Penulis: Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Demokrasi memang begitu mahal, bukan hanya menyangkut mahar politik saat kontestasi dimulai, tetapi demokrasi acapkali dikebiri dengan dalih atas nama rakyat walau diketahui bahwa ada intrik terselubung di balik kata “demokrasi atas nama rakyat”, demokrasi mengalami pemakzulan oleh sebagian mereka yang tamak kekuasaan.
Debat dan politik retorika yang mewarnai media semakin memberikan penafsiran tersendiri bahwa politik kita sementara dalam suasana “dibincangkan” bukan dipraktikkan.
Narasi yang diikuti tepuk tangan seakan membawa mata publik bahwa ia yang terbaik. Sebab yang asyik untuk didengar adalah siapa yang banyak menebar kebencian dan kesalahan. Politik dan demokrasi tidak berada lagi di ruang kesadaran kritis yang baik, bahkan melompat melewati nalar politik itu sendiri.
Sebuah negara dengan banyak pulau dan masyarakatnya yang plural adalah surga bagi berkembangkan sistem politik. Adalah menjadi hal yang biasa ketika banyak partai politik tumbuh di dalamnya, tetapi menjadi hal yang tidak biasa manakala partai politik hanya menjadi kendaraan politik tanpa ada landasan konstitusi yang mengaturnya dengan baik dan benar.
Perkembangan politik di Indonesia akhir-akhir ini sangat menyita perhatian publik. Tidak seharusnya publik ikut menanggung dosa-dosa para politisi tamak yang hanya bisa menghisap darah dan keringat rakyat.
Dari persoalan konflik internal partai, saling mencaci antara para elite politik, hilangnya moral dan etika dengan pergi bersenang-senang ke klub malam, menyaksikan video porno saat sidang paripurna, hingga korupsi dan manipulasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan.
Perhelatan kian diwarnai dengan berbagai ujaran yang tidak memberikan ruang pencerdasan bagi rakyat di dalam memasuki era transformasi demokrasi yang lebih baik. Cacian dan kebencian semakin mewarnai jejak-jejak berdemokrasi kita.
Beberapa partai politik baru, tapi dengan wajah lama mulai muncul berlomba-lomba untuk mencuri hati publik saat pemilu mendatang. Partai Berkarya yang dikomandoi oleh Hutomo Mandala Putra. Partai Perindo yang di nahkodai bos MNC, dan Partai Solidaritas Indonesia yang diketuai Kaesang Pangarep (putra presiden Jokowi) yang sesungguhnya lahir di tengah gelombang demokrasi dan runtuhnya trusting public.
Dalam situasi demikian ini fenomena itu bukanlah sesuatu yang beralasan salah, tetapi lebih kepada bahwa kemunculan partai baru ini adalah wujud perkembangan trans demokrasi yang cukup baik dari tahun ke tahun, walau sistem pengkaderan partai politik belum maksimal dalam proses edukasi politik kepada masyarakat.
Praktik Libido Politik
Alkisah, seorang raja yang tamak di sebuah negeri yang subur dan kaya. Raja tersebut selalu berbicara hal-hal yang baik dan mengharuskan rakyatnya melakukan hal-hal yang baik, tetapi Sang Raja tidak memberi contoh seperti yang dia ucapkan pada rakyatnya.
Dengan mata telanjang, rakyat menyaksikan sendiri bagaimana Sang Raja menyusun rencana agar kekuasaan yang dimilikinya itu bisa tetap aman bahkan dapat diturunkan kepada sanak keluarganya.
Kondisi tersebut menimbulkan proses inisiasi berkembangnya libido-libido politik dari individu-individu yang akhirnya mencontoh sikap Sang Raja. Individu-individu ini berlomba-lomba agar dapat memperoleh kekuasaan seperti Sang Raja.
Segala cara ditempuh bahkan menghisap darah rakyat pun akan dilakukan untuk memenuhi libido politik yang muncul. Sehingga dari sinilah “politik keturunan” dimulai yang kemudian melahirkan istilah “politik dinasti”.
Seorang Freudian yang mendalami teori Sigmund Freud mengenai perubahan personality individu pasti memahami bagaimana proses libidonisasi dalam diri seseorang itu mampu menguasai orang tersebut sehingga melakukan hal-hal yang unconscious dan irasional.
