Saya hadir di dua momen peluncuran bukunya, tentang Sejarah Militer dan Orde Baru di Indonesia, di Aula Perpustakaan Nasional Jalan Salemba Raya dan di salah satu gedung milik TNI Angkatan Laut di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Di dua momen itu, saya ketemu, salaman, dan mendengar komentar bahagianya karena bukunya baru terbit dan diluncurkan. Setelah itu, saya mengambil jarak, memberikan kesempatan tamu-tamunya bersalaman Pak Salim Said.
Satu momen lainnya, di bulan April 2015, saya bersama ratusan perantau asal Sidrap di Jakarta, mendeklarasikan dan dilantik sebagai Pengurus Besar Keluarga Bugis Sidenreng Rappang (PB KEBUGIS) di Auditorium Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gatot Subroto. Ketika itu ada ratusan tamu dari kalangan pembesar Indonesia yang memiliki hubungan kultural dan emosional dengan Sulawesi Selatan, salah satunya adalah Pak Salim Said.
Saya menyapa beliau. Saya melihat beliau bahagia bisa jumpa dan reuni beberapa kawan lamanya. Hari itu, kami bagi stiker, “Keluarga Bugis Sidenreng Rappang.” Beberapa hari kemudian, dalam sebuah pertemuan, Pak Salim hadir dan menunjukkan saya stiker itu ditempel di sudut kanan mobilnya. Saya menilai beliau selalu merasa senang sebagai orang Bugis Sidrap.
Dugaan itu mendapatkan pembenaran ketika suatu hari Bapak H. M. Alwi Hamu berkisah bahwa, “Pak Salim ini orang Bugis Sidrap, putrinya bernama “Amparita,” panggilan Rita. Di kampung kami, Sidrap, memang terdapat nama sebuah “Kelurahan Amparita,” Kecamatan Tellu Limpoe, asal orang tua Pak Salim Said.