Saling Memaafkan, Raih Kemenangan

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tibalah saatnya umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan penuh "diuji" berpuasa Ramadan. Lebaran Idulfitri 1446 hijriah kita kumandangkan hari ini. Secara serempak seluruh umat Muslim di seantero dunia mengucapkan syukur dan memuji keagungan sang Maha Esa.

Momentum bukan sekadar perayaan seremonial tiap tahun belaka. Tapi, lebih dari ini nilai-nilai kemanusian, persaudaraan, dan hubungan sesama manusia dirajut dengan penuh kasih sayang. Saling memaafkan atas gelimang dosa yang telah diperbuat dalam setahun belakangan ini.

Hari Raya Idulfitri bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum bagi umat Islam untuk kembali kepada fitrah dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Menurut Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Selatan, Profesor Hamzah Harun, pentingnya menjaga nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam aspek sosial.

"Kita tahu bahwa Idulfitri itu dalam bahasa arab artinya kembali ke fitrah atau kesucian. Diharapkan umat Islam yang melaksanakan Idulfitri dia bisa kembali menjiwai keberadaannya sebagai manusia yang memiliki kefitrahan. Jadi dia harus mensucikan jiwanya, baik yang berhubungan dengan sesama manusia," kata Hamzah.

Menurut Hamzah, Idulfitri memiliki makna mendalam, yakni kembali kepada kesucian. Ini bukan hanya tentang meningkatkan hubungan dengan Tuhan melalui ibadah seperti puasa, tarawih, dan membaca Al-Qur'an, tetapi juga memperbaiki hubungan dengan sesama manusia.

"Keberhasilan seseorang menjalankan ibadah di bulan Ramadan itu terlihat setelah Ramadan. Jangan sampai kita hanya memperbaiki ibadah saat Ramadan, tetapi setelahnya kembali seperti semula," ujar Hamzah.

Dia menyitir pemikir Islam, Syekh Yusuf Asnawi, yang mengingatkan agar umat Islam tidak menjadi "penyembah Ramadan". Menurutnya, "penyembah Ramadan" memiliki arti yakni hanya beribadah dengan sungguh-sungguh saat bulan suci tetapi melupakan nilai-nilainya setelahnya.

"Tuhan di bulan Ramadan adalah Tuhan yang sama di luar Ramadan. Seharusnya, hubungan dengan Tuhan dan sesama tetap terjaga sepanjang tahun," terang Hamzah.

Namun, mempertahankan semangat Idulfitri bukan tanpa tantangan. Hamzah menilai, tantangan terbesar justru datang dari dalam diri sendiri, yakni hawa nafsu yang kembali berkuasa setelah Ramadan berakhir.

"Di bulan Ramadan, kita berhasil menekan hawa nafsu. Tapi setelahnya, kita seringkali kehilangan kendali dan kembali mengikuti keinginan diri. Inilah tantangan terbesar," tutur dia.

Dia menyebut, mengendalikan hawa nafsu memerlukan nilai-nilai keimanan yang kuat. "Di situlah diperlukannya nilai nilai iman untuk mengendalikan hawa nafsu. Jangan dibalik, hawa nafsu yang mengendalikan iman. Artinya bahwa hawa nafsu memang tidak salah kita gunakan karena itu salah satu ciptaan Allah Swt. yang disimpan dalam diri kita. Tetapi, harus dikendalikan," jelas Hamzah.

Hamzah mengingatkan kisah Nabi Muhammad saw. yang menyebut bahwa setelah perang Badar, umat Islam menghadapi perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu.

"Perang dengan senjata itu kecil. Perang yang lebih besar adalah melawan diri sendiri," ungkap Hamzah.

Maka dari itu, lanjut dia, untuk mengintegrasikan nilai-nilai Idulfitri dalam kehidupan sehari-hari, Hamzah menekankan pentingnya menjaga kesucian diri dalam hubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia.

"Manusia lahir dalam keadaan suci. Maka, tugas kita adalah mempertahankan kesucian itu, tidak mencemarinya dengan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam," tutur Hamzah.

Idulfitri, menurutnya, bukan hanya tentang kembali ke fitrah dalam ibadah, tetapi juga dalam interaksi sosial. Hubungan dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat harus tetap diperbaiki dan diperkuat, bukan hanya saat Ramadan, tetapi sepanjang tahun.

Ketua DPP IMMIM, KH Ishaq Shamad mengatakan dalam menyambut Idulfitri masyarakat tidak perlu menyikapinya dengan euforia berlebihan, sebab selama ini banyak kebiasaan masyarakat yang sebenarnya tidak perlu misalnya budaya berburu baju baru, menghias rumah, mengganti chat rumah dan banyak lagi.

"Boleh kita senang karena telah selesai menahan hawa nafsu selama sebulan, namun kita tidak boleh berlebihan. Di akhir Ramadan ini perlu juga kita mantapkan, lebih banyak ibadah, zikir dan selawat," kata dia.

