Lawan Kesepian: Temu Waktu Bersama Orang Berharga

  • Bagikan
Ilustrasi Kesepian

RAKYATSULSEL - KESEPIAN sama mematikannya dengan kebiasaan merokok. Tahun lalu, WHO bahkan mendeklarasikan kesepian sebagai ancaman kesehatan global yang perlu segera diatasi. Dalam riset yang diinisiasi ahli bedah Amerika Serikat (AS) Dr Vivek Murthy diketahui bahwa dampak kesepian sama berbahayanya dengan dampak kesehatan gara-gara merokok 15 batang per hari.

"Peradangan dan produksi hormon kortisol makin kenceng sehingga muncul penyakit fisik maupun gangguan mental,” ungkap dr Damba Bestari SpKJ kepada Jawa Pos, Kamis (14/3). Pakar kesehatan jiwa FK Unair itu menyatakan bahwa kesepian atau loneliness adalah perasaan hampa, kosong karena tak terhubung dengan sekitarnya.

Donna –sapaan akrabnya– menilai, kondisi itu kini umum ditemui di masyarakat urban kota besar. Kesibukan padat, pendapatan dan karier stabil, serta lingkungan yang ramai tak menjamin seseorang merasa "utuh”.

"Padahal, merujuk ahli psikoanalisis Melanie Klein, basic instinct kita adalah keterhubungan dengan orang lain. Jadi, untuk menghindari kesepian, seseorang perlu merasa terkoneksi,” ujarnya.

Donna juga menegaskan bahwa loneliness berbeda dengan solitude atau kesendirian. Kesendirian adalah pilihan, yang justru membuat seseorang punya ruang untuk merefleksikan diri dan merasa cukup (content). Sementara itu, kesepian bukanlah pilihan dan sifatnya subjektif.

Psikiater sekaligus dosen tersebut menjelaskan, orang-orang kota hidup di tengah hustle culture. "Mereka terbiasa individualis, kompetitif. Lalu, support system tidak berfungsi,” imbuhnya.

Donna menilai, pemakaian gawai juga sangat memengaruhi tingkat kesepian. Dalam pemakaian wajar, gadget –khususnya untuk akses media sosial– membantu penggunanya terhubung dengan orang-orang terkasih. "Sisi buruknya, pemakaian berlebihan membuat orang merasa hyperconnected. Tapi, secara sosial, tidak. Contohnya saja, satu keluarga makan bersama, tapi sibuk dengan gawai masing-masing,” paparnya.

Di sisi lain, terpapar media sosial membuat seseorang malah merasa insecure dan FOMO (fear of missing out). "Akhirnya, muncul rasa sepi karena melihat pencapaian orang lain yang dinilai ’lebih’ dari kita,” tegas Donna. Jika dibiarkan, kesepian bisa memengaruhi kegiatan sehari-hari. Suasana hati berubah jadi mudah murung dan cemas.

Donna mengungkapkan, guna mengatasi kesepian, perlu waktu untuk healing atau memulihkan diri. Yakni, lewat bertemu dengan sahabat dan keluarga setidaknya seminggu sekali. Atau, 20 menit dalam sehari. "Dan kalau bisa, di alam terbuka atau tempat yang hijau. Sebab, secara ecopsychology, hal itu mendorong seseorang merasa terhubung,” lanjutnya.

Selain itu, orang terdekat bisa memberikan bantuan jika muncul perubahan sikap atau kebiasaan. ’’Mulai dari small talk. Intinya, buka pintu, bergantung mereka mau masuk atau tidak. Jika dianggap penting, ajak untuk mendapat bantuan profesional,” tegasnya. (jp/raksul)

  • Bagikan