Santri di Makassar Tewas Diduga Dianiaya Senior

  • Bagikan
Pondok Pesantren Tahfizhul Quran (PPTQ) Al-Imam Ashim Kampus II di Jalan Inspeksi Kanal Tamangapa Utara, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Aksi kekerasan di lingkungan pendidikan kembali terjadi di Kota Makassar. Mirisnya, aksi kekerasan itu terjadi di salah satu pondok pesantren yang mengakibatkan seorang santri meninggal dunia, Selasa (20/2/2024) dini hari.

Korban berinisial AR, 14 tahun, itu meninggal dunia karena diduga dianiaya seniornya di pesantren. Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Makassar, Komisaris Devi Sujana mengatakan, korban meninggal setelah menjalani operasi di Rumah Sakit (RS) Grestelina, Makassar.

Pondok Pesantren Tahfizhul Quran (PPTQ) Al-Imam Ashim Kampus II di Jalan Inspeksi Kanal Tamangapa Utara, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

"Korban inisial AR, dia tidak sadarkan diri dan juga menjalani perawatan insentif di RS Grestelina Makassar. Dan pada Selasa sekira pukul 01:00 wita korban dinyatakan meninggal dunia," kata Devi, kemarin.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, kasus kekerasan ini dilaporkan pihak keluarga korban di Polrestabes Makassar sejak, Kamis (15/2/2024) lalu.

Menindaklanjuti laporan tersebut, Tim Jatanras Satreskrim Polrestabes Makassar pun bergerak mengamankan terduga pelaku di Kabupaten Gowa, Selasa (20/2/2024). Kata Devi, pelaku berinisial AW umur 15 tahun.

"Jadi yang bersangkutan ditangkap sekitar pukul 02.30 wita di rumahnya berdasarkan laporan keluarga korban," ujar Devi.

Dalam laporan, AW disebut merupakan senior dari korban. Kejadian bullying secara fisik atau penganiayaan ini terjadi tanggal 15 Februari 2024 lalu di lingkungan pesantren.

"Benar bahwa pelaku ini pelajar (senior AR) di sekolah tersebut, dugaan tindakan pidana kekerasan ini terjadi di perpustakaan pondok pesantren sesuai laporan," imbuh Devi.

Devi mengungkapkan, dalam kronologis kasus ini pelaku AW mendatangi korban AR di perpustakaan lalu menganiaya korban secara berulang kali.

"Menurut keterangan pelapor selaku kakak korban, pelaku datang langsung melakukan penganiayaan secara berulang kali mengenai bagian kepala, muka dan leher dekat telinga mengakibatkan tidak sadarkan diri," beber Devi.

Adapun dari hasil interogasi, pelaku AW mengakui dan membenarkan telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap korban AR dengan cara melakukan pemukulan.

"Pengakuannya dia memukul korban pada bagian kepala dekat telinga korban yang itu mengakibatkan korban tidak sadarkan diri. Lalu korban menjalani perawatan insentif di RS Grestelina Makassar, dan meninggal dunia," ujar dia.

Menurut Devi, sejauh ini pihaknya telah memeriksa sebanyak lima orang saksi, termasuk pembina maupun pengajar di pondok pesantren itu.

"Saksi yang ada di sana lima orang sudah kita periksa, termasuk pembina, pengajar," ujar Devi.

Pegangan sementara yang dikantongi pihaknya, kata Devi, kasus penganiayaan baru terjadi satu kali di pondok pesantren tersebut.

"Menurut keterangan saksi-saksi ini terjadi baru sekarang antara pelaku dengan korbannya sendiri," beber dia.

Devi mengatakan, setelah mengamankan pelaku, pihaknya terus melakukan pendalaman terkait peristiwa itu. Menurut dia, langkah-langkah yang dilakukan pihaknya selain melakukan penahanan terhadap pelaku, juga mengamankan rekaman CCTV.

"Adapun langkah-langkah yang kami lakukan, selain mengamankan pelaku, kami juga cek CCTV yang ada di sekitar tempat kejadian tersebut," imbuhnya.

Selain itu, Devi menuturkan pihaknya juga melakukan koordinasi dengan pihak dokter mengenai data-data rekam medis selama korban dirawat di RS.

Devi mengungkap, motif penganiayaan senior terhadap junior di salah satu pesantren di Makassar karena ketersinggungan.

"Pelaku merasa tersinggung, korban saat itu mengetuk-ngetuk kaca jendela perpustakaan, di mana pelaku sedang ada di situ," kata Devi.

