“Juga ada hubungan simbiosis dalam hal pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa yang tentunya diberikan pada rekanan-rekanan yang berkonstribusi terhadap pemenangan sat pilkada,” kata dia.
Belum lagi, faktor lain seperti belum maksimalnya upaya pencegahan yang dilakukan KPK itu sendiri. Supervisi pencegahan di Indonesia dinilai belum begitu maksimal terhadap pencegahan korupsi kepala daerah.
Termasuk dari sejumlah putusan kasus korupsi di pengadilan yang kadang memberikan hukuman jauh dibawah tuntutan yang seharunya diberikan pada pelaku kejahatan korupsi.
“Rata-rata putusan tindak pidana korupsi untuk kepala daerah itu tidak maksimal putusannya. Contoh kasus gubernur nonaktif Nurdin Abdullah yang putusannnya sangat rendah. Ini tidak menimbulkan tidak efek jera pada pejabat atau kepala daerah (calon koruptor),” sebutnya.
Selama ini penindakan kasus korupsi yang hanya dilakukan oleh KPK juga ditanggapi Kadir. Kata dia, aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan dan kepolisian di daerah nampak tak begitu punya taring dalam menindak kepala daerah yang di duga terlibat kasus korupsi.
Kedekatan antara kepala daerah dengan pimpinan kedua lembaga hukum tersebut dinilai juga jadi faktor minimnya penindakan kepala daerah yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisan.
“Kami juga sering mengkritisi terkait pemberian pemberian hibah pada dua lembaga ini oleh pemerintah daerah karena itu akan jadi faktor juga (tidak ditindak). Bahkan berpengaruh juga dalam penanganan perkara,” terangnya.
Untuk itulah, kata kadir, selama ini ACC Sulawesi selalu mengkritisi pemberian anggaran pada lembaga kejaksaan dan kepolisan.
“Ada konflik kepentingan yang harus dihindari. Anggaran APH ini kan vertikal. Tapi, faktanya mereka juga terima anggaran dari daerah. Ini semua tentu punya keterkaitan dengan minimnya penanganan perkara di level kepala daerah, meskipun ada faktor lain tapi bagi kami itu salah satu faktor yang mempengaruhi,” ujar Kadir. (Isak)