MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam setiap momentum kontestasi politik tak pernah luput dari biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan. Mulai dari persiapan infrastruktur pemenangan, logistik, hingga mahar politik untuk mendapatkan 'tiket' dari partai politik sebagai kendaraan untuk ikut bertarung. Banyaknya angka mahar politik ini kemudian menjadi 'hantu' bagi calon kepala daerah potensial namun, lemah dalam hal finansial.
Bakal calon kepala daerah sudah harus mulai merogoh kantongnya saat mendaftar ke partai politik yang melakukan penjaringan. Dengan dalih uang administratif atau uang 'ketuk pintu', sejumlah partai yang membuka pendaftaran bakal calon kepala daerah mematok tarif. Nilainya bervariasi dengan maksimal Rp 5 juta.
Direktur Nurani Strategic, Nurmal Idrus mengatakan jumlah itu merupakan baru uang muka perkenalan. Bakal calon kepala daerah baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, belum dihadapkan pada lobi-lobi untuk membeli kursi di masing-masing partai sebagai modal untuk mengusung pasangan kandidat.
"Nilai tawar untuk setiap kursi bisa mencapai ratusan hingga miliaran rupiah," kata Nurmal, Rabu (15/5/2024).
Menurut dia, bakal calon kepala daerah dalam posisi berburu partai dan kursi mendapatkan kendaraan. Meski begitu, lanjut dia, mahar yang dipatok oleh partai politik semacam itu sangat sulit untuk dideteksi.
"Seperti kentut, ada baunya tapi tidak kelihatan wujudnya," imbuh bekas Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Makassar itu.
Menurut Nurmal, yang kerap menjadi konsultan politik, biaya yang harus dikeluarkan oleh calon untuk merebut kursi, sangat relatif. Dia mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besaran ongkos tersebut.
Nurmal memperkirakan, untuk kursi DPRD kabupaten kota bisa berkisar antara Rp 350-750 juta per kursi. Sedangkan untuk pemilihan gubernur, harga kursi DPRD provinsi di kisaran Rp 1,5-3 miliar per kursi.
Dia mengatakan, kandidat yang memiliki elektoral tinggi dan penerimaan pemilih yang bagus, maka mahar politik bisa lebih murah. "Mahar akan mahal bagi kandidat yang punya elektoral kurang bagus," beber Nurmal.
Selain itu, kata dia, kursi partai politik akan mahal bila menjadi penentu maju tidaknya seorang kandidat. Misalnya, bila partai tersebut dipakai untuk menggenapkan koalisi atau hanya kursi tambahan saja.
"Kalau untuk menggenapkan kekurangan kursi, maka bisa saja harganya mahal. Tetapi sebaliknya bila hanya menjadi parpol pendamping maka harganya bisa lebih murah," ujar dia.
Adapun, Direktur Profetik Institute, Muhammad Asratillah menyebutkan salah satu hal yang membuat demokrasi saat ini tidak berkualitas karena uang menjadi variabel utama, khususnya mengusung calon kepala daerah. Menurut dia, akibat faktor uang inilah, sehingga visi misi politik figur yang bersangkutan tak lagi menjadi hal yang penting.
"Dampaknya akan berkonsekuensi pada degradasi kualitas kepada daerah yang terpilih. Memang kita sadar bahwa menghadapi kontestasi politik membutuhkan biaya yang tidak sedikit," ujar Asratillah.
Namun, sambung dia, hal itu tidak bisa menjadi pembenaran bagi partai untuk membebankan seenak hati sejumlah uang kepada bakal calon yang mendaftar.
"Jikalau parpol hanya membebankan uang administrasi pendaftaran maka bukanlah sesuatu yang salah, namun lain cerita jika mewajibkan sejumlah uang dari ratusan juta hingga miliaran kepada bakal calon," kata Asratillah.
Menurut dia, parpol semestinya berbenah diri, sebab parpol menjadi lembaga politik yang menjembatani suksesnya agenda-agenda demokrasi.
"Karena hanya melalui parpol lah proses perekrutan politik berlangsung. Parpol mesti punya komitmen bahwa figur yang mereka jaring adalah orang-orang yang berintegritas, memiliki visi yang tajam, di samping memiliki kesiapan logistik," ucap dia.
Adapun pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Rizal Fauzi mengatakan mahar politik sebenarnya tidak serta merta lahir sebagai sesuatu yang akumulatif dalam artian parpol leluasa mematok nominal.
"Akan tetapi, pada perkembangannya mahar politik terjadi karena dua hal yakni karena rendahnya kepercayaan antara politisi dan partai politik," imbuh dia.
