Independensi Pemilu, Sesuatu yang Sakral

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilu adalah sebuah proses keberlanjutan politik di suatu negara di dalam menentukan posisi parlemen dan kekuasaan. di berbagai negara di dunia Pemilu bertujuan untuk melahirkan pemimpin lima tahunan untuk jabatan legislatif dan eksekutif.

Proses pemilu bukan sekedar pesta lima tahunan untuk memastikan rencana jangka panjang pembangunan nasional, tetapi Pemilu adalah sebuah proses politik yang diharapkan berlangsung secara jujur dan adil. sekalipun di berbagai negara proses pemilihan umumnya berbeda sesuai dengan mekanisme dan perundang-undangan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Sebagai negara berkembang seperti Indonesia yang dianggap sebagai negara ke empat demokrasi terbesar di dunia, Indonesia tentu mengalami berbagai fase perkembangan demokrasi dari sejak Indonesia merdeka 1945, masa demokrasi terpimpin 1950-an, sampai kepada demokrasi Pancasila sebagai tonggak falsafah dan konstitusi negara. Demokrasi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam bernegara, adalah menjadi jiwa sekaligus ruh dalam proses berdemokrasi.

Dan, Pemilu sebagai mekanisme prosedural dalam politik—sebagai medium sentral dalam penyelenggaraan pemilihan umum, tentu di harapkan dapat berproses sesuai dengan mekanisme yang ada. Pemilihan Umum dari sejak Pemilu pertama tahun 1955 hingga saat ini Indonesia mengalami banyak fase dan mekanisme yang terus berubah dengan melihat perkembangan dunia dan pertumbuhan demokrasi modern di berbagai negara.

Katakanlah Pemilu pertama sejak reformasi tahun 1999 dengan multipartai sebagai spirit terbukanya kran demokrasi yang kurang lebih 32 tahun lamanya tersumbat dengan otoritarianisme Orde baru. Sehingga Pemilu 1999 menjadi babak baru dalam melahirkan sisitem baru dalam tata kenegaraan dan pemerintahan yang lebih baik dan terbuka.

Walaupun pada akhirnya multipartai yang menjadi peserta Pemilu secara alamiah berguguran. Dan tampilnya wajah-wajah reformis seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputeri, Gus Dur, Sri Bintang pamungkas, tokoh muda seperti Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu dan lain sebagainya justru mengambil peran di lembaga-lembaga negara. Sejak Pemilu itulah kemudian bersih-bersih dari Orde Baru.

Sejalan dengan perkembangan politik yang terus bertumbuh, reformasi birokrasi, politik dan hukum terus di galakkan sebagai bagian dari gerakan reformasi. Pemilu 1999 sebagai tonggak awal menjaga Pemilu dengan jujur, adil, terbuka dan independen---dengan keterlibatan berbagai pemantau Pemilu seperti Forum Rektor, Unfreall, JPPR (Jaringan Pemantau Pemilu Rakyat), hal ini dilakukan untuk menjaga kejujuran pemilihan umum.
Oleh sebab itu, proses politik tentu haruslah di jaga marwahnya dengan kejujuran dan keadilan. Sebab pemilihan umum adalah proses menentukan pemimpin yang dilahirkannya. Independensi Pemilu menjadi penting bagi kehidupan berdemokrasi.

Menjaga Netralitas

Netralitas dalam Pemilu begitu sangat penting untuk menjaga kesahihan demokrasi. Keberpihakan begitu penting untuk mendukung calon yang di usung, tetapi bagi TNI, Polri dan ASN sesuai dengan undang-undang tentu tak diharapkan punya keberpihakan. tetapi di banyak kasus modus keberpihakan yang melanggar undang-undang tentu tidak sedikit baik secara personal maupun secara kolektif.

Keberpihakan dapat terlihat sebagai berikut : (1) Secara personal sesorang berpihak karena yang di dukung adalah sosok yang mereka tahu rekam jejaknya, atau pernah menjadi atasannya di lingkungan kerjanya. (2) Secara ideologis, keberpihakan di dasari karena agama, suku dan ras serta budaya yang sama. (3) Berdasarkan vis dan misi yang mungkin sejalan dengan seseorang atau lingkungannya. (4) Karena faktor primordialisme dan kesukuan serta kekerabatan lainnya.

