Waspada Politik Identitas

  • Bagikan
Ilistrasi

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pelanggaran politik identitas di Pemilu sangat rentan terjadi. Situasi itu sangat terasa pada Pemilu 2019 lalu.

Penggunaan sentimen suku, agama, dan kelompok tertentu dalam politik identitas berpotensi memicu konflik sosial. Pada Pemilu 2024 mendatang, hal itu perlu diwaspadai agar tidak terulang.

Koordinator Divisi Humas Hubal Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad menegaskan deretan pelanggaran yang pernah terjadi harus diantisipasi supaya tidak terulang.

Dia berpandangan politik identitas di Indonesia sering didasarkan pada kepercayaan terhadap orang atau kelompok berlandaskan kesamaan suku atau agama.

"Apa yang terjadi pada tahun 2019 itu bisa saja terjadi kembali terjadi. Memang politik identitas tidak bisa kita hindari. Tapi kami mendorong jangan dijadikan alasan kita menolak orang karena perbedaan identitas," kata Saiful Jihad.

Menurutnya, bangsa ini adalah milik bersama, semua orang dibebaskan untuk berkontribusi dalam demokrasi ini.

"Jangan menolak calon karena suku, agama dan seterusnya. Ini kita akan sosialisasikan terus ke masyarakat karena ini sangat bahaya karena bisa memecah bangsa, apalagi terkait perbedaan suku dan agama," ujarnya.

Komisioner Bawaslu Kota Makassar, Sri Wahyuningsih mengatakan, mengakui pada Pemilu 2019 lalu banyak terjadi politik identitas. Olehnya ia berharap politik identitas tidak terjadi di Pemilu 2024.

"Tapi kadang-kadang media sosial dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan salah satunya penyebaran identitas lawan," katanya.

Ia juga berharap berkurangnya waktu masa kampanye bisa dimanfaatkan kandidat untuk lebih kreatif dalam menyebarkan program.

"Singkatnya masa kampanye ini, mereka (kandidat) bisa lebih fokus untuk menyebarkan programnya dan menyampaikan informasi bermanfaat," lanjutnya.

Menurut Sri Wahyuningsih, pelanggaran politik identitas lebih banyak dilakukan oleh tim dan relawan mereka.

"Lebih banyak melalui relawan dan tim, kan media sosial itu enak sekali. Kita harapkan masa kampanye yang singkat ini bisa menghilangkan politik identitas," jelasnya.

Pengamat politik dan pemerintah Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan, dalam demokrasi yang belum bersifat substantif, politik identitas selalu hadir.

"Sentimen suku, agama, ras dan kelompok selalu dikapitalisasi untuk mendapatkan dukungan elektoral. Dan itu terjadi bukan hanya kalangan mayoritas, tapi juga di kelompok minoritas. Ini risiko dari desain sistem politik demokrasi yang melahirkan fragmentasi atau pembelahan sosial," kata Andi Luhur.

Dirinya menyebutkan isu-isu identitas primordial masih preferensi politik dominan bagi pemilih tradisional.

"Sepanjang demokrasi kita masih bersifat prosedural, maka modal politik identitas terutama suku, agama dan kelompok eksklusif; selalu bisa dikapitalisasi menjadi dukungan politik," ujarnya.

Dalam masyarakat politik yang terbelah, politisi melawan politik identitas dengan menggunakan identitas politik primordial yang berbeda.

"Dengan pembelahan sosial yang terus dipelihara, maka penguatan politik identitas masih akan terjadi di Pemilu 2024," tuturnya.

"Sebenarnya kita bisa mengantisipasi melalui perubahan regulasi Pilpres, seperti dengan penghapusan presidential threshold (PT) 20%, tetapi tidak dilakukan. Penghapusan PT 20% ajak mengurangi polarisasi politik yang tajam. Dari perspektif pilihan rasional, pihak-pihak yang menolak itulah memperoleh keuntungan, sekaligus secara tidak langsung melanggengkan politik identitas," tutupnya. (HL)

  • Bagikan