FGD Seri VII: Mendengar Suara dari Borneo, IKN Pasca Jokowi Membangun Imajinasi Baru Indonesia

  • Bagikan

KALIMANTAN TIMUR, RAKYATSULSEL - Seri VII Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Kaukus Timur Indonesia pada Sabtu, (12/8/2023) menjadi sesi menguak sejumlah fakta menarik seputar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Dengan mengusung tema “IKN Pasca Jokowi”, Kaukus Timur menghadirkan dua narasumber utama yaitu akademikus dari Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Dr Syarifah Ema Rahmaniah, dan mantan juru bicara Presiden Jokowi yang kini sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Kazakhstan dan Tajikistan, Dr Mochammad Fadjroel Rachman.

Syarifah dihadirkan dalam kapasitas sebagai periset Asosiasi Program studi Sosiologi Indonesia (APSSI) yang pada 1-14 Mei 2022 melakukan riset khusus terkait IKN Nusantara. Di lain pihak, Fadjroel meski kini bertugas jauh di Astana, Kazakhstan, adalah salah satu sosok yang turut memberikan pertimbangan dan masukan pada Presiden Jokowi terkait penempatan IKN di Kalimantan Timur.

Syarifah yang alumni program doctoral Universitas Kebangsaan Malaysia dan juga tercatat sebagai Direktur Sekolah Komunitas Perbatasan, mengawali pemaparannya dengan mengingatkan seluruh elemen masyarakat untuk tidak mengabaikan momentum Pemilu 2024. Menurutnya, Pemilu 14 Februari tahun depan tidak sekadar memilih siapa calon presiden dan wakilnya, serta memilih anggota parlemen. Akan tetapi, sebutnya, juga menyangkut akan seperti apa kebijakan dan regulasi yang akan dihasilkan pasca Pemilu 2024.

Artinya, sebut akademisi yang pernah nyantri di Pesantren Gontor, Mantingan, Jawa Timur itu, juga menyangkut keberlanjutan IKN Nusantara. “Pemilu 2024 jangan hanya dimaknai sebagai sarana memilih siapa presiden dan anggota DPR RI. Tapi lebih jauh lagi, regulasi apa yang akan lahir dari mereka yang menempati parlemen dan pemerintahan kelak,” ujarnya mengingatkan. Dan, IKN adalah salah satu produk hukum dari parlemen dan pemerintah.

Lantas, seperti apa hasil riset terkait IKN Nusantara? Syarifah membagi dua isu sentral. Yaitu, pertama terkait respons negatif dan kedua, tanggapan positif responden. Untuk isu penolakan, umumnya didasari pada pertimbangan besarnya anggaran (82 persen) untuk merealisasikan IKN Nusantara itu. Selebihnya, pertimbangan kerusakan lingkungan (69 persen), tergusurnya masyarakat lokal (62,4 persen), dan reaksi masyarakat adat (30 persen).

“Kalimantan itu sangat rentan dengan kebakaran hutan, kerusakan lingkungan akibat eksplorasi tambang, dan terkait perlindungan masyarakat lokal. Nah, kehadiran IKN dikhawatirkan akan semakin menambah parah kondisi sosial ekonomi itu. Begitu alasan yang mencuat dari kubu kontra dengan IKN Nusantara.

Sebaliknya, mayoritas responden yang setuju dengan dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, optimis dan yakin hal itu akan berdampak pada pemerataan ekonomi nasional.

“Untuk responden yang percaya IKN Nusantara akan membawa perbaikan ekonomi nasional itu ada 61,5 persen,” ungkap Syarifah yang biasa juga disapa Ema.

Lebih dari itu, lanjutnya, IKN Nusantara juga diyakini akan berdampak signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan. “Di samping itu, bagi responden yang menerima IKN, berkeyakinan bahwa kebijakan ini adalah wujud dari pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ucap Syarifah menyitir hasil riset APSSI.

Memadukan dua reaksi publik yang terangkum dan diperoleh APSSI dalam risetnya tersebut, Syarifah dalam FGD sore tadi itu, menyatakan bahwa secara sosial, IKN Nusantara sejatinya belum menjamin perluasan lapangan kerja. Khususnya bagi masyarakat lokal. Karena secara faktual, sebut dia, iklim kerja di area pengembangan IKN Nusantara, masih belum ramah perempuan.

