Penulis: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Primordial diartikan sebagai ikatan-ikatan dalam masyarakat yang bersifat keaslian (seperti kesukuan, kekerabatan, keagamaan, dan kelompok) atau sifat yang dibawa sejak lahir. Sifat keaslian ini misalnya berdasarkan kesukuan, kekerabatan (klan), dan kelompok-kelompok tertentu yang bersifat tradisional.
Apabila sikap setiap warga atau anggota ikatan-ikatan tadi berorientasi kepada kepentingan kelompoknya maka sikap demikian dinamakan primordialisme. Kelompok bermacam-macam jenisnya, misalnya, dapat dibedakan berdasarkan proses pembentukannya.
Ada kelompok yang telah terbentuk karena ikatan alamiah dan ikatan keturunan yang mengikat warganya dengan adat istiadat dan sistem norma yang sejak dahulu telah tumbuh seolah olah dengan tidak sengaja. Ada pula kelompok yang dibentuk dengan sengaja sehingga aturan-aturan dan sistem norma yang mengikat anggotanya juga disusun dengan sengaja. Kelompok yang terbentuk seolah-olah tidak disengaja disebut kelompok (grup) atau juga primary group.
Sistem pengorganisasian kelompok (grup) disebut in formal organization. Jenis kelompok ini pun bermacam-macam, di antaranya kelompok kesukuan, kekerabatan (klan). Dan kelompok lain. Seseorang yang menjadi anggota suatu kelompok (grup) menyebut dirinya kelompok dalam atau disebut in groups, sedangkan orang lain di luar kelompok disebut kelompok luar atau out groups.
Pendapat William G. Sumner bahwa di dalam in groups terdapat persamaan persaudaraan yang ditunjukkan dengan kerja sama, saling membantu, dan saling menghormati serta mempunyai persamaan solidaritas, kesetiaan terhadap kelompoknya dan kesediaan berkorban demi kelompok. Menurut Charles Horton Cooley, in groups atau kelompok primer sangat penting peranannya dalam menentukan kepribadian manusia.
Pada kelompok primer inilah manusia belajar mengenal kasih sayang, kebebasan, keadilan, fan play, persamaan, patuh kepada orang tua dan keluarganya, serta kesediaan berkorban untuknya. Dan pengalaman-pengalaman seperti itulah akhirnya perasaan bersama dalam kelompok tersebut. Jadi, sikap primordial dan primordialisme dapat terjadi dalam setiap kelompok dalam masyarakat yang masih mempertahankan nilai keaslian kelompoknya.
Setiap in groups atau kelompok primer memiliki sifat etnosentris. Pendapat ini dikemukakan oleh Sumner, menurutnya sikap pandangan anggota anggota in groups menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk kelompoknya adalah yang terbaik, paling istimewa dan paling hebat, sedangkan yang tidak termasuk ke dalam kelompoknya kurang baik, rendah, dan tidak sopan.
Sifat etnosentris ini bermula dari perasaan primordial yang kemudian meluas, dan berkembang termasuk di antaranya terwujud ke dalam berkembangnya politik aliran. Politik aliran adalah politik yang mementingkan pandangan atau cara berpikir kelompok tertentu.
Politik aliran sangat bertentangan dengan demokrasi karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia itu pikiran liar sebagian orang yang melihat secara kasat mata, tetapi politik aliran lebih pada ideologisasi politik, artinya, bahwa sebuah politik tanpa ideologi akan menemui titik kesuraman, bagaimana mungkin membangun kekuasaan dan demokrasi kalau tak memiliki basis ideologi.
Di banyak pemikiran termasuk Prof. Dr. Deliar Noor, menyebutkan bahwa kekuasaan tak akan mampu meletakkan dirinya sendiri, harus ada varian yang lain menguatkan. Pendapat beliau menyebutkan bahwa ideologi politik itu penting, bukan sekadar menyebutkan tentang politik aliran atau politik konvensional.
