslu RI, bukan Bawaslu Provinsi dan itu sudah diproses. “Bawaslu RI di Proses, kalau tidak salah diberhentikan karena tidak memenuhi syarat materil,” bebernya.

Ke depan, kata Andarias, untuk pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati akan memberikan imbauan baik itu berstatus sebagai penjabat maupun petahana.

“Jadi ke depan kami akan imbauan kepada seluruh ASN agar netral baik itu di Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Begitu juga calon petahana yang akan maju kembali,” singkatnya.

Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli mengatakan, dalam mengambil keputusan itu tidak pernah terjadi intervensi dari mana pun, walaupun itu Pj Gubernur Sulsel.

"Bawaslu independen dalam mengambil putuskan baik adminisi maupun pidana. Tidak ada intervensi mana pun," ujar dia.

Dirinya juga menyebutkan jika independensi sudah terjaga karena dalam mengambil keputusan ada Gakkumdu yang di dalamnya ada Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.

"Tidak ada keterlibatan sama sekali Penjabat Gubernur. Kami betul-bentul mengambil keputusan dengan independen," ujar dia.
Jika ada komunikasi dengan Pj Gubernur Sulsel, Mardiana hanya menyebutkan dia hanya menanyakan situasi dan keamanan Pemilu. (isak pasa'buan-fahrullah/C)

  • Bagikan