Raden Ajeng Kartini: Minaz-Zulumaati ila al-Nuur

  • Bagikan
Waspada Santing, Akademisi Universitas Bosowa Makassar

‘’Saya bertekad memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.’’
(R.A. Kartini kepada Ny. Van Kol)

TANGGAL 21 April, setiap tahun, biasanya dirayakan masyarakat Indonesia, khususnya kaum Wanita sebagai Hari Kartini. Itu bentuk apresiasi karena Raden Ajeng (R.A.) Kartini dipandang sebagai simbol perjuangan kaum wanita Indonesia karena upayanya mendobrak kungkungan peran domestik kaum wanita menuju aktivitas di wilayah publik, secara proporsional.

Tanggal 21 April 2022, dalam suasana bulan suci Ramadhan 1443 H. Bulan penuh berkah, sehingga dimanfaatkan kaum muslimin membaca dan mengkaji Alquran. Tulisan ini berusaha, dalam batas tertentu, membahas peran Kartini dalam literasi Alquran, sesuai kondisi zamannya.

R.A. Kartini dilahirkan 21 April 1879 (wafat 13 September 1904). Putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat --Bupati Jepara, ketika itu-- dibesarkan sebagai priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Tanggal 2 Mei 1964, Presiden RI, Soekarno menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Nasional. Penetapannya dituangkan dalam SK Presiden No. 108 Tahun 1964. Melalui SK yang sama, Presiden mentapkan hari kelahiran Kartini, sebagai Hari