Di beberapa negara maju pun sektarianisme politik masih seringkali diusung dalam berbagai isu-isu politik. Trump dalam kampanye masih sering menyinggung isu kulit hitam dan radikalisme dan terorisme. Walau mendapat sorotan di mata dunia, tetapi jalan politik Amerika tentu berbeda dengan mekanisme politik dan demokrasi yang berkembang di belahan dunia ketiga termasuk Indonesia yang dibangun dari lapisan Islam yang begitu kuat.
Dengan demikian, politik aliran menurut catatan Clifford Geertz antropolog berkebangsaan Amerika yang pertama kali mempopulerkan istilah “politik aliran” yang mencoba mengubah pandangan dunia dalam struktur sosial, walau Geertz lebih melihat pada “Jawa Sentris” yang dikelompokkan dalam tiga kategorisasi yakni kelompok priyayi, santri dan abangan.
Kelompok priyayi yang lebih memilih kalangan birokrat nasionalis dan pilihan politiknya PNI, santri lebih berkiblat kepada Masyumi dan NU, dan kaum abangan lebih kepada PKI. Walau tidak semua kaum abangan masuk di barisan merah yang dikenal dengan PNI dan PKI. Tetapi pandangan Geertz telah membuka cakrawala dan cara pandang melihat politik Indonesia yang terus mengalami dinamisasi.
Soe Hok Gie di tahun 1964 dalam skripsinya yang berjudul “Di Bawah Lentera Merah” mencoba mendeskripsikan politik Indonesia dengan menyebutnya bahwa politik Indonesia yang berkembang di abad ke-20, adalah masih melanjutkan tradisi politik nusantara, walau hanya dikemas dalam jubah modernisasi.
Itu artinya bahwa perkembangan politik Indonesia adalah juga merupakan sejarah cultural sebagai basis ideologinya. Islamisme politik yang ditulis Soekarno diera tahun 1920-an adalah bentuk responsibiltasnya terhadap kekuatan Islam sebagai agama dan cultural.
SDI (Sarekat Dagang Islam) yang dipelopori kaum santri dan kalangan pedagang Gujarat mampu memberikan pengaruh pada budaya jawa saat itu yang lebih menganut animism dan dinamisme sebagai aliran kepercayaan mereka. Itu tidak mudah untuk dilakukan mengingat akar kebudayaan begitu mengkristalisasi dalam tubuh masyarakat Jawa dan Nusantara.
Islam awal memang mengalami hambatan untuk mentransformasikan nilai-nilai Islam ditengah masyarakat terlebih kepada dunia politik di Indonesia. Sementara akar nasionalisme dan Marxisme juga tumbuh seiring dengan kaum cendekiawan yang berbasis kajian ideologi komunis mengalami fase-fase tantangan dari kaum santri yang melihat paham Marxisme adalah lebih berafiliasi pada komunis.
Situasi demikian menjadikan politik Indonesia menuju dialektika yang begitu tajam, sebab ruang publik telah dihiasi dengan pertentangan ideologi bukan lagi mengharapkan dukungan dan pengaruh, tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat prinsipil, termasuk nilai (value), ideologi, dan aqidah. Itu artinya bahwa perkembangan politik aliran lahir seiring dengan gesekan cultural dan ideologi yang berkelindan dalam demokrasi Indonesia.
Pertanyaannya adalah, benarkah politik aliran sangat berbahaya terhadap demokrasi? Kalau pertanyaan tersebut diaminkan sebagai tesis untuk membenarkan bahaya politik aliran, maka sejarah pun akan berbohong. Bukankah para ulama di masa pra-kemerdekaan telah berjuang untuk mengusir penjajah dengan kekuatan agama dengan gerakan santri.
Bukankah Partai Islam seperti Masyumi dan Partai Kristen pernah ada dizaman orde lama, dan keduanya tidak melepaskan identitas ideologinya baik itu ia sebagai partai Islam maupun partai Kristen. Artinya, politik aliran akan terus berkembang seiring dengan kekuatan agama dalam sebuah negara.
Kata, Emile Durkheim yang menulis buku tentang sejarah “Agama-agama di dunia”menyebutkan bahwa semodern apapun suatu individu dan masyarakat agama masih tetap dibutuhkan sebagai perekat sosial. (*)