Partai Cokelat dan Pergulatan Kekuasaan: Cawe-Cawe yang Menggigit?

  • Bagikan

Oleh: Muhammad Ridwan
Peneliti di Institut of Political and Social Study-IPOLS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pilkada serentak memang baru saja berlalu, namun gaungnya masih menggema sampai dengan saat ini. Suksesi kepala daerah yang di helat serentak di Indonesia pada tanggal 24 November 2024, tentunya meninggalkan jejak-jejak pro kontra. Ada yang puas, juga ada yang tidak puas.

Ada yang menarik akhir- akhir ini. Ramai pemberitaan di media terkait istilah "Partai Coklat" yang kini kembali memantik diskusi tentang khasanah demokrasi di Indonesia.

Istilah ini menuai banyak sorotan, terutama dari beberapa politisi, mulai dari anggota DPR hingga pejabat partai besar, yang mereka anggap sebagai simbol penyimpangan demokrasi di Pilkada 2024.

Siapakah Partai Cokelat Itu?

Istilah ini pertama kali mencuat dalam rapat Komisi I DPR RI yang membahas netralitas TNI dan penegakan hukum dalam proses democrasi election.

Namun, istilah tersebut ternyata memiliki akar yang lebih dalam, merujuk pada dugaan abuse of power oleh kelompok tertentu. Isu "Partai Cokelat" tidak hanya menjadi public discourse, tetapi menjadi semacam cerminan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.

Orang seperti Yoyok Riyo Sudibyo, anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, mengungkapkan pandangannya dalam rapat bersama menteri pertahanan dan panglima TNI. Dia menegaskan bahwa netralitas TNI sangat baik, tetapi demokrasi Indonesia yang brutal membutuhkan tindakan tegas terhadap penyimpangan seperti politik uang dan kampanye hitam.

Ditambah lagi munculnya peserta baru yang dinamai Partai Cokelat yang makin memberi kekacauan baru dalam demokrasi di Indonesia. Dan, itu menjadi alarm bahwa sepertinya akan terjadi arus balik, yakni otoritarianisme yang telah tumbang di tahun 1998 akan mendedah kembali.

Tak ketinggalan dari Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang lebih mengerucutkan bahwa istilah "Partai Cokelat" mengacu pada pendukung loyal Presiden Joko Widodo. Ia menuduh bahwa "Partai Cokelat" mencerminkan upaya Jokowi membangun "kerajaan politik" dengan menempatkan orang-orang terdekatnya di posisi strategis Pilkada.

Lebih jauh, menurutnya, bahwa tindakan ini bertentangan dengan prinsip negara republik. Ia menyebut Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk memperkuat kekuatan politik keluarganya di berbagai wilayah.

Begitu pula dengan Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, yang secara terang-terangan mengarahkan istilah "Partai Cokelat" pada oknum kepolisian yang diduga terlibat dalam memenangkan calon tertentu di pilkada. Ia mengkritik keras Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Deddy juga menekankan bahwa keterlibatan institusi kepolisian dalam politik lokal adalah ancaman serius bagi demokrasi yang jujur dan adil.

Benarkah Kepolisian Cawe-cawe di Pilkada 2024?

Dugaan keterlibatan Polri di wilayah politik, menimbulkan wacana reformasi kepolisian. Sejumlah pihak mengusulkan kepolisian di tempatkan dibawah TNI seperti di era ABRI dulu. Ada juga yang mengusulkan agar kepolisian di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri.

Kendati kepolisian selalu menampik tudingan praktik politiknya dengan mengatakan polri tetap netral. Namun sepertinya publik kadung tetap skeptis dengan hal itu. Toh, keterlibatan kepolisian dalam politik praktis memang memiliki preseden.

Sejarah mencatat, pasca-keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959, Kepala Kepolisian Negara Jenderal Soekanto menantang keras Presiden Sukarno untuk menggabungkan kepolisian negara dan Tentara Nasional Indonesia dalam ABRI.

Memasukkan kepolisian ke ABRI, menurut Soekanto, akan membuat polisi menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Hal itulah yang membuat ditentang sebagian perwira menengah polisi.

Sampai akhirnya Soekanto terdongkel dari jabatanya dan barulah kepolisian melebur menjadi matra ABRI. Itu selaras dengan apa yang dikatakan pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, (Kompas. 1/12/2024).

"RS Soekanto sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan saat itu."

Di masa Orde Baru, kendati polisi dan tentara aktif tak punya hak pilih, tetapi para personel keempat matra ABRI memiliki perwakilan di DPR. Mirip dengan Angkatan Darat yang mempunyai bintara pembina desa (Babinsa) dan kepolisian dengan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas).

Menurut Satjipto Rahardjo dalam membangun polisi sipil: perspektif hukum, sosial, dan kemasyarakatan. ABRI mengontrol desa melalui Babinsa, kepolisian negara mengontrol desa melalui polisi pembina masyarakat.

Bersama Babinsa dan kepolisian yang menjadi tangan terbawah dalam struktur, berkontribusi membuat Golongan Karya selalu menang tiap pemilu di masa Orde Baru. Namun begitu gerakan Reformasi 98, akhirnya polisi pembina masyarakat menghentikan aktivitasnya.

Meskipun dugaan cawe-cawe polisi di Pilkada 2024 ini belum terbukti, tetapi bukan tidak mungkin institusi ini bisa terseret ke wilayah politik praktis, sebagaimana kita ketahui telah ada preseden bahwa kepolisian memiliki peran penting dalam memainkan ritme politik dengan berbagai bentuk kemasannya.

Terbukti atau tidaknya, secara pribadi saya memandang pentingnya evaluasi terhadap netralitas aparat penegak hukum dalam proses pemilu, terutama pada proses pilkada serentak yang baru saja berlalu. Jangan sampai intitusi yang luhur ini tercoreng karena tak mampu menahan dari kuatnya syahwat politik.

Sebagaimana juga yang disampaikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), yang menyarankan agar dugaan ini dijadikan bagian dari evaluasi menyeluruh Pilkada 2024 untuk menjaga integritas demokrasi dan memastikan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. (*)

  • Bagikan