Ketika libido itu muncul dan menguasai diri seseorang, maka kondisi kognitifnya akan mengalami disonansi, tak dapat membedakan lagi mana hal yang boleh dilakukan dan tak boleh dilakukan, mana yang halal dan yang haram, dan jika dibiarkan maka akan merusak seluruh sendi-sendi kehidupan dari individu tersebut. Dan disinilah kadang publik mengalami kegoncangan psikologis yang kuat, termasuk dalam menentukan pilihan politiknya.
Katarsis publik
Katarsis atau catharsis, merupakan proses melepaskan segala hal yang mengganggu tingkat emosional individu, Sigmund Freud menjelaskannya pada teori Psikoanalisis. Dalam konteks tulisan ini, katarsis merupakan proses di mana publik telah amat sangat muak terhadap semua situasi dan kondisi politik negeri ini, publik perlu cara untuk melepaskan segala hal yang membuat frustasi.
Bagaimana tidak, di saat banyak TKI bermasalah di negeri orang, pengangguran dan kemiskinan bertambah, kekayaan alam banyak dikuasai asing, korupsi merajalela, para elite politik banyak menggunakan topeng kemunafikan, pelanggaran hukum, etika, moral, kecurangan dalam pemilu, serta kebohongan para elitis yang dipolitisasi---semua itu mendorong katarsis publik dengan protes, makian dan sarkasme diruang demokrasi.
Katarsis publik sering kita temui akhir-akhirini, publik melepaskan semua hal yang membuat frustasi dan depresi dengan cara bermacam-macam datang berduyun-duyun ke panggung-panggung dangdut pada perhelatan pemilu, bahkan sampai membuat rusuh, melakukan demo yang cenderung bersifat anarkis, mencorat-coret gedung wakil rakyat, dan lain-lain.
Seharusnya fenomena katarsis publik ini merupakan lecutan bagi para elite negeri ini, karena semakin banyak katarsis yang terjadi di wilayah publik, maka semakin bobrok kondisi sebuah negara dan kita sedang mengalaminya saat ini.
Padahal ruang publik adalah satu ruang ekspektasi di mana arus demokrasi bergerak sebagaimana ungkapan Jurgen Habermas tentang publik yang demikian penting dalam sistem politik. Tekanan psikologis manusia dengan antipati terhadap proses politik dalam demokrasi itu sangat dipengaruhi oleh “rusaknya demokrasi” ditangan elitnya. Seperti ketidakpuasan rakyat terhadap hasil pemilu—ditambah lagi dengan perilaku elit yang membodohi rakyatnya.
Oleh karena itu, segeralah menyingkirkan semua libido politik yang menguasai diri kalian wahai para politisi dan pejabat publik yang terhormat, karena jika dibiarkan akan sangat berbahaya bagi keadaban bangsa ini. Publik yang diterpa informasi negatif terus menerus dari para pemimpinnya, suatu saat pasti akan meledak, karena akumulasi katarsis yang kronis, dan secara psikologis sangat menyengsarakan hati dan jiwa rakyat.
Anthonio Lasardo Darocha dalam bukunya “Pembangkangan Civil Society, dengan tegas menyatakan bahwa pemberontakan dan revolusi kadang meledak apabila penguasa dan elit sudah tuli dan buta. Karena itu, untuk membangun demokrasi yang bernarasi nurani hendaknya politik dibangun dari lapis terdidik dengan kesadaran yang kritis sehingga lahir kedewasaan berpolitik yang baik.
Dan, Pemilu 2024 seakan membawa demokrasi ini di tengah “kematiannya”, kecemasan-kecemasan publik terhadap hasil sebuah proses politik menjadi mimpi buruk lima tahunan. Setidaknya hasil proses politik memberikan efek yang positif bagi kemajuan politik dan ekonomi.
Tetapi faktanya antrean beras murah, terancamnya dana BOS, subsidi BBM yang akan dicabut, pajak yang naik, bahkan yang tragis adalah korupsi yang merajalela---dan matinya marwah lembaga negara anti rasuah seperti KPK yang akhir-akhir ini (ketua KPK dalam kasus pemerasan terhadap Mantan Mentan SYL, belum lagi 75 orang pegawai KPK terindikasi pungli).
Fenomena itu akan memicu “katarsis publik” dan akan menganggap hukum telah mati, Dormiunt aliquando leges, nunquan moriuntur (hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati). Karena itu publik akan merasakan ketenangan bila hukum menjadi perisai sekaligus menjadi pagar sosial bagi publik untukterus mengontrol kekuasaan yang “libidois”.
“Tugas politik yang menyedihkan adalah menegakkan keadilan di dunia yang penuh dosa--Reinhold Niebuhr". (*)