Mengenang Raden Ajeng Kartini Melalui Surat-suratnya yang Bersejarah

  • Bagikan
Ilustrasi: Raden Ajeng Kartini

RAKYATSULSEL – Setiap 21 April, kita mengenang Raden Ajeng Kartini, pahlawan emansipasi perempuan Indonesia, melalui surat-suratnya yang bersejarah.

Surat-surat ini tidak hanya merupakan dokumen penting yang mencatat perjuangannya dalam membebaskan perempuan Indonesia dari belenggu penjajahan menuju era pencerahan, tetapi juga sebagai sumber inspirasi yang tak lekang oleh waktu.

Dilansir dari Antara News, Minggu (21/4), berikut adalah perjalanan dan warisan Kartini melalui surat-suratnya yang menjadi penerang jalan emansipasi perempuan Indonesia.

Kartini: Sang Putri Jawa yang Menulis untuk Kebebasan

Kartini, putri dari bangsawan Raden Mas Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah, lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879.

Mulai tahun 1899, Kartini mengekspresikan hasratnya akan kebebasan dan kesetaraan melalui tulisan.

Dalam buku Kartini: the Complete Writings 1898-1904, yang disunting oleh Joost Coté dari Monash University, tercatat surat pertama Kartini kepada Estelle Zeehandelaar, seorang aktivis feminis Belanda, yang mengungkapkan kerinduannya akan kebebasan dan kebahagiaan yang tidak terkekang oleh tugas-tugas domestik.

Tradisi yang Ditentang Kartini

Kartini juga menulis tentang bagaimana tradisi Jawa, khususnya bagi perempuan bangsawan, menuntut kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ia anggap menindas.

Aturan tersebut seperti berjalan jongkok di depan orang tua sebagai tanda hormat, dan pembatasan komunikasi dengan saudara-saudaranya.

Pendidikan dan Perlawanan dalam Tulisan Kartini

Dari tahun 1889 hingga 1904, Kartini aktif menulis dan menerima surat balasan dari teman-temannya yang telah merasakan kebebasan sebagai perempuan di dunia modern.

Hal ini memotivasinya untuk memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia.

Menolak Poligami dan Pernikahan Paksa

Dalam surat-suratnya, Kartini juga menentang praktik poligami dan pernikahan paksa, seperti yang ia alami sendiri saat dipaksa menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat.

Ia berpendapat bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri, termasuk dalam memilih pasangan.

Kumpulan Surat Kartini Akhirnya Dibukukan dan Diberi Judul 'Habis Gelap Terbitlah Terang'

Kartini juga berkomunikasi dengan Jacques Henrij Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon.

J.H. Abendanon, yang menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900 hingga 1905, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan Kartini, termasuk menawarkan beasiswa untuknya bersekolah di Belanda, yang sayangnya tidak dapat diterima karena Kartini harus menikah.

J.H Abendanon-lah yang kemudian mengumpulkan surat-surat Kartini yang sarat akan nilai-nilai emansipasi, perjuangan, dan perlawanan terhadap penjajahan dalam sebuah buku yang judulnya diterjemahkan dalam Bahasa Melayu, ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.

Buku tersebut diterbitkan tujuh tahun setelah Kartini meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904, usai melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojohadhiningrat.

Hari Kartini: Pengakuan atas Perjuangan

Hari Kartini ditetapkan sebagai hari penting dalam sejarah Indonesia pada masa Presiden Soekarno, yang kala itu mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Keputusan tersebut sekaligus menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Dengan menggali kembali warisan Kartini, kita diingatkan akan pentingnya melanjutkan perjuangannya dalam memajukan hak-hak perempuan di Indonesia. (jp/raksul)

  • Bagikan