“Makanya, jika pun IKN Nusantara akan lanjut pasca Jokowi (pasca Pemilu 2024, red), harus bisa dijamin bahwa masyarakat adat, masyarakat lokal jangan sampai terpinggirkan. Selain itu, juga wajib memperhatikan keadilan gender. Kami menyebutnya sebagai human security,” tegas Syarifah.

Paling tidak, Syarifah melanjutkan, khusus untuk pemindahan IKN, tidak dilakukan terburu-buru. “Berdasarkan semua pertimbangan dan temuan tersebut, sebagian besar responden yaitu 48,2 persen, menyatakan penundaan pemindahan IKN. Di samping, tentu saja, perlu langkah strategis komunikasi kebijakan publik dan persiapan pengelolaan pemindahan IKN,” tandasnya.

Fadjroel yang tampil dengan mengenakan kopiah hitam khas Indonesia alias peci Soekarno, mengamini rekomendasi hasil riset Syarifah dkk di APSSI tersebut.

“Terima kasih pada APSSI atas riset memadukan antara yang kualitatif dan kuantitatif. Hasil riset APSSI ini bagus sekali, apalagi kalau sudah dibukukan. Itu akan menjadi masukan yang luar biasa bagi pengembangan IKN,” respons Fadjroel.

Apalagi, sebut alumni Unhas itu, IKN sejatinya disiapkan sebagai imajinasi baru terkait nasionalisme ke-Indonesia-an fase kedua setelah proklamasi kemerdekaan 1945 lalu.

“IKN itu semacam rekonstruksi sosial terhadap nasionalisme kedua kita sebagai bangsa Indonesia. Saya menyebutnya reimajinasi Indonesia.,” sebut Fadjroel.

Perubahan atau rekonstruksi sosial tersebut, lanjut Sang Dubes, bukan hanya dimaksudkan mengubah diri melainkan juga mengubah mental.

“Jadi kalau kita ingin membangun dan memindahkan IKN, tidak bisa jika hanya pada rekonstruksi sosialnya saja. Harus ikut dan juga sekalian dengan rekonstruksi mentalnya,” tegasnya.

Jika hanya fokus pada rekonstruksi sosialnya belaka, lanjut lelaki berdarah Bugis Bone itu, IKN Nusantara bisa bernasib sama dengan berbagai megaproyek gagal lainnya yang pernah ada.

“Kalau hanya membangun gedung-gedungnya saja, jalan-jalannya saja, dan berbagai sarana infrastruktur lainnya, itu yang disebut hanya konstruksi sosial, tapi tidak mengubah struktur (konstruksi) mentalnya, ya sama saja. Untuk IKN, harus dilakukan konstruksi terhadap struktur mental dan struktur sosialnya secara berbarengan. Itulah yag saya sampaikan di awal pada Pak Jokowi,” ungkap Fadjroel.

Karena itu, lanjut dia, nasib IKN Nusantara akan bertahan atau bubar pasca Pilpres 2024, sangat bergantung pada penataan struktur mental baru yang berhasil dibangun di IKN.

“Kalau IKN ingin berkelanjutan, tidak ada jalan lain kecuali membangun imajinasi baru, yaitu ibu kota negara baru. Inilah yang harus dikerjakan sebaik-baiknya,” Fadjroel menegaskan.

Pihaknya sendiri, sesuai kapasitas dan berdasar tugas kenegaraan yang diberikan Presiden Jokowi, telah berusaha dan bisa diklaim sukses melakukan salah satu rekonstruksi mental terkait IKN. Khususnya menjadikan IKN Nusantara sebagai imajinasi baru nasionalisme Indonesia, dengan sukses menggarap dan melakukan MoU sister city (kota kembar) dengan Ibu Kota Astana melalui Gubernur Astana.

“Alhamdulillah, dalam kapasitas sebagai Dubes di Kazakhstan, tanggal 3 Juli 2023 yang lalu, IKN Nusantara dengan kondisinya yang sekarang, itu kita telah buat MoU dengan Gubernur Astana sebagai sister city. Pemindahan Ibu Kota ke Astana sampai menjadi metropolitan seperti sekarang, sudah berlangsung sejak 25 tahun lalu,” ungkap Fadjroel.

