Jelang Penetapan DCT, Kader “Kutu Loncat” Kian Marak

  • Bagikan

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto mengatakan banyak kader pindah partai menjelang pemilu karena proses rekrutmen yang tidak berbasis kaderisasi. "Sehingga tidak terjadi ideologisasi terhadap anggota," ujar dia.

Menurut Andi Ali, relasi antara kader dengan partai sangat pragmatis sehingga ketika partai tidak lagi menguntungkan atau ada partai lain yang memberi tawaran lebih menguntungkan dalam bentuk posisi, maka kader tersebut akan migrasi.

"Iming-iming jabatan hingga patronase politik menjadi salah satu pemicu kader partai akan pindah. Apalagi kalau tidak ada ikatan ideologis antara partai dengan kader," kata dia.

Dia mengatakan, pemilu di Indonesia yang menganut proporsional terbuka cukup menguntungkan bagi parpol untuk merekrut figur potensial dari lintas partai. Apalagi figur tersebut telah dikenal masyarakat luas, sehingga sosialisasi semakin efektif.

Menurut Andi Ali, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih lebih dekat dengan sosok elit dibanding partai. Dengan adanya kader yang pindah partai, akan merugikan partai sebelumnya karena berpotensi untuk mengurangi perolehan suara.

Namun perpindahan tersebut juga bisa menjadi ancaman. Ali mencontohkan, kepindahan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) dari Demokrat ke Golkar. Menurut dia, secara tidak langsung akan mengancam posisi peluang Ketua Golkar Sulsel Taufan Pawe untuk maju sebagai calon gubernur Sulsel 2024.

Tapi, Ali mengatakan, semakin tinggi intensitas persaingan internal partai otomatis akan mendongkrak perolehan suara di Pileg. Sebab, setiap figur memiliki keinginan untuk terpilih dan masing-masing bekerja meraup suara.

  • Bagikan