Oleh: Saifuddin al Mughniy
“Bahwa demokrasi lahir sehubungan dengan surutnya nilai dalam kehidupan masyarakat masa lalu, di sana ada pembunuhan dan kriminalisasi terhadap kebenaran”
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - DEMOKRASI bukan sekadar jargon dalam sebuah proses politik yang ada. Demokrasi bukan juga sekadar pilihan sebuah proses berlangsung proses politik di satu negara tertentu, tetapi paling tidak demokrasi telah mengurai berbagai problematik sosial untuk kemudian demokrasi ditawarkan sebagai agensi yang tepat bagi keberlangsungan kehidupan bernegara. Demokrasi memang seringkali di hadapkan pada kekerasan (violence).
Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan substansinya. Demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya adalah sarana non-kekerasan. Karenanya demokrasi teruslah dipahami sebagai ajaran kemanusiaan agar ia memberi arti bagi kehidupan manusia.
Kekerasan bukanlah semata konflik horizontal, tetapi kekerasan bisa juga berupa kekerasan verbal, seperti kekerasan kepada kelompok tertentu (oposisi), kriminalisasi, korupsi dan berbagai bentuk kekerasan non fisik seperti hate spech (ujaran kebencian) serta terorisme.
Dalam fenomena politik kekinian, di bawah kondisi masyarakat yang serba terbuka, kepentingan dan kekuasaan tak bisa diperoleh lewat jalan pemaksaan, tetapi melalui konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas rule of law.
Demokrasi juga sistem pembagian kekuasaan secara legal yang aktor-aktornya menghindari kekerasan dan sama-sama diuntungkan oleh ketiadaan kekerasan. Manakala perkembangan demokrasi belakangan ini diwarnai berbagai ekspresi kekerasan, baik fisik maupun verbal, maka kondisi demokrasi kita berada di ambang bahaya. Kekerasan yang dilegalkan dalam politik praktis bisa berakibat pada pelumpuhan nilai demokrasi.
Dan, yang lebih mengerikan lagi, berbagai ekspresi kekerasan di ruang publik itu makin merebak, seolah-olah di luar kapasitas negara untuk mengendalikannya. Otoritas hukum dan keamanan negara tidak saja gagal melindungi hak sipil dan politik warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri.
Ekspresi kekerasan mengemuka dalam ragam bentuk: kekerasan warga atas warga; kekerasan antarwarga unsipil (bentrokan antarsindikat); kekerasan negara atas warga; kekerasan warga atas negara; dan kekerasan antaraparat. Bahkan kekerasan antar kelompok/trah/klan dalam politik praktis kian menggiring public pada amuk massa, tentu kengerian menghantui demokrasi kita, saya kira ini adalah bagian dari serangan Post Truth yang telah merobek “kebenaran” dengan cara emosi, opini serta wacana personal.
Berbagai bentuk kekerasan itu berkelindan dengan kecenderungan meraih kekuasaan dengan mengoperasikan sarana pemaksaan dan kebencian (hate crime and hate speech). Politik rekognisi atas kesetaraan warga dalam perbedaan diabaikan yang melanggar prinsip nomokrasi (negara hukum).
Bahkan lebig ekstri arah demokrasi kita telah jauh dibuang di “tong sampah” atas nama ketidakadilan. Ketidakadilan muncul bukan tanpa alasana, sebab perebutan kekuasaan yang tidak sehat kini membuat agency kepentingan semakin “memaksa” demokrasi untuk lebih baik.
Perkembangan ini mengindikasikan pelaksanaan demokrasi Indonesia belum mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanya peralihan dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan.
Korupsi yang disinyalir adalah gaya hidup penyebab utamanya, justru sebenarnya ini adalah gerakan politik antilogika. Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills, bahkan Paul Trenor pun dalam The Violence democratic, memperlihatkan potret yang mengerikan, penduduk di bawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang mati lebih besar ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Nah, gambaran ini menginterupsi jiwa kita, bahwa demokrasi begitu penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks politik nasional, demokrasi seringkali dipahami sebagai bentuk kebebasan. Yah, tetapi kebebasan yang procedural, politik Indonesia yang memasuki drama politik lokal yang disebut Pilkada sesungguhnya telah memberi ruang ekspektasi yang cukup besar paling tidak membuka ruang edukasi politik (pendidikan politik) terhadap rakyat.