TNI, Polri dan ASN adalah aparatur negara yang diatur dalam undang-undang kepegawaian dimana di dalamnya ada larangan untuk berpolitik praktis. Menggerakkan aparatur negara dalam sebuah proses politik untuk berpihak adalah pelanggaran konstitusi negara. Netralitas aparatur negara adalah sebuah keharusan.

Namun menjelang Pemilu tahun 2024 menjadi ajang negara untuk memastikan posisinya sebagai pihak yang benar-benar netral. Kenapa hal ini menjadi penting, mengingat Pemilu 2024 akan menjadi anacaman serius bagi proses politik, apakah bisa jujur, adil dan negara netral.

Hal ini sangat didasari sebab muncul tiga calon kontestan (1) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, (2) Prabowo Subianto-Gibran, (3) Ganjar Pranowo-Mahfud. Kenapa negara harus netral mengingat dalam kontekstasi ini ada anak presiden aktif menjadi cawapres tertentu. Tentu banyak kekhawatiran akan posisi Jokowi sebagai presiden apakah akan benar-benar netral?

Kecurigaan ini muncul sebab dengan lolosnya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto melalui putusan MK semakin meyakinkan bahwa istana berpihak. Dan hal lain yang bisa kita lihat adalah mobilisasi kepala desa dalam acara desa bersatu yang hanya menghadirkan pasangan Prabowo-Gibran, sehingga menciptakan kontra produktif di masyarakat.

Dalam undang-undang tentang desa, perangkat desa tidak boleh terlibat dalam politik praktis, apalagi terlibat dalam dukung mendukung calon kontekstasi Pemilihan Umum. Sehingga perangkat desa sebagai bagian dari perangkat negara juga diharapkan dapat netral dalam proses politik. Sebab ketidaknetralan aparatur negara justru akan mencederai demokarasi.

Peran KPU dan Bawaslu sangat urgensi dan vital sebagai institusi negara sekaligus penyelenggara Pemilu untuk melakukan penindakan apanila ditemukan berbagai pelanggaran dalam proses Pemilu yang berlangsung.
Independensi penyelenggara Pemilu menjadi kunci utama jujur dan adilnya sebuah hajatan demokrasi. Nilai-nilai integrity menjadi alasan utama bagaimana Pemilu itu dilaksanakan dengan jujur dan adil tanpa intervensi.

Politik menurut Hannah Arendt adalah suatu tindakan yang di persepsikan untuk kepentingan publik sebagai bagian dari pengejawantahan atas nilai-nilai yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat. Karena itu politik tindakan di Pemilu, bukan hanya penindakan atas pelanggaran saat kampanye tetapi yang lebih penting adalah menjaga ketidak-pelanggaran baik itu secara etis maupun secara fisikal.

Pelanggaran dalam Pemilu tentu sulit untuk di hindari, tetapi paling tidak meminimalisir itu bisa dilakukan dengan menggunakan perangkat negara seperti aparat kepolisian, Bawaslu dan masyarakat yang peduli terhadap kemajuan demokrasi. Sebab substansi Pemilu bukan memilih pemimpin yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk berkuasa (Frans Magnis Suseno).

Maka Pemilu yang berintegritas akan sangat menentukan kualitas Pemilu dalam melahirkan anggota parlemen serta pemimpin yang berkualitas pula. Tugas politik yang menyedihkan adalah menegakkan keadilan di dunia yang penuh dosa (Reinhold Niebuhr), maka Pemilu di harapkan dapat membawa keadilan untuk semua sebagaimana sering kita dengar dalam pidato-pidato Anies Baswedan.

Keadilan demikian penting dalam sebuah negara, dimana hukum harus menjadi panglima agar sendi-sendi bernegara semakin kokoh. Politik saat ini bukan hanya untuk besok. lusa, atau hari-hari berikutnya, tetapi politik saat ini adalah---kekuatan imajener jangka panjang untuk menjawab tantangan masa depan termasuk politik global. Sehingga Pemilu yang independen, jujur dan adil akan menjadi keniscayaan lahirnya pemimpin masa depan dengan kualitas penguasaan politik global. (*)

  • Bagikan