Masa Jabatan Kepala Daerah Dipangkas, Pengamat: Ini Konsekuensi Demokrasi

  • Bagikan
Ilustrasi

"Tantangannya pastinya mereka ini sisa kurang lebih 1 tahun lebih untuk bekerja, bagaimana kemudian program strategis mereka itu bisa betul berjalan di semua perangkat daerah," katanya.

"Masyarakat bisa merasakan pembangunan yang mereka lakukan sehingga ketika di 2024 masuk pilkada, kepala daerah ini tetap mendapatkan apresiasi dan dukungan publik yang kuat," lanjutanya.

Menurutnya, mereka dirugikan karena programnya tidak berjalan? Artinya mereka ini adalah korban dari masa transisi kebijakan yang dari pilkada 5 tahun yang jadi pilkada serentak 2024.

Pasti di masa transisi itu ada pihak yang kemudian berada pada situasi yang sifatnya tidak menguntungkan. Itu kan konteks kebijakan itu pasti ada dampak kebijakan yang sifatnya bisa merugikan ataupun menguntungkan.

"Ini saya kira bagi kepala daerah hasil pilkada 2020, waktu yang sangat sempit, kemudian anggaran mereka yang bisa sehari betul mampu manfaatkan 5 tahun APBD pokok dan perubahan, ini hanya 3 atau 4 tahun yang bisa dia kelola," ungkapnya.

"Saya kira kalau berbicara bahwa gaji dan sebagainya tidak terlalu besar. Kepala daerah gaji tunjangan, justru mereka bisa mendapatkan nilai elektoral yang lebih kuat ketika mereka menjalankan program strategis yang ada di apbd. Dan perubahan ini yang terpotong karena kebijakan pilkada 2024," lanjutanya.

Lantas apakah programnya banyak, apakah di sisa waktu mampu menjalankan itu? Ia menilai bahwa capaian program strategis masih di bawah angka 70 persen, ini jadi pekerjaan berat bagi kepala daerah lainya.

Namun, diakui untuk kepala daerah seperti misalnya Maros jika di lihat program strategis yang dijalankan Bupati Maros itu sudah berangkat di angka 90 persen lebih.

"Artinya, apa yang sudah diperjanjikan di RPJMD itu di atas 90 persen sudah dirasakan oleh masyarakat kabupaten Maros," bebernya.

  • Bagikan