Devi mengungkapkan, pelaku yang sempat menanyakan maksud korban mengetuk-ngetuk kaca merasa tersinggung, kemudian melakukan penganiayaan.

"Ditanya kenapa kamu ketuk-ketuk? Korban hanya senyum lalu dipukul. Melakukan penganiayaan, seperti menyikut, kemudian dengan lutut, dan memukul di belakang telinga," beber dia.

Devi mengatakan kejadiannya pada 15 Februari lalu sekitar pukul 10.00 Wita pagi. Dimana antara pelaku dan korban sama-sama di bawah umur. Pelaku berumur 15 tahun, kelas 3 SMP, sementara korban sendiri kelas 2 SMP, umur 14 tahun.

"Jadi adik kelasnya. Beda satu tingkat," kata Devi.

Dia juga mengatakan, berdasarkan keterangan dari dokter yang didapatkan, korban mengalami luka pecah di bagian belakang kepala.

"Dari keterangan dokter ada luka pecah di bagian belakang kepala. Itu mungkin diperkirakan rusak di otak kecil yang menyebabkan gagal napas," tutur Devi.

Sementara itu, pihak Pondok Pesantren Tahfizhul Quran (PPTQ) Al-Imam Ashim Kampus II di Jalan Inspeksi Kanal Tamangapa Utara, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, memilih bungkam terkait kematian salah seorang santrinya usai dianiaya seniornya sendiri.

Menindaklanjuti kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan ini, Rakyat Sulsel mencoba mendatangi Pondok Pesantren tempat kejadian untuk konfirmasi. Namun pihak pesantren enggan memberikan komentar, bahkan beberapa awak media yang hadir diminta untuk berada di luar pagar.

"Tabe, di luar maki dulu di. Ini arahan dari dalam. Masih sementara katanya rapat pimpinan ponpes di dalam," ujar salah seorang penjaga di pondok pesantren tersebut.

Adapun pantauan di lokasi, aktivitas pondok pesantren yang berdiri di samping kanan itu nampak seperti hari-hari biasanya. Beberapa santri terlihat lalu lalang di halaman depan pondokan, beberapa di antaranya juga terlihat masuk ke dalam masjid untuk mengulang-ulang hafalan. Sebagian di antaranya juga sedang asyik bermain bola dan yang lainnya terlihat santai beristirahat.

Kepala Bidang Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, Meisy Papayungan mengatakan kekerasan di dunia pendidikan acap kali berawal dari perilaku perundungan yang tidak terlihat di permukaan lingkungan sosial baik di sekolah ataupun pesantren.

Menurut dia, hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pendidikan untuk memasifkan dan telaten melakukan pengawasan konflik di lingkungan sosial sekolah ataupun pesantren agar dunia pendidikan tidak diwarnai dengan kasus kekerasan.

“Kalau ada penganiayaan sampai meninggal itu biasanya bukan kejadian pertama, itu bisa jadi merupakan akumulasi dari rentetan pembullyan dan perundungan,” kata Meisy.

Menurut dia, proses penyelesaian konflik pada dunia pendidikan dengan cara penyelesaian ke dalam atau diselesaikan secara internal. Namun, yang menjadi tantangan adalah cara memastikan masalah tersebut dapat benar-benar selesai agar tidak terjadi dan tidak menelan korban jiwa.

“Kalau ada yang bermasalahkan harus segera dimediasi. Meskipun korban bullying atau penganiayaan itu belum terima, namun pihak penyelenggara pendidikan juga meminta untuk berdamai,” ujar Meisy.

Namun, kata dia, untuk pengawasan masif terhadap perundungan sejatinya ditangani oleh tim khusus di masing-masing penyelenggara pendidikan. Hal itu bertujuan untuk antisipasi dan penanganan masalah yang kerap terjadi pada dunia pendidikan terutama pada pondok pesantren.

Untuk kasus kekerasan pada dunia pendidikan, ujar Meisy, tentu harus juga diamati dengan baik pada lingkungan sosial pelaku dan korban. Menurut dia, semua aktivitas yang berkaitan dengan kekerasan itu harus dicermati, seperti kejadian tersebut merupakan kejadian berulang, atau baru pertama kali dilakukan oleh pelaku, pun dengan korban.

Hal tersebut juga bisa menjadi rujukan terhadap tindak lanjut penentuan langkah yang bakal ditempuh pihak penegak hukum dan pihak keluarga. “Kalau dalam pandangan hukum itu bisa dilakukan restorative justice atau diversi atau langkah lainnya,” imbuh Meisy. (isak pasa'buan-abu hamzah/C)

  • Bagikan