Giliran Gugatan Pilwali Makassar Kandas, MK: Permohonan Pemohon Tidak Dapat Diterima

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kota Makassar 2024, yang diajukan Pasangan Calon (Paslon) walikota dan wakil walikota Makassar, Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi AU (INIMI).

Putusan tersebut dibacakan Hakim MK, Enny Nurbaningsih dan Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan dan penetapan dismissal PHP Kada Kota Makassar, Selasa (4/2/2025) malam.

Enny Nurbaningsih saat membacakan putusan tersebut mengataka bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut kewenangan mahkamah, mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada dalam permohonan pemohon bukanlah dalil yang berkaitan dengan perselisihan hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar Tahun 2024.

"Sehingga mahkamah tidak berwenang untuk mengadili perkara a quo," ucap Enny Nurbaningsih dalam sidang.

Ia juga menjelaskan, dalam permohonan pemohon tidak mendalilkan tentang kesalahan penghitungan suara, melainkan menjelaskan adanya dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Dalam sidang juga, Hakim MK manyampaikan terdapat kontradiksi antara posita dan petitum permohonan pemohon, karena dalam positanya, pemohon hanya mendalilkan permasalahan di 39 TPS. Namun pada bagian petitum, pemohon meminta agar MK melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh TPS yang ada di Kota Makassar.

"Bahwa berkaitan dengan dalil Pemohon tersebut, juga tidak terdapat laporan dan/atau temuan pelanggaran pemilihan dan permohonan sengketa pemilihan ke Bawaslu Kota Makassar, dan terhadap Surat Saran Perbaikan Nomor 723/PM.00.02/K.SN-22/09/2024, bertanggal 21 September 2024," jelasnya.

"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dugaan termohon menghambat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya telah ternyata tidak terbukti. Terlebih mahkamah tidak menemukan adanya bukti yang meyakinkan mengenai keberatan dari saksi-saksi pasangan calon atau catatan kejadian khusus. Dengan demikian, menurut mahkamah dalil pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum," sambungnya.

Lebih lanjut, Hakim MK juga berpandangan bahwa jika benar terdapat daftar hadir pemilih yang hanya berisi paraf dan tidak identik dengan tanda tangan di KTP, hal demikian tidak dapat diklaim sebagai indikasi adanya pemalsuan tanda tangan atau kecurangan dalam proses pemilihan. Kecuali terdapat bukti nyata bahwa pemilih yang hadir dan mencoblos, namun tidak menandatangani daftar hadir adalah orang yang berbeda dengan orang yang tercantum di dalam daftar pemilih.

"Hal demikian tidak diuraikan dan dibuktikan lebih lanjut oleh pemohon. Sehingga berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pola tanda tangan yang diduga fiktif pada DHPT telah ternyata tidak terbukti. Terlebih mahkamah tidak menemukan adanya bukti yang meyakinkan mengenai keberatan dari saksi-saksi pasangan calon atau catatan kejadian khusus," ungkap Enny Nurbaningsih.

"Menimbang bahwa oleh karena eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait mengenai kedudukan hukum pemohon adalah beralasan menurut hukum maka eksepsi lain dari termohon dan eksepsi pihak terkait serta pokok permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan. Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain yang berkaitan dengan permohonan a quo, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena menurut Mahkamah dinilai tidak ada relevansinya," sambungnya.

Sementara Hamim MK, Suhartoyo saat membacakan putusan tersebut menyatakan dalam eksepsi mengabulkan eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait berkenaan dengan kedudukan hukum pemohon.

"Menolak eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait untuk selain dan selebihnya. Dalam pokok permohonan menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," tutup Suhartoyo. (isak pasa'buan/C)

  • Bagikan