MAKASSAR, RAKYATSULSESL.CO - Tewasnya salah seorang santri di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran (PPTQ) Al-Imam Ashim Kampus II, Kota Makassar, berinisial AR (14) menuai sorotan publik. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga turut bersuara menyikapi kasus kekerasan dalam pondok pesantren tersebut.
AR meninggal dunia saat menjalani perawatan intensif di rumah sakit (RS) Grestelina Makassar, Selasa (20/2/2024) dini hari lalu, akibat penganiayaan yang dilakukan seniornya sendiri inisial AW (15). Penganiayaan terhadap korban terjadi di pondok pesantren tempat korban dan pelaku menimbah ilmu, 15 Februari 2024 lalu.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahms Sahroni merespons peristiwa nahas tersebut. Melalui akun Instagram pribadinya @ahmadsahroni88 yang diunggah, Kamis (22/2/2024), dia meminta Kepala Polda Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal Andi Rian Djajadi untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
"Pak Kapolda Sulsel mohon sangat bantuannya terkait kasus santri yang dianiaya seniornya sampe meninggal," ujar Sahroni.
Sahroni menegaskan, pelaku harus diberikan hukuman setimpal atas perbuatannya. "Berikan hukuman setimpal," ujar dia.
Politiku Partai NasDem itu juga menyinggung kasus kematian almarhum Dante yang merupakan anak selebriti Tamara Tyasmara. Dimana Dante diduga dibunuh oleh kekasih ibunya sendiri di kolam renang Taman Tirta Mas (Palem Indah), Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (27/1/2024).
"Kalo (kasus) almarhum Dante aja sampe akan kena hukuman mati, maka yang kejadian santri ini juga harus demikian," tulis Sahroni dalam unggahannya.
Sahroni juga meminta Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut kasus tersebut. "Mohon bantuan dan perhatian pak kapolri @listyosigitprabowo terimakasih pak atas bantuannya untuk keadilan," sambung dia.
Diceritakan kembali Ahmad Sahroni, peristiwa yang menimpa AR itu terjadi pada 15 Februari 2024 di pondok pesantren Al Imam Ashim Makassar.
"Terjadi pada saat jam istirahat, pelaku lalu mendatangi korban namun korban hanya tersenyum saat ditanyai oleh pelaku," tulis dia.
Dia menambahkan, pelaku menggiring korban keluar perpustakaan dengan menarik kera baju korban, lalu menganiaya dengan menendang menggunakan lututnya dan memukul kepala korban berkali-kali."Hingga pembuluh darah pecah di kepala," kata dia.
Untuk diketahui, kasus ini sudah dalam penanganan Unit PPA Satreskrim Polrestabes Makassar. Dimana terduga pelaku telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Undang-undang (UU) Perlindungan Anak, Pasal 80 Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002.
Pelaku berinisial AW (15) juga diketahui dalam waktu dekat akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan untuk proses hukum selanjutnya.
"Pasal yang diterapkan Pasal 80 (UU Perlindungan Anak). Dan untuk penanganan tetap sama dengan orang dewasa, cuma perlakuannya saja beda. Perlakuannya harus dilimpahkan karena waktu penanganan kami cuma 15 hari dan selesai," ujar Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Devi Sujana.
"Penyidik juga sudah koordinasi langsung dengan Kejaksaan agar mempermudah untuk pemberkasan," sambungnya.
Diketahui, AW nekad menganiaya juniornya berinisial AR (14) di pondok pesantren tersebut hingga dilarikan ke rumah sakit (RS) Grestelina Makassar, pada 15 Februari 2024 lalu. Namun dalam proses perawatan medis korban meninggal dunia, Selasa (20/2/2024).
Devi mengungkapkan, motif penganiayaan AW terhadap juniornya karena ketersinggungan. Dimana korban saat itu mengetuk jendela perpustakaan di pondok pesantren tempatnya belajar itu yang ternyata pelaku berada di situ.
"Pelaku merasa tersinggung, korban saat itu mengetuk-ngetuk kaca jendela perpustakaan, dimana pelaku sedang ada di situ," kata Devi.
Sebelum melakukan penganiayaan, berdasarkan keterangan pelaku dia menjelaskan sempat menanyakan maksud korban mengetuk-ngetuk kaca jendela perpustakaan tersebut. Korban yang tak menjawab pun langsung dianiaya pelaku menggunakan tangan kosong hingga dilarikan ke rumah sakit.
"Jadi sempat ditanya kenapa kamu ketuk-ketuk, korban hanya senyum lalu dipukul. Melakukan penganiayaan, seperti menyikut, kemudian dengan lutut, dan memukul di belakang telinga," beber dia.
Adapun dari keterangan dokter, kata Devi, korban mengalami luka pecah di bagian belakang kepala. Hal itulah yang menyebabkan korban meninggal dunia.
"Dari keterangan dokter ada luka pecah di bagian belakang kepala. Itu mungkin diperkirakan rusak di otak kecil yang menyebabkan gagal napas," beber Devi.
Dalam kasus ini, penyidik disebut masih terus melakukan pendalaman. Mulai dari memeriksa sejumlah rekaman CCTV di sekitar pondok pesantren juga mempelajari hasil pemeriksaan dokter selama korban dirawat di rumah sakit. Sedangkan untuk saksi yang telah diperiksa, Devi tak menjelaskan dari mana saja. Dia hanya menyampaikan jumlah saksi yang telah diperiksa sebanyak 5 orang.
"Kami melakukan pendalaman juga terkait saksi-saksi yang ada di TKP. Kami juga cek CCTV, nanti perkembangan kita sampaikan lagi. Saksi yang ada di sana 5 orang sudah kita periksa, termasuk pembina pengajar (pesantren). Kita masih dalami karena menurut keterangan saksi-saksi ini terjadi baru sekarang antara pelaku dengan korbannya sendiri," ujar Devi.
Sementara itu, pihak Pondok Pesantren Tahfizhul Qur'an Al Imam Ashim belum memberi konfirmasi mengenai kejadian tersebut. Namun ada pesan yang beredar di media sosial yang mengatasnamakan diri sebagai Humas pondok pesanten.
Dalam pesan itu menyebutkan permohonan maaf kepada seluruh pihak dan terkhusus kepada seluruh orang tua santri atas kejadian tersebut. Pihak pondok membenarkan kejadian tersebut, namun diklarifikasi bahwa tindakan tersebut tidak dikarenakan atas nama senioritas antara AF dan AL melainkan adanya unsur kesalahpahaman.
"Begitupun informasi tentang pengeroyokan, hal tersebut tidak benar adanya seperti yang diberitakan di media," tulis pernyataan tersebut.
Pihak pondok juga juga belum bisa menjelaskan lebih lanjut peristiwa itu oleh karena kasusnya sudah ditangani oleh pihak Kepolisian. "Kami berharap tetap menunggu hasil penyelidikan dari penyidik Kepolisian yang sedang berjalan," kata poesan tersebut. (isak pasa'buan/C)