MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Makassar meminta direksi PT KIMA (persero) untuk melakukan evaluasi penetapan biaya Perjanjian Pemanfaatan Tanah Industri (PPTI) sebesar 30 persen dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Hal itu disampaikan Ketua Komisi B DPRD Kota Makassar, Erick Horas dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi B DPRD Makassar dan pengusaha yang tergabung dalam Paguyuban Pengusaha KIMA Makassar (PPKM) dengan jajaran direksi PT KIMA (persero), Rabu (20/4).
"Jangan sampai ada dampak sosial yang timbul dari penetapan tarif PPTI yang tinggi ini. Apalagi sudah disebutkan kalau ada 20.000 lebih tenaga kerja di sana yang menggantungkan hidup," tegas Erick Horas.
Dampak sosial berupa pemutusan hubungan kerja ini bisa saja terjadi merujuk pada data kalau di PT KIMA terdapat sekotar 278 perusahaan. Dari jumlah tersebut baru sekitar 34 perusahaan yang melakukan perpanjangan PPTI.
"Kalau ratusan lainnya tidak sanggup melakukan perpanjangan PPTI maka akan tutup. Terutama di tengah kondisi pandemi saat ini yang cukup menerpa kondisi perekonomian. Yang terjadi adalah PHK. Untuk menghindari itu diharapkan PT KIMA merevisi penetapan PPTI sebelumnya," ujarnya.
Terpisah, Anggota DPRD Makassar Azwar menilai, penurunan tarif PPTI harusnya menjadi prioritas dari PT KIMA untuk menghindari dampak sosial dan berujung pada kekacauan di tengah masyarakat.
"Kalau PHK betul-betul terjadi, maka efek sosial tidak bisa dibayangkan, mengerikan. Bisa terjadi kekacauan. Ini harus dihindari, maka KIMA harus bijak, daripada mengejar keuntungan semata," tutur Azwar.
Sementata itu, legislator Hasanuddin Leo menyebutkan, PT KIMA harusnya bisa membuat gambaran tentang formulasi penetapan PPTI kemudian melakukan komunikasi juga dengan para pemegang saham terkait seperti Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar.
Sekretaris Paguyuban Pengusaha KIMA Makassar, Tumpak Sianipar, menyebutkan dengan adanya penetapan PPTI sebesar 30 persen ini membuat para pengusaha kebingungan, karena ada perjanjian jual beli antara pengusaha dengan PT KIMA.
"Pengusaha hanya tahu telah melakukan jual beli sejak awal masuk ke kawasan industri Makassar, belakangan dibebani dengan PPTI. Dalam dokumen yang kami pegang juga adalah jual beli," kata Tumpak.
Sementara itu, Direktur Utama (Dirut) PT KIMA (persero) Zainuddin Mappa mengaku tidak ada jual beli, tapi pemanfaatan tanah industri. Pada tahun 1990-an para investor hanya harus membayar 1 persen dari NJOP.
"Dasar utama penetapan PPTI adalah PMK Nomor 33 Tahun 2012 tentang sewa tanah/barang milik negara. Tarif 30 persen ditetapkan itu disebut sebagai harga pasar," ujar Zainuddin Mappa.
Terkait dengan ancaman PHK pekerja di KIMA, Zainuddin Mappa menyebutkan hal itu tidak akan terjadi, karena terdapat 34 perusahaan sudah bayar dan mempekerjakan banyak pekerja.
"Penetapan tarif ini dilakukan sudah dalam pengawasan para pemegang saham. Terkait pembayaran untuk PPTI ini kami sudah mengambil kebijakan, seperti cara mencicil," tuturnya.
Di sisi lain untuk penurunan PPTI, Zainuddin Mappa mengaku tidak bisa mengambil kebijakan secara langsung. Dia mempersilakan pengusaha dan DPRD Makassar untuk mengirim surat ke Kementerian BUMN untuk revisi PPTI tersebut.
Staf ahli DPRD Makassar Zainuddin Jaka menyebutkan, berdasarkan ketentuan disebutkan KIMA sebagai pengelola kawasan hanya mengeluarkan rekomendasi PPTI dan yang melakukan perpanjangan hak guna bangunan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). (***)