MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejati Sulsel terhadap Direktur PT Citra Lampia Helmut Hermawan Helmut Hermawan dinilai tidak tepat dan terkesan ngawur.
Hal itu disampaikan pengacara Helmut Hermawan, Tadjuddin Rachman dalam surat eksepsinya menanggapi dakwaan JPU yang menyebut kliennya dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu.
Pada pekan lalu, jaksa menjerat Helmut dengan Pasal 70 huruf 3, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110 atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu. Helmut sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sengaja memberi laporan dengan tidak benar dan menyampaikan keterangan palsu tentang pertambangan yang dilakukan oleh PT CLM di Kabupaten Luwu Timur. PT CLM diduga kelebihan produksi yang tidak sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 159 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tadjuddin mengatakan, secara singkat apa yang terjadi pada Helmut Hermawan adalah termasuk upaya kriminalisasi. Dimana sejak awal terbitnya Laporan Polisi (LP) model “A” dan proses BAP yang berujung pada surat dakwaan sebagaimana disampaikan dalam persidangan.
"Kami menilai, terbitnya LP (model “A”), tidak terlepas dari adanya pesanan dan kepentingan pihak tertentu yang bermula dari proses peristiwa perdata yang bermotif ingin menguasai lahan tambang milik terdakwa selaku Direktur Perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan)," ujar Tadjuddin, Selasa (16/5/2023).
Selain itu, Tadjuddin juga menyebut, dari jenis LP dan Pasal yang didakwakan kepada terdakwa merupakan persoalan administratif sehingga penyelesaiannya seharusnya bukan menggunakan instrument pidana. Termasuk juga fakta-fakta yang terjadi yang menyertai peristiwa hukum perjanjian atau perdata antara terdakwa selaku Direktur PT. Citra Lampia Mandiri (CLM) perseroan pemegang saham PT. Asia Pacific Mining Resources (APMR) dengan PT. Aserra Capital (AC) dan PT. Aserra Mineralindo Investama (AMI).
"Sangat jelas terlihat, bahwa peristiwa hukum yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap terdakwa," kata pengacara senior ini.
Hubungan keperdataan yang terjadi dinggap Tadjuddin sangat berkorelasi erat dengan perkara ini, atau pada pokoknya, PT. Aserra Capital (AC) dan PT. Aserra Mineralindo Investama (AMI) dengan hanya bermodalkan USD 2.000.000 telah menguasai dan mengambil alih APMR, CLM, lahan tambang, kantor operasional dan pelabuhan pengangkut hasil tambang dari nilai asset yang telah disepakati dalam Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB), yakni senilai USD 23.500.000.
Menurutnya, terdakwa telah dipaksa dan digiring untuk menyerahkan seluruh kepemilikan atas asset PT. CLM melalui instrumen pidana yang saat ini berlangsung.
"Dari uraian Surat Dakwaan yang sudah dibacakan, kami, Tim Penasihat Hukum menilai, bahwa Surat Dakwaan yang dibuat oleh JPU ngawur dan sama sekali tidak berdasar. Surat Dakwaan dibuat dengan lebih mengedepankan semangat untuk memenjarakan terdakwa dibandingkan dengan mengungkapkan kebenaran yang didasarkan atas fakta-fakta yang sebenarnya terjadi," tuturnya.
Selain itu, dalam kasus ini JPU juga dianggap tidak sepenuhnya memahami proses pembuatan laporan triwulan yang merupakan rangkaian proses komprehensif. Atau sejak mula persiapan, eksplorasi sampai tahap penjualan.
Rangkaian tahapan produksi nikel Perusahaan PT. CLM dari perencanaan, pengajuan RKAB, proses produksi, mekanisme pelaporan ke ESDM, pemeriksaan oleh surveyor independen, pembayaran royalti/PNBP, pengapalan, hingga pelaporan ke Syahbandar.
"Dari uraian Surat Dakwaan, terdakwa telah didakwa dengan membuat Laporan Triwulan I dan II yang tidak benar atau palsu padahal, yang berhak menilai benar atau tidak adalah Kementrian ESDM dalam hal ini Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Jika ada kesalahan atau kekeliruan, CLM akan mendapatkan teguran dari ESDM. Teguran atau pemberitahuan atas kekeliruan itu sama sekali tidak ada. Jika ada kekeliruan, maka dikenal istilah “revisi” atas Laporan Triwulan yang disampaikan dalam periode Triwulan berikutnya. Untuk itu Kami mempertanyakan, bagaimana cara membuat dakwaan, seolah-olah terdakwa telah membuat membuat Laporan Triwulan I dan II yang tidak benar atau palsu," sebutnya.
Bukan hanya itu, JPU juga dinilai secara sembrono, telah menuduh dalam dakwaannya, dengan menyatakan terdakwa selaku Direktur Utama PT. CLM meminta dan mengarahkan Ahmad Sobri, selaku Kepala Teknik Tambang PT. CLM untuk menyiapkan Laporan Triwulan III yang didalamnya memuat diantaranya realisasi produksi dari bulan Juli sampai dengan Oktober Tahun 2022 sebanyak 0 MT atau sama sekali tidak ada produksi biji nikel.
Padahal, kata Tadjuddin, faktanya produksi bijih nikel Triwulan III, bulan Juli sampai dengan bulan Oktober, memang belum dilaporkan oleh PT. CLM. Untuk itu JPU dianggap telah memanipulasi keterangan seolah-olah terdakwa yang menyuruh membuat Laporan Nol.
"Uraian-urain itu yang kami nilai ngawur dan tidak masuk akal, adalah terkait dengan tuduhan pembuatan Laporan Penjualan yang tidak benar, dengan uraian yang menyatakan, dan berdasarkan data pengapalan muatan biji nikel yang dijual oleh PT. CLM dari bulan Januari sampai dengan Oktober Tahun 2022 sesuai Laporan Bulanan Kegiatan Operasional Di Pelabuhan Yang Tidak Diusahakan TK. II dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Malili," imbuh Tadjuddin. (isak pasa'buan/B)