Hal senada juga dilontarkan Prof Muhammad Nur Sadik. Dilansir dari salah satu media, pakar kebijakan publik Unhas menilai rencana pemprov Sulsel menggeneralisasi antara pajak dan pengisian BBM merupakan kebijakan yang aneh.
“Iya (kebijakannya) bersifat aneh, harusnya pengelola pajak sosialisasi, mencari penyebabnya mengapa orang tidak bayar pajak,” ucapnya.
Dia menjelaskan bahwa secara konseptual, kebijakan publik itu bersifat umum, sehingga tidak ada diskriminasi. Jadi tidak bisa menghubungkan kebijakan yang satu dengan yang lain.
“Persoalannya pihak pajak supaya memberikan edukasi bagaimana sosialisasi sehingga orang bayar pajak, bukan masalah kebijakan Pemda (dilarang isi BBM),” jelasnya.
Guru besar ini menuturkan bahwa boleh jadi orang yang tidak bayar pajak ini karena memiliki pendapatan yang rendah. Bahaya lagi jika kebijakan itu kemudian dibebankan mereka pada larangan pengisian BBM.
“Kenapa orang nggak bayar pajak, berarti ada sesuatu yang bermasalah dalam pengelolaan pajak itu, harus diteliti kenapa orang nggak bayar pajak apa penyebabnya ataukah orang pendapatan kurang,” paparnya.
“Harus diteliti jangan dikaitkan dengan pembayaran pembeli bensin padahal orang beli bensin itu kan bisa orang bergerak dimana-mana cari uang,” lanjut dia.
Kepala Bapenda Sulsel Reza Faisal mengemukakan kebijakan larangan pembelian BBM bersubsidi akan dikolaborasikan dengan Pertamina. "Kita akan kerja sama dengan Pertamina bagaimana masyarakat yang mendapatkan BBM subsidi juga bisa memenuhi kewajibannya," ujarnya belum lama ini.
PT. Pertamina Regional Sulawesi saat dihubungi mengatakan, Bapenda telah menyampaikan rencana tersebut. “Belum ada kesepakatan,” ujar Area Manager Communication, Relation, dan CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, Fahrougi Andriani Sumampouw melalui pesan WhatsApp. (*)