Berkaca pada Cermin Tuhan

  • Bagikan

TAHUN 2021 dalam penanggalan miladiyah, berlalu. Kita kini mulai menapaki perjalanan waktu tahun 2022. Beragam aktivitas dilakukan masyarakat sebagai apresiasi atas bergantian tahun.

Ada yang berbeda. Bunyi terompet dan gelegar petasan pada detik-detik pergantian tahun, tidak segegap-gempita tahun-tahun sebelumnya.

Lembaga penyiaran tv yang biasanya “berlomba” mengemas acara “heboh”, sambil berusaha mendatangkan tokoh publik sebagai “pemanis” untuk menarik minat penonton betah di depan tv, juga lebih “adem”.

Bagi masyarakat muslim, setiap waktu, tanpa harus menunggu pergantian tahun, adalah saat untuk muhasabah; introspeksi diri, menakar baik-buruk laku dan lakon dalam menjalani kehidupan.

Dalam kaitan ini, menarik bertafakur bersama KH Ahmad Mustofa Bisri melalui puisinya: Selamat Tahun Baru, Kawan. Rekaman suara Mustofa Bisri saat membacakan puisinya itu dapat diunduh melalui YouTube, sejak beberapa tahun lalu. Entah setahu penulisnya, menjelang tahu baru ini, rekaman itu diposting ulang berkali-kali oleh berbagai pihak.

Setelah mengajak merunduk, tafakur bermuhasabah menggeledah diri, bercermin firman Tuhan, Mustofa Bisri bertanya: Siapakah kita ini sebenarnya//Musliminkah//Mukminin//Muttaqin//Khalifah Allah//Umat Muhammadkah kita?//Khaira ummatinkah kita?//Atau kita sama saja dengan makhluk lain//Atau bahkan lebih rendah lagi//Hanya budak-budak perut dan kelamin.

Rangkaian kata-kata yang puitis itu diungkapkan dengan intonasi yang tepat. Merenungkannya, menggelitik kesadaran spiritual kita:

Iman kita kepada Allah dan yang ghaib//Rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan//Lebih pipih dari kain rok perempuan//Betapapun tersiksa// kita khusuk di depan massa//Dan tiba-tiba buas dan binal//Justru di saat sendiri Bersama-Nya.

Kita, masyarakat muslim, saban hari mengumandangkan syahadatain berulang-ulang, minimal saat menunaikan ibadah salat. Namun, daya cengkramnya dalam peneguhan iman dan amaliah sosial belum bermakna. Mengapa?

Syahadat kita rasanya seperti perut bedug//Atau pernyataan setia pegawai rendahan saja//Kosong tak berdaya//Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu//Lebih cepat dari pada menghirup kopi panas//Dan lebih ramai dari pada lamunan seribu anak muda//(Doa kita sesudahnya justru lebih serius//Kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia di sorga).

Sungguh, sentilan yang menohok bagi yang masih menyisakan spiritualitas. Bagi Mustofa Bisri, manusia sebagai khalifah semakin pintar dan kian matang dalam menyiasati kehidupan.

Paling tidak kita semakin pintar berdalih//Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahun//Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran//Melacur dan menipu demi keselamatan//Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan//Memukul dan mencaci demi pendidikan// Berbuat semaunya demi kemerdekaan//Tidak berbuat apa-apa demi ketenteraman//Membiarkan kemungkaran demi kedamaian//Pendek kata demi semua yang baik//Halallah semua sampai pun yang paling tidak baik.

Secara spesifik, Mustofa Bisri “menggoda” para cendekia, seniman, mubalig, dan kiai: Lalu bagaimana para cendekiawan dan seniman?//Para mubalig dan kiai penyambung lidah nabi?//Jangan ganggu mereka!//Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya//Para seniman sedang merenungkan apa saja//Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana//Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdoa//Para pemimpin sedang mengatur semuanya//Biarkan mereka di atas sana//Menikmati dan meratapi//Nasib dan persoalan mereka sendiri.

Bait-bait dakwah puitis Mustofa Bisri dalam buku Antologi Puisi Tadarus yang terbitan Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2003 ini, salah satu dari inti pemahaman dan pengalaman dalam pengamalan spiritual, sebagian besar masyarakat muslim. Karenanya, patut menjadi renungan dalam tafakur: merunduk, menggeledah diri melalui cermin firman Tuhan yang tak pernah retak.

Semoga, kita sadar posisi, lalu segera berpacu menempah perilaku agar lakon hidup kita tidak sekadar upaya meningkatkan kadar kesalehan individual, tetapi juga meneguhkan dimensi sosialnya.

Wallahu a’lam Bish-Shawab

Makassar, 03 Januari 2022
Waspada Santing
Dosen Universitas Bosowa Makassar

 

 

  • Bagikan