BAZNAS: Pengentasan Minus Pementasan

  • Bagikan
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS. At-Taubah/9: 103)

PRINSIP PEMANFAATAN harta benda Islam tak menghendaki harta hanya kekayaan bergulir di antara orang-orang kaya, tanpa memedulikan kaum duafa. Prinsip ini diaplikasikan melalui tuntunan zakat, infak, dan ssedekah sebagai solusi pengentasan kemiskinan.

Perintah zakat selain untuk mensucikan harta dari hak kaum duafa, sekaligus mengikis penyakit tamak, rakus, dan serakah, agar hartawan tidak berjiwa Karun, pengusaha tidak bermental Sa’labah, dan penguasa tidak berwatak Fir’aun: tak melindungi rakyat tapi pemeras, penindas, bahkan perampas hak-hak rakyat. Tekun berzakat, berwakaf, dan berinfak atau bersedekah, jiwa akan tenang dan hati senang –dalam rida Allah swt. (QS. At-Taubah/9: 103).

Rasulullah saw menegaskan, orang kaya yang tidak peduli kaum duafa, konglomerat yang tak acuh terhadap kaum melarat, pejabat yang apriori terhadap nasib rakyat, bukan hanya mencerminkan orang jahat, tetapi mencerminkan orang yang tidak beriman. Semangat berzakat, berinfak dan bersedekah, harus diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan sadar berzakat, berinfak, dan bersedekah harus digalakkan melalui lembaga-lembaga amil yang profesional, agar pendistribusian dan pemberdayaan lebih efektif dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.

***
Selama ini kesadaran berzakat, berinfak, dan sedekah memang belum maksimal. Masih banyak orang kaya mendistribusikan dan mendayagunakan zakat, infak, dan sedekahnya secara langsung, meski terkadang terkesan mencerminkan “pementasan” duafa. Mereka mengantre dalam barisan panjang untuk mendapatkan beberapa kilogram sembako –atau duit yang nilainya setara dengan itu. Tidak jarang, dalam antrean panjang, mereka saling dorong, saling impit, akhirnya tidak sedikit yang menjadi korban sebelum mendapatkan hak-hak yang mereka impikan.

Sejumlah peristiwa menjadi cerminan. Tahun 2018, pembagian sembako di halaman Monumen Nasional (Monas), Jakarta menimbulkan korban. Sebelumnya, tahun 2013, antrean daging di Masjid Istiqlal menimbulkan korban sebelum berhasil menukar kupon daging dalam genggamannya.

Tahun 2008, peristiwa lebih memprihatinkan di Pasuruan, Jatim. Ribuan warga antre menunggu zakat seorang pengusaha. Mereka berdesak-desakan, berebut untuk mendapatkan zakat 2,5 kilogram beras yang dikonversi dengan Rp 30.000. Dalam antrian itu, tercatat 21 orang wafat. Puluhan lainnya tidak sadarkan diri (https://www.republika.co.id/berita/pskezg282/. Diakses, Ahad, 16 Januari 2021, 18: 10).

Mungkin lebih banyak peristiwa serupa yang tak terekam media. Kendati tidak semuanya berupa pembagian zakat, namun polanya relatif sama: kaum duafa “dipentaskan” dalam antrean. Sistem antre berpotensi menimbulkan korban karena masyarakat kita belum terbiasa antre dengan tertib. Selain itu, secara sosiologi, dalam kerumunan, mungkin ada orang yang semula berniat tulus antri, terbawa perilaku kerumunan: ikut dalam pusaran aksi dorong-mendorong yang akhirnya menimbulkan korban.

***
Menyalurkan zakat, infak, dan sedekah melalui lembaga-lembaga amil dapat menghindarkan muzaki dari “pementasan” status sosial yang berlebihan, sekaligus menjaga harga diri para mustahik: menerima haknya tanpa harus mengantre. Tugas lembaga amil membentengi, sekaligus menjembatani keduanya. Islam sudah mengatur sedemikian rupa, bahwa amil adalah pihak yang sangat penting untuk mengedukasi kedua belah pihak, baik muzaki maupun mustahik.

Hal lain yang penting diperhatikan dalam penyaluran zakat, infak, dan sedekah, selain harus tepat sasaran, juga harus tepat guna. Karakteristik kebutuhan masyarakat miskin mungkin berbeda di setiap wilayah, sehingga sebelum pendistribusian dan pendayagunaan, memerlukan asesmen yang teliti agar dapat dipetakan kelayakan mustahik secara tepat sesuai dengan kebutuhan obyektifnya. Peran lembaga amil dalam proses ini, menjadi sangat penting, sehingga zakat, infak, dan sedekah lebih tepat sasaran dan tepat guna.

***
Pengelolaan zakat di Indonesia melalui lembaga amil, awalnya hanya diatur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 07/POIN/10/1968, 31 Oktober 1968 tentang Pengelolaan Zakat Nasional. Pengelolaan zakat saat itu hanya dilakukan di BAZIS DKI (1968), BAZIS Kaltim (1972), BAZIS Jawa Barat (1974). Beberapa BUMN juga mendirikan lembaga zakat seperti BAMUIS BNI (1968).

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat mengawali pengelolaan zakat secara Nasional. Untuk implementasi UU No. 38 Tahun 1999, dibentuklah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2001, 17 Januari 2001, yang kemudian diperingati setiap tahun sebagai Milad BAZNAS.

Tugas dan fungsi BAZNAS, yaitu: melakukan penghimpunan dan pendayagunaan zakat. UU ini menegaskan hanya dua jenis organisasi pengelola zakat: Badan Amil Zakat (BAZ) yang ada di setiap provinsi dan kabupaten dan kota, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat, tetapi harus dikukuhkan oleh pemerintah.

Tanggal 27 Oktober 2011, DPR menyetujui UU No. 23 Tahun 2011 (diundangkan 25 November 2011) tentang Pengelolaan Zakat, menggantikan UU No. 38 Tahun 1999. UU ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Seluruh kelembagaan pengelolaan zakat, baik yang dilakukan BAZNAS Daerah maupun LAZ, harus terintegrasi dengan BAZNAS Republik Indonesia, sebagai koordinator.

Selamat Milad BAZNAS RI ke-21. Selamat berikhtiar dalam pengumpulan dan pendayagunaan ZIS yang bermartabat untuk pengentasan kemiskinan sambil berusaha meminimalisir pementasan kaum duafa.

Wallahu ‘alam Bish-Shawab

Waspada Santing
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa, Makassar

  • Bagikan