Oleh: Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Topik tulisan ini diilhami dari buku obituari demokrasi yang mempertanyakan masa depan demokrasi, seolah menyibak tirai jendela dan melihat tembok berkabut. Demokrasi yang dipahami sebagai sistem politik yang dirancang menjamin kepemimpinan oleh mayoritas, mengalami pingsan berkali-kali di bawah kenyataan ngeri; pemimpin otoriter dapat melawan institusi yang membawa mereka ke kursi kekuasaan.
Cara demokrasi mati melalui pengerosian norma-norma yang melemahkan institusi demokrasi secara halus dan perlahan. Kesimpulan dari “teori modernitas” pun dipertanyakan oleh seorang professor politik Cambridge David Runciman; apakah demokrasi adalah titik akhir perkembangan politik?” Jangan-jangan bukan demokrasi yang sekarat dan mati, tetapi kita hanya berada pada situasi penyakit kita yang benar, pada pasien yang salah.
Menelaah pernyataan tersebut di atas, maka dapat ditelusuri sejak para filsuf meletakkan demokarsi sebagai ajaran kemanusiaan dalam mengatur tata kelola masyarakat dan budaya di kala itu---walau pada fase-fase tertentu sebagian dari mereka juga menolaknya. Socrates misalnya mendorong pikiran tentang demokrasi walau kemudian ia menistakan. Ini bisa dibilang sebagai ahistory.
Tetap di sisi yang lain kata demokrasi pertama kali muncul dalam mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara Kota Athena, dipimpin oleh Cleisthenes. Dan, warga Athena mendirikan negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Sehingga Cleisthenes disebut sebagai bapak demokrasi Athena.
Dan, pada fase perkembangan pada politik modern Abraham Lincoln (Presiden Amerika ke 16) dengan pemikiran dan perjuangannya menghentikan perbudakan adalah momentum bagi Lincoln dikenal sebagai bapak demokrasi di dunia. Seiring dengan itu maka perkembangan demokrasi pun kian meluas di berbagai belahan dunia---dengan asumsi bahwa demokrasi menjadi pilihan atas otoritarianisme.
Karena itu, perkembangan demokrasi sebagai alternatif dari teori politik klasik---dan dengan munculnya fenomena otoritarianisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, terkesan Francis Fukuyama dilahirkan untuk merespons kehadiran kapitalisme sebagai pemenang setelah ia menulis buku “The End Of History” yang dipersepsikan matinya sejarah, dan kelahiran kapitalisme yang dianggap sebagai pemenangnya.
Otoritarianisme yang menghembuskan nafas terakhirnya---pada fase masyarakat terbuka turut menyulut lahirnya kapitalisme sebagai spirit (baca ; The Protestan Etic, Max Weber), yang kemudian menegasikan pada industri dan tehnologi manufaktur sebagai variabel untuk melihat market dalam ideologi kapitalisme.
Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of nations (1776) yang diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan “Laissez Faire” dalam ekonomi. Dari perspektif ekonomi Adam Smith menitikberatkan gagasan pada nilai tenaga kerja (The value of labour) yakni bahwa produktivitas tenaga kerja merupakan faktor kunci untuk menciptakan kesejahteraan. Dan salah satu konsep yang terkenal dalam pandangan ekonominya adalah “The Invisible Hand”.
Demokrasi pada prinsipnya tak semata hanya membicarakan soal-soal politik---tetapi demokrasi lebih jauh juga membincangkan perihal kehidupan domestik, isu gender, lingkungan, HAM, korupsi, illegal loging, dan berbagai isu sosial lainnya.
Kapitalisme misalnya yang menghadirkan korporasi dan uang sebagai market atau basis utamanya---faktanya menimbulkan disparitas sosio-ekonomi dengan lahirnya subkultur di masyarakat yakni miskin dan kaya, pengusaha dan pekerja, majikan dan pembantu, yang pada akhirnya menegasikan dikhotomi yang tajam dengan diksi yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Ini perspektif dalam sosio-ekonomi.
Kapitalisme, sebagai ideologi misalnya ; dengan melihat fakta ketimpangan secara ekonomi di masyarakat, yang kemudian menjelma dalam praktek politik---maka nyaris melahirkan politik bermata uang yang dikenal dengan “politik transaksional”, dan ini adalah awal pembunuhan demokrasi secara masif sekaligus pengrusakan hati nurani rakyat dengan pilihan politiknya. Fenomena ini semakin kesini semakin nampak, dan terbukti dengan sistem pemilu yang setiap lima tahun sekali ada perubahan sebagai bentuk sokongan elitis yang menginginkan status quo di kekuasaan.
Demokrasi sesungguhnya tidak pernah mati atau salah, namun sebagian politisi memanfaatkan demokrasi sebagai jalan untuk berkuasa—sekaligus mengkebiri demokrasi dengan dalih kepentingan rakyat.
Di sekian banyak percakapan termasuk sorotan media asing misalnya yang melihat Indonesia sebagai negara dalam konteks politik mengalami kemunduran dari 64 negara Indonesia berada pada urutan 63 sebagai negara yang indeks demokrasinya paling rendah. Ini membuktikan bahwa ada beberapa bagian penopang demokarsi yang tidak tersentuh dengan baik seperti penguatan hukum, pemberdayaan politik kewargaan, keadaban (civility), pemberantasan korupsi, penguatan kelembagaan negara dan penguatan civil society.
Parameter ini sesungguhnya adalah untuk melihat sejauhmana demokrasi itu tumbuh dan berkembang. Pemilu adalah proses melahirkan keterwakilan politik di parlemen vis pemimpin yang dipilih secara langsung. Sehingga kualitas demokrasi juga menentukan kualitas pemimpin yang dihasilkannya.
Pemilu 2019 yang lalu yang sebagian orang menganggapnya sebagai pemilu yang paling terburuk sepanjang sejarah politik bangsa ini. Di tandai dengan aprobitas (ketidak-jujuran) dalam proses penyelenggaraan misalnya hingga harus menelan korban kurang lebih 800 orang petugas pemungutan suara yang meninggal karena kelelahan, ntah itu benar atau tidak tetapi itu fakta dalam proses politik di tahun 2019.
Ruang publik terbelah menjadi dua diksi kotor yakni ; cebong dengan kampret. Media yang tertutup dan hanya bisa mengakses golongan atau kelompok tertentu, sementara di pihak yang lain nyaris tak ter-beritakan. Menurut Samuel P Huntington ini bisa disebut dengan dirupsi demokrasi.
Padahal media salah satu penyanggah demokrasi setelah parlemen, NGO dan kaum civil society. Tetapi nampak media mengalami kebekuan dalam poros kekuasaan. Ini bertanda bahwa pemilu bukan melahirkan keterbukaan namun memunculkan “katup” dalam sebagian yang lain. Ini miris ketika kita mencoba menghadirkan demokrasi yang substantif, bukan karena elektoral semata. Dan mungkin fakta tersebut satu cara dari sekian banyak operandi untuk membunuh demokrasi.
Membunuh demokrasi ; tetapi tetap demokrasi, ya, biar dianggap demokratis. Kata Prof. Azyumardi Azra---demokrasi seolah-olah. (*)