Rizal mencontohkan, partai politik mengusung kandidat karena berharap ada efek elektoral, tetapi banyak kepala daerah yang kemudian ketika terpilih tidak membantu partai politik yang mengusung. Bahkan banyak yang pindah partai politik dan menjadi ketua partai di partai lawannya.
Adapun hal ke dua, lanjut dia, banyak kasus partai politik hanya dianggap sebagai syarat administratif saja. Rizal mengatakan, pada saat kampanye parpol tidak aktif dilibatkan dalam pemenangan yang diakumulasikan oleh parpol dengan jumlah tertentu sehingga yang menjadi bagian tradisi mahar politik.
"Jadi sebenarnya mahar politik itu biasanya dihitung, misalnya, kalau kandidat itu kalau mau diusung oleh partai, maka semua tanggung jawab seperti dana saksi, rekrutmen, pelatihan sampai honorarium saksi didistribusikan anggarannya," ujar dia.
Hal lain yang menurut Rizal yang menjadi indikator parpol mematok mahar politik, karena partai juga berpikir bagaimana menghidupkan mesin-mesin politiknya. Dia menilai, masalah politik hari ini karena parpol tidak punya sumber pendanaan yang jelas selain dari iuran anggota dewan. Sehingga untuk menggerakkan cabang dan partai politik itu butuh anggaran.
"Kalau misalnya bisa diberdayakan kalau kepala daerahnya terpilih, bagus. Tapi menurut saya bahwa yang perlu dibangkitkan adalah rasa kepercayaan politisi dengan partai politik termasuk didalamnya adalah bagaimana partai politik memperlihatkan keseriusannya ketika mengusung kandidat," ujar Rizal.
Jadi yang perlu diperbaiki adalah bagaimana kemudian penguatan komitmen bersama. Harus ada komitmen bersama antara kandidat yang akan diusung dengan partai politik. Termasuk pembagian perannya sehingga operasional anggaran tidak di satu sisi memberatkan kandidat, di sisi lain berdampak elektoral pada keterpilihan kandidat.
Sekretaris I Golkar Sulsel, Andi Marzuki Wadeng, menyatakan dengan tegas bahwa di Golkar tidak ada istilah mahar politik. "Kami tidak mau mencampuri internal partai lain, kalau di partai lain ada mahar, di Golkar tidak ada seperti itu," ujar Marzuki.
Marzuki mengatakan penjaringan calon kepala daerah pada partai berlambang pohon beringin rindang itu murni berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh DPP. Salah satu indikatornya adalah hasil survei.
"Yang ada mungkin berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh DPP sebanyak tiga kali. Kalau ada yang mau bayar partai sekian-sekian, itu nda ada," kata Marzuki.
Adapun kriteria khusus Golkar untuk mengusung figur pada kontestasi Pilkada mendatang, Marzuki menyebut, rujukan utamanya adalah hasil survei selama tiga bulan berturut-turut. Selain itu, kata dia, keaktifan figur dalam meningkatkan elektabilitasnya serta pendekatannya kepada parpol calon koalisi Golkar.
"Kami di beberapa daerah harus berkoalisi dengan partai lain, jadi kandidat juga harus berusaha untuk melakukan pendekatan-pendekatan dengan partai lain selain Golkar. Itu yang menjadi perhatian kita selama ini," beber Marzuki.
Adapun Wakil Ketua Bidang Organisasi Kepartaian dan Keanggotaan (OKK) DPW NasDem Sulsel, Andi Tobo Haeruddin mengungkapkan tidak menjadikan kekuatan finansial sebagai ukuran untuk mengusung figur pada pilkada serentak.
"Kekuatan finansial itu kan berbanding lurus dengan kepentingan elektabilitas," ujar Tobo.
Artinya apa, sambung dia, tanpa finansial partai tidak bisa menggerakkan tim, alat-alat peraga, untuk memenuhi kebutuhan penunjang elektabilitas.
"Tapi NasDem tidak menjadikan kekuatan finansial itu jadi hal yang utama. Tapi sejauh mana figur ini bisa bermanfaat bagi rakyat," imbuh dia.
Tobo mengatakan bahwa untuk saat ini NasDem belum menentukan figur-figur mana saja yang potensial diusung pada perhelatan Pilkada dan Pilgub nanti. "Kami masih mendengar dulu apa saran dari akademisi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat," kata dia.
Dia mengatakan, NasDem masih dalam tahap mendengar aspirasi dari berbagai kalangan sebagai bahan pertimbangan untuk pengusungan kandidat nanti. "Sehingga kami ini sebagai pemenang tentu hati-hati untuk melihat figur. Karena bagaimanapun nanti kami tidak ingin salah memilih figur yang tidak sesuai dengan tujuan NasDem," ucap Tobo. (suryadi/C)