BPOM Memprediksi Peningkatan Kasus Kematian Akibat Resistensi Antimikroba

  • Bagikan
ilustrasi obat

PEKANBARU, RAKYATSULSEL –Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Obat dan NAPZA BPOM Rita Endang mengatakan, pada 2050 diprediksi 10 juta kematian orang terjadi setiap tahun akibat antimicrobial resistance (resistensi antimikroba) atau AMR.

”Resistensi antimikroba adalah kejadian ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit, berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons terhadap obat-obatan,” kata Rita Endang seperti dilansir dari Antara di Pekanbaru.

Hal itu, lanjut dia, mengakibatkan infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah, dan menyebabkan kematian. Selain itu, jika tidak dikendalikan, AMR dapat mengurangi pendapatan negara sebesar 3,4 triliun dolar AS setiap tahun.

”Itu mendorong 24 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada dekade berikutnya. Dampak AMR juga terjadi di pertanian, peternakan, pangan, lingkungan. Karena itu perlu melibatkan UPT BPOM di seluruh Indonesia dalam berbagai upaya masif dan berkesinambungan untuk menanggulanginya,” ujar Rita Endang.

Berdasarkan hasil pemeriksaan sarana pelayanan Kefarmasian (2021– 2023), pada 2023 apotek yang melakukan penyerahan antibiotika tanpa resep dokter tercatat 70,49 persen, turun dibanding pada 2021 dan 2022.

”Jenis antibiotika yang paling banyak diserahkan tanpa resep dokter adalah Amoksisilin, Cefadroksil, dan Cefixime,” tutur Rita Endang.

Rita menekankan tenaga kesehatan memiliki peran sama penting dalam upaya pengendalian AMR. Demikian pula dengan masyarakat.

  • Bagikan