Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dengan regulasi baru yang ditegaskan dalam Undang-undang Pilkada, dan dipertegas secara rinci dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), maka partai politik dalam tingkatan DPC dan DPD atau sebutan lain yang berlainan istilahnya tidak lagi semena-mena dalam melakukan usungan tanpa restu atau persetujuan dari dewan pimpinan pusat (DPD) parpol terkait. Tidak heran kemudian pada awal pilkada secara langsung banyak sengketa yang terjadi antarpengurus parpol.
Dampaknya pascapilkada dilakukan pembersihan ketua dan sekretaris parpol pada tingkatan kabupaten dan krovinsi. Konflik bukan hanya dalam internal partai, tapi melebar pada stakeholder yang berkepentingan dengan proses pencalonan. Dalam hal ini melibatkan pasangan calon dan kompetitor yang gagal mendapatkan usungan akibat terjadinya dualisme dukungan.
Pada akhirnya KPU selaku penyelenggara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menentukan pasangan calon mana yang berhak untuk ditetapkan sebagai peserta pilkada. Siapapun yang ditetapkan KPU, maka berakhir juga pada sengketa di PTUN dan berlanjut pada sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam berbagai putusan MK, banyak permohonan yang dikabulkan. MK menyatakan KPU keliru dalam menetapkan pasangan calon yang ikut dalam kontestasi pilkada.
Dengan UU Pilkada yang saat ini menjadi pedoman penyelenggaraan pilkada serentak, kejadian usungan atau pencalonan ganda sudah tidak lagi terjadi. Banyak bakal calon pilkada yang menempuh jalan pintas dengan lebih intens melakukan lobi atau PDKT pada pengurus DPP yang berdomisili di Jakarta. Sebab pengalaman pilkada serentak yang telah dilaksanakan, banyak usungan dari DPC dan DPD yang dianulir atau diambil alih oleh DPP. Dan, hal tersebut dimungkinkan oleh UU Pilkada.
Bandingkan dengan usungan sebelum UU Pilkada diganti, apabila kepengurusan tingkat kabupaten atau provinsi sudah memberikan dukungan pada calon bupati atau gubernur, maka usungan pertama yang sah. Pengurus yang kemudian mengalihkan dukungan atas instruksi pengurus DPD tidak dianggap oleh KPU.
Sehingga hal yang lumrah jika penjaringan yang dilakukan kepengurusan parpol pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi, dan dilakukan intens termasuk mengukur popularitas dan elektabilitas bakal calon (balon) akhirnya tidak dianggap oleh DPP. Sebab jalan pintas yang telah dilakukan balon lebih efektif.
Dengan maraknya pemberitaan parpol atau koalisi parpol dalam mengusung calon sebelum masa pendaftaran dibuka oleh KPU, hal tersebut bukan bentuk final menuju kontestasi. Segala hal masih bisa berubah, ibaratnya sebelum janur kuning terpasang maka masih ada kesempatan untuk merebut parpol pengusung.
Tentu banyak faktor yang menentukan diusungnya seorang calon, di antaranya popularitas dan elektabilitas yang sejalan, calon adalah kader parpol, banyak materi yang dimiliki oleh calon. Dengan harapan dana tersebut akan dimaksimalkan dalam masa kampanye untuk meraup elektabilitas.
Parpol kemudian bersikap pragmatis dalam menentukan sikap. Terkadang pengumuman pasangan calon dilakukan pada masa injury time untuk menghindari kegaduhan dalam proses pendaftaran dari pihak-pihak yang merasa disingkirkan. (*)