Timbang Matang Pilkada di Dewan

  • Bagikan
rambo/raksul

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Wacana mengubah sistem penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terus menggelinding.

Dukungan Presiden Prabowo Subianto yang setuju pemilihan berbasis parlementer tersebut langsung direspons berbagai kalangan. Alasan perlunya pengkajian ulang dikarenakan tingginya biaya politik dan korupsi politik. Di lain sisi, mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD sejatinya menjauhkan hakikat kepentingan rakyat yang berdaulat.

Anggota Komisi II DPR RI, Taufan Pawe wacana evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah berbasis parlementer dimulai setelah Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia prihatin dengan kondisi pilkada serentak yang digelar 27 November lalu.

"Memang ada wacana dari Ketum Golkar untuk melakukan evaluasi terhadap proses pilkada setelah melihat pilkada serentak 2024. Sebagai anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar jika memang arahnya dievaluasi maka tentunya kami akan sejalan dan mengikuti pengarahan tersebut," kata Taufan Pawe di Makassar, Selasa (17/12/2024).

Mantan Wali Kota Parepare itu mengatakan kebijakan tersebut sah-sah saja dilaksanakan selama regulasi yang dibuat khusus untuk pilkada telah diubah.

"Yang terpenting menurut saya kajian dan pendalaman naskah akademik sehingga hal yang diwacanakan bisa sesuai dengan ekspektasi. Semua ini butuh kajian dan pendalaman dalam hal naskah akademik," ujar Taufan.

Ketua Partai Golkar Sulsel ini juga berpendapat untuk tahap pertama sendiri perlu dilakukan percobaan tingkat provinsi. Menurut dia, ada rencana nantinya gubernur akan dipilih melalui anggota DPRD provinsi.

"Mungkin bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, pemilihan gubernur dulu. Setelah ada hasil dan evaluasi, baru ditingkatkan ke kabupaten dan kota. Tapi, harus ada evaluasi di tingkat pilgub terlebih dahulu," tutur dia.

Dia juga mengaku, kebijakan tersebut juga sudah diterjemahkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pada puncak HUT ke-60 Golkar, Prabowo menyampaikan gagasan tersebut.

"Bapak Presiden juga sudah memikirkan hal tersebut dan kami pastinya di DPR RI akan menyiapkan tahapan-tahapan tersebut termasuk bagaimana meramu aturan dan juga kajian serta naskah akademik dari wacana tersebut," imbuh dia.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sulsel, Sufriadi Arif, mengatakan, wacana soal pemilihan kepala daerah dipilih melalui DPRD, memicu perdebatan serius dan mengundang perhatian oleh banyak kalangan.

"Wacana ini mengundang pro dan kontra. Bagi penggiat demokrasi wacana ini dianggap dapat mencederai kepentingan rakyat banyak. Tapi bagi saya, pilkada melalui DPRD menghemat cost politik dan menjaga kondisi sosial masyarakat," ujar Sufriadi.

Dia menuturkan, pro-kontra masih berkembang akan menjadi diskursus panjang. Bagi pihak yang setuju dengan wacana ini berpendapat bahwa dengan mekanisme pemilihan langsung terlalu besar beban dan biaya yang harus ditanggung oleh negara.
Dan di sisi lain, dengan adanya pilkada langsung selama ini, faktanya, tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

"Hemat saya, pilkada yang selama ini kita anut dengan mekanisme pemilihan langsung Kepala Daerah memang perlu dijadikan bahan catatan untuk kemudian dicarikan format yang lebih tepat dan ideal," imbuh dia.

Anggota fraksi PPP DPRD Sulsel itu menyebutkan hal ini karena faktanya, pilkada langsung cukup memprihatinkan. Bahkan menyisakan banyak persoalan serius.

"Belum lagi, ongkos politik sangat mahal yang harus ditanggung oleh negara, dan ancaman kohesi sosial," ujar dia.

Selain itu, kata dia, seorang kandidat yang maju di pilkada langsung harus merogoh koceknya sebesar-besarnya hanya untuk mendapatkan tiket dan dukungan partai politik. Tidak hanya itu, kandidat pun harus mempersiapkan lagi biaya lainnya untuk memenuhi kebutuhan segala macam atribut dan alat peraga lainnya serta mobilisasi dan pergerakan timnya agar mendapatkan dukungan elektoral di masyarakat.

"Kesimpulannya, kandidat yang berkantong cekak, bisa dipastikan kecil kemungkinannya mendapatkan dukungan elektoral secara signifikan," imbuh dia.

Sudriadi mengatakan, ongkos sosial juga terkena imbasnya. Kerukunan dan kedamaian antar sesama warga terganggu karena faktor beda pilihan. Mereka yang tadinya rukun kemudian tiba-tiba tidak akur karena perbedaan pilihan. Ironisnya lagi yang punya pertalian darah yang sama pun mengalami hal serupa. Dampak keterbelahan sosial ini, patut menjadi pertimbangan, selain karena tujuan bernegara adalah untuk kemaslahatan (kesejahteraan) masyarakat.

Juga karena pertimbangan kohesi sosial, yang merupakan tujuan sosial sekaligus tujuan politik yang penting dan harus dijaga, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila sila ketiga persatuan Indonesia.

"Budaya bangsa kita tidak mengajarkan kita untuk saling berhadap-hadapan sesama anak bangsa. Demokrasi yang kita anut bukan demokrasi ala barat yang terbiasa saling menelanjangi, saling bongkar aib dan saling menjatuhkan," kata dia.