Kota Astana sendiri, termasuk satu di antara setidaknya tujuh ibu kota negara baru di dunia yang terbilang sukses. Awalnya, Astana hanya berpenduduk 200-an ribu jiwa sebelum disulap dan ditetapkan sebagai ibukota baru Kazakhstan. Oleh pemerintah setempat, diproyeksikan pada 2030 mendatang, penduduk Astana akan meningkat hingga total satu juta jiwa.

“Faktanya, sekarang saja penduduk Astana itu sudah 1,3 juta jiwa,” ungkap Fadjroel, mengisyaratkan bahwa pemindahan IKN pastilah ada plus minusnya. Salah satunya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Sebelumnya, di awal FGD seri VII, Presidium Kaukus Timur Indonesia, Uslimin, menyampaikan bahwa lembaga yang digagas para jurnalis dan akademisi yang saat ini dipimpinnya merupakan gerakan intelektual dan gerakan moral yang fokus pada perjuangan menjaga keseimbangan politik dan keadilan Kawasan. Suatu hal yang dalam beberapa waktu terakhir, agak terabaikan.

Dari enam seri FGD Kaukus sebelumnya, dimulai dari Makassar, lanjut ke Papua, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB), ungkap Uslimin yang akrab disapa Usle, berbagai problem kebangsaan mencuat ke permukaan. Yaitu, diskriminasi masih sangat kental di Papua, sementara Maluku Utara masih berselimut janji manis, dan Maluku terperlakukan bagai kekasih gelap yang hanya diingat dan didatangi kala dibutuhkan.

Di pihak lain, NTT masih terjebak dalam politik primordial dan ego sektoral antar-pemda provinsi dan kabupaten/kota. Atau NTB yang bagaikan kura-kura emas; mendapat banyak kucuran dan asupan anggaran serta megaproyek nasional bahkan internasional, namun tak juga mampu keluar dari kungkung kemiskinan serta angka stunting yang jauh di atas rerata nasional.

Atas berbagai problematika kebangsaan yang berhasil diungkap Kaukus tersebut, Fadjoel lantas menitipkan amanah khusus untuk ikut menggelorakan imajinasi nasionalisme baru. Salah satunya IKN Nusantara agar perkembangannya bisa sepesat IKN Astana di Kazakhstan.

“Saya lebih menikmati Kaukus ini sebagai gerakan intelektual, lalu menjadi gerakan komunikasi. Saya tidak tahu apakah nanti akan menjadi gerakan politik. Kaukus Timur semoga bisa menjadi lokomotif untuk membangun imajinasi baru Indonesia,” ucapnya melempar asa ke Kaukus.

Jika memungkinkan, lanjutnya, Kaukus sebagai gerakan moral dan gerakan intelektual, bisa memobilisasi dan menjadi lokomotif pertemuan dengan melibatkan seluruh komunitas suku bangsa di Indonesia.

“Saya membayangkan Kaukus Timur ini bisa buat pertemuan besar mengenai imajinasi baru nasionalisme kita melalui IKN, dengan berbagai level. Kalau bisa, bahkan melibatkan 1.331 etnik group yang ada di Indonesia. Kalau bisa, (Kaukus) mengumpulkan 1.331 suku bangsa, untuk membuat satu imajinasi baru Indonesia, salah satunya melalui IKN,” harapnya.

Kazakhstan, kata dia, memiliki Dewan Rakyat Kazakhstan (selain senat), yang mewakili seluruh suku bangsa negara itu. Dewan Rakyat Kazakhstan itu menghimpun 131 suku bangsa di sini (Kazakhstan, red). Pemimpinnya adalah Presiden.

“Setiap tahunnya mereka berkumpul, merumuskan kembali mengenai Kazakhstan, mimpi-mimpi Kazakhstan ke depan,” ungkap Fadjroel menambahkan, sekaligus menjawab tantangan Komunikolog Unhas, Dr Hasrullah, agar dia tidak berhenti hanya sampai juru bicara Presiden dan Dubes di salah satu negara saja. (*)

  • Bagikan