Di hari kemenangan pula seseorang yang telah melaksanakan ibadah maksimal akan mendapatkan kemenangan dan kembali seperti bayi karena dosa diampuni.

"Benar kita kembali suci dan putih dari dosa umat manusia. Kemudian digunakan kesempatan, melakukan hal hal yang mendekatkan kepada Allah, zakat, dan infak jangan sampai dilupa. Untuk bayar zakat fitra yang harus ditunaikan baik itu anak maupun orang dewasa sesuai dengan aturan pemerintah. Ada juga zakat mal untuk di gunakan agar benar-benar bersih," ujar Ishaq.

Selanjutnya, kata dia, yang paling sulit pasca-Ramadan, seringkali orang orang hanya fokus ibadah pada bulan Ramadan, dan setelah Ramadan tidak lagi memperhatikan ibadah. Sehingga perlu dan sangat penting masyarakat mengimplementasikan berbagai hal yang didapatkan selama Ramadan.

"Ini penting sekali bagaimana umat Islam konsisten, ibadah di Ramadan lancar tetapi setelah keluar ramadan, biasanya ibadah sudah tidak lancar. Padahal banyak ibadah yang bisa dipilih," imbuh dia.

Selanjutnya, kata Ishaq, di momen Lebaran ini perlu menanamkan sikap sabar dan mengendalikan diri. Hal ini yang menjadi tantangan berat bukan hanya di Ramadan tetapi juga di berbagai kesempatan. "Ini yang terpenting, jangan sampai tidak mampu mengendalikan diri," ungkapnya.

"Orang yang banyak kesalahannya dan tidak minta maaf maka pahalanya akan dikurangi satu demi satu dan akan menjadi orang yang merugi,. Sehingga penting memaafkan dan meminta maaf," tutur dia.

Pada Lebaran kali ini juga hampir bersamaan dengan perayaan hari besar umat Hindu yakni Hari Raya Nyepi. Ini menjadi momen yang spesial, tidak hanya dalam konteks keagamaan tetapi juga dalam membangun harmoni dan toleransi antarumat beragama.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Selatan, Profesor Muammar Bakry, menjelaskan bahwa meskipun cara perayaannya berbeda, pesan yang terkandung dalam Idulfitri dan Nyepi memiliki kesamaan mendasar.

"Idulfitri dan Nyepi memang memiliki ekspresi yang kontras. Umat Islam merayakan Idulfitri dengan penuh syiar, turun ke jalan, bersilaturahmi, dan dianjurkan untuk berlebaran di tanah lapang agar syiarnya tampak luas. Sementara itu, umat Hindu dalam Nyepi justru mencari suasana hening, menjauhi hiruk-pikuk," ujar Muammar.

Namun, dia menegaskan bahwa terlepas dari perbedaan ekspresi perayaan, kedua hari raya ini sama-sama bertujuan membentuk manusia yang taat kepada Tuhan dan berdampak positif bagi sesama.

"Idulfitri adalah puncak dari ibadah puasa yang telah dijalankan selama sebulan penuh. Setelah itu, kita diwajibkan berbagi melalui zakat fitrah. Ini menegaskan bahwa ibadah dalam Islam tidak hanya tentang hubungan dengan Tuhan tetapi juga harus berdampak pada kehidupan sosial," jelas dia.

Begitu juga dengan Nyepi yang memiliki pesan sosial dan kemanusiaan. Umat Hindu menjalankan catur brata penyepian yang mengajarkan pengendalian diri dan refleksi spiritual, yang pada akhirnya juga berdampak pada hubungan sosial mereka dengan sesama manusia.

Muammar menekankan bahwa Idulfitri merupakan waktu yang tepat bagi umat Islam untuk memperbaiki hubungan, baik dengan keluarga, tetangga, maupun masyarakat luas.

"Dalam budaya Islam di Indonesia, ada tradisi halal bihalal yang menjadi ajang untuk saling memaafkan dan menerima satu sama lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki hubungan dan menumbuhkan kembali rasa persaudaraan yang mungkin sempat renggang," ungkap dia.

Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya memperkuat ukhuwah dalam berbagai dimensi, baik ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim, ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan dalam kebangsaan, maupun ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama manusia.

"Kita semua adalah saudara, bukan hanya dalam aspek kebangsaan tetapi juga dalam kemanusiaan. Keimanan kita boleh berbeda, tetapi kita tetap terikat oleh nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan," tambah dia.

Menurutnya, perayaan hari besar keagamaan seharusnya tidak hanya menjadi ritual semata, tetapi juga mendorong umat beragama untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih peduli terhadap sesama.

"Pesan utama dari Idulfitri maupun Nyepi adalah bagaimana kita menjadi manusia yang lebih baik setelahnya. Tidak hanya dalam hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat," ujar Muammar. (nabilah-shasa-hikma/C)

  • Bagikan