Dia menilai, meskipun demikian wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD tetap harus mempertimbangkan banyak hal, utamanya pada pengalaman panjang dan pahit selama Orde Baru.

"Mekanisme pemilihan kepala daerah jauh sebelumnya sudah ditentukan dan tidak melalui cara-cara yang demokratis. DPRD diposisikan hanya sebatas tukang stempel saja," tutur Sufriadi.

Sementara itu, Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah menekankan pentingnya kajian yang lebih mendalam sebelum mengambil keputusan Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD.

"Tidak boleh memutuskan terlalu cepat. Semua harus melakukan kajian yang lebih mendalam untuk memahami apa dampaknya bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia,” ujar Asratillah.

Salah satu argumen yang sering dilontarkan oleh pendukung pengembalian pilkada ke DPRD adalah mahalnya biaya politik yang dikeluarkan oleh kandidat. Mereka berpendapat bahwa dengan mengembalikan Pilkada ke legislative tidak akan mengeluarkan biaya yang cukup besar.

"Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan mengembalikan pemilihan ke DPRD maka biaya politik akan berkurang? Apakah ada jaminan bahwa kandidat tidak lagi mengeluarkan sejumlah uang pelicin untuk mendapatkan suara anggota DPRD?," tanya Asratillah.

Asratillah menyebutkan jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, maka muncul problem representasi.

"Sampai sejauh mana preferensi politik anggota DPRD akan kepala daerah ideal sebangun dengan preferensi politik para konstituennya? Selain itu juga akan memunculkan problem partisipasi, dengan dikembalikan ke DPRD maka tentu saja akan mengurangi partisipasi masyarakat dalam politik," ujar dia.

Asratillah mengingatkan bahwa pengembalian pilkada ke DPRD juga akan mengurangi partisipasi masyarakat dalam politik.
"Kita juga mesti membedakan antara pemilihan gubernur dan pemilihan bupati-walikota. Penyelenggaraan pemerintahan tingkat provinsi berdasarkan asas dekonsentrasi, dan merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, maka jika pemilihan gubernur dikembalikan ke DPRD Provinsi tidak akan begitu melahirkan problem representasi dan partisipasi," ujar Asratillah.

Berbeda dengan pemilihan gubernur, pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota diatur dengan asas desentralisasi dan otonomi daerah. Asratillah menegaskan bahwa pada tingkat ini, partisipasi dan representasi masyarakat sangat penting.

"Sehingga partisipasi dan representasi masyarakat merupakan hal vital untuk melegitimasi apakah seorang kepala daerah terpilih secara demokratis atau tidak," tutur dia.

Di Jakarta, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian setuju dengan wacana mengubah sistem penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Alasannya, pilkada langsung mengeluarkan biaya besar.
"Saya sependapat tentunya, kita melihat sendiri bagaimana besarnya biaya untuk pilkada," kata Tito.

Pilkada langsung, kata Tito, juga menyebabkan kekerasan di sejumlah daerah. Melihat sejumlah dampak itu, Tito sebetulnya sudah lama mengajukan pilkada asimetris. Salah satu opsi pilkada asimetris itu, yakni kepala daerah dipilih DPRD.

Pilkada asimetris merupakan sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antardaerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya maupun aspek strategis lainnya.

Tito menilai, pilkada melalui DPRD juga bisa diterjemahkan sebagai demokrasi perwakilan. Namun, Tito mengatakan, ide itu harus dikaji oleh partai politik, DPR, hingga akademisi.

"Tapi, ya, kita lihat bagaimana teman-teman di DPR nanti, parpol, akademisi, Kemendagri melakukan kajian," kata dia.
Menurut Tito, ide ini akan dibahas secara serius di bawah kementeriannya. Sebab, aturan mengenai pemilu kepala daerah ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

"Kan salah satunya sudah ada di prolegnas. Di prolegnas kalau saya tidak salah, termasuk UU Pemilu dan UU Pilkada. Nanti gongnya akan dicari tapi sebelum itu kita akan adakan rapat," kata Tito.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengusulkan pesta demokrasi untuk memilih DPRD saja. Setelah itu, DPRD yang nanti akan memilih gubernur hingga bupati. Menurut Prabowo, sistem itu lebih efisien dan bisa menekan banyak biaya.

"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali memilih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang memilih gubernur, memilih bupati," kata Ketua Umum Partai Gerindra ini dalam sambutannya pada Puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), pekan lalu.

Menurut Prabowo, opsi itu bisa dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan untuk menggelar Pilkada. Anggaran sebesar itu, kata Prabowo, lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat.

"Efisien nggak keluar duit? Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi," kata Prabowo.

Belum lagi banyaknya anggaran politik yang harus dikeluarkan peserta pilkada. Dengan keadaan itu, Prabowo menyarankan perlu ada evaluasi sistem secara bersama-sama.

"Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing," kata Prabowo.

Usulan ini sebelumnya juga disampaikan Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Ia mengusulkan agar pemilihan gubernur dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD masing-masing provinsi.

Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu mengungkapkan alasannya karena pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 berbiaya tinggi. Jazilul memberikan contoh, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat. Belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.

"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp 1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini, menilai pemilihan gubernur melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat. “Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi saat dihubungi melalui WhatsApp, pada Ahad, 1 Desember 2024.

Meski begitu, Titi tidak menampik pemilihan gubernur oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Namun, kata Titi, hasil pemimpin yang diputuskan hanya berbasis terhadap kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat.

Dalam pelaksanaan pilgub dengan dipilih oleh rakyat, kata Tito, juga masih ditemukan keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai. “Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” ujar dia. (fahrullah-suryadi/C)

  • Bagikan