Walau sepenuhnya belum maksimal. Berbagai ekspresi atas nama demokrasi di suguhkan keruang publik, termasuk kekerasan, nah kalau ini menjadi pembiaran maka kemana demokrasi itu “berteduh”. Politisasi atas nama demokrasi telah mengurai berbagai problematik di lingkungan sosial masyarakat.
Efek ini begitu terlihat dengan jelas, dengan keterbelahan ruang public akibat fenomena dukung-mendukung, praktek kekuasaan kian menjadi binal ketika perang opini berkecemauk memaksa demokrasi sebagai alat pembenarnya.
Bukankah dari awal saya katakana bahwa musuh terbesar demokrasi adalah kekerasan. Oleh karena itu, pentingnya menjaga marwah demokrasi sangat ditentukan sikap dan wibawa otoritas kekuasaan agar rakyat juga tak terjebak pada ritme kekerasan. Sebab, proses politik yang dilahirkan oleh kekerasan maka pastinya juga melahirkan pemimpin “tuli” dan cendrung diktator.
Kekerasan demokrasi bukanlah secara fisik semata, namun kekerasan demokrasi itu terlihat pada frase, narasi yang penuh kebencian. Politik yang hanya sekedar rethorik, dan debat sebatas hanya percakapan-percakapan personal tak memperlihatkan progress pikiran atas berbagai situasi negara serta tantangannya ke depan.
Bahasa kadang juga memberi isyarat kekerasan dalam berdemokrasi ketika etika, estetika telah dilanggar karena emosional personal. Bahkan tak sedikit caleg pun harus berurusan dengan kasus hukum oleh karena melakukan kekerasan secara politis.
Kekerasan itu bukanlah fisik tetapi lebih pada mentalitas pemilih dengan cara membagikan uang dan pernak-pernik untuk meraih simpatik. Luka demokrasi itu bukanlah pada konflik belaka, tetapi luka demokrasi itu terlihat dengan telanjang bagaimana praktik korupsi antara caleg dengan pemilih dalam memainkan budaya politik transaksional.
Fenomena
Bahwa kekerasan terhadap demokrasi begitu massif tergambar dalam frame kemasyarakatan kita. Pengemasan isu semakin saling menutupi. Bisa dibilang kekerasan negara terhadap warganya kian nampak dipermukaan. Fungsi negara memberi rasa aman kepada warga negaranya kian memudar bersamaan dengan ketakutan yang ada.
Penembakan beberapa masyarakat sipil, aparat yang mabuk, dan lain sebagainya. Padahal, Covid-19 paling tidak memberikan pengajaran berarti bahwa saling melindungi begitu penting, saling membantu begitu berharga di tengah himpitan ekonomi yang semakin tidak menentu. Paling tidak Covid menjadi mush bersama bukan penguasa kepada rakyatnya.
Kita seperti berpura-pura saja menjadi bangsa, nyatanya perlindungan terhadap hak asasi manusia justru negara terkesan lepas kendali, political will hanya berkelindan di seputar pemilik kepentingan dan kuasa. Michel Foucault dalam bukunya “relasi kuasadan pengetahuan” begitu jelas hubungan yang simetrikal antara kuasa dan pengetahuan.
Kuasa adalah fokus dari politik secara terminologis, tetapi pengetahuan (knowledge) adalah berfokus pada kesadaran dan kearifan tentu ujungnya adalah kebenaran. Sayang sekali sebagian (kita) tak memahami ini dengan baik, sehingga ambigu lebih domain daripada humanity.
Akibatnya, mata antai korupsi pun sulit untuk di putus bahkan Covid menjadi “ruang besar” untuk melakukan penyelewengan kekuasaan. Sebuah kenaifan yang mulai terjadi.
Padahal kalau ita berkaca pada sejarah beberapa bangsa di dunia yang pernah hancur dengan peperangan dan bencana, mereka justru bangkit menjadi bangsa yang berperadaban maju karena mereka memegang teguh identity bernegara dan sebagai warga negara (civilization). Setidaknya kita harus berkaca dari itu, agar bangsa ini keluar dari kemelut kemanusiaan yang berkepanjangan. Dan, kita memang sedang berada dalam kekerasan kekuasaan terhadap negara. (*)