Kontroversi Sayembara Video Pelanggaran Netralitas di Pilkada Takalar Berhadiah Uang

  • Bagikan
Ilustrasi Politik Praktis

Berpotensi Menjadi Pelanggaran UU ITE dan Risiko Sosial

TAKALAR, RAKYATSULSEL – Rencana pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Takalar, Samsari-Nojeng, menggelar sayembara berhadiah uang tunai Rp2 juta bagi masyarakat yang berhasil menangkap basah aparatur sipil negara (ASN), aparat TNI/Polri, kepala desa, atau perangkat desa yang tidak netral, menuai kontroversi. Langkah tersebut dinilai berpotensi melanggar hukum sekaligus menciptakan dampak sosial yang merugikan.

Pemerhati Pemilu sekaligus alumni Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Ainun Try Risky Ch Nisa, menilai inisiatif tersebut tidak etis dan berpotensi berbahaya. Menurutnya, tugas pengawasan netralitas aparat adalah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang memiliki mekanisme resmi dan pendanaan yang jelas.

"Tugas pengawasan ini sudah menjadi tanggung jawab Bawaslu bersama Sentra Gakkumdu. Melibatkan masyarakat dengan iming-iming hadiah justru berisiko memicu konflik dan melanggar aturan hukum," tegas Ainun.

Sayembara ini dinilai berpotensi menjerat masyarakat ke dalam masalah hukum, terutama terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

"Masyarakat bisa menjadi korban ketika menyebarkan video atau foto yang dianggap melanggar privasi atau mencemarkan nama baik," ujar Ainun.

Ia juga menambahkan bahwa langkah ini dapat menciptakan prasangka negatif terhadap aparatur negara, memperburuk kepercayaan publik, dan memicu konflik sosial.

"Alih-alih menjaga netralitas, mekanisme ini malah memperparah suasana dengan memperkuat stereotip yang memecah belah," katanya.

Dari sudut pandang psikologi, Ainun mengutip teori Baron dan Byrne (2004) yang menjelaskan bahwa prasangka sering kali terbentuk karena keinginan melindungi citra diri, tetapi dampaknya adalah penghakiman negatif tanpa bukti konkret. Hal ini dinilai berbahaya karena dapat memperkuat stereotip dan merusak harmoni sosial.

Ainun mengingatkan bahwa menjaga netralitas dan keamanan selama Pilkada hanya bisa tercapai jika semua pihak berkomitmen pada mekanisme hukum yang berlaku.

“Pelaporan pelanggaran harus dilakukan melalui jalur resmi, bukan dengan metode sayembara yang justru membuka peluang pelanggaran hukum dan memperburuk situasi sosial,” tutupnya.

Kontroversi ini menjadi catatan penting untuk memastikan proses Pilkada berlangsung damai dan berintegritas tanpa langkah-langkah yang berpotensi merugikan masyarakat luas. (Tiro)

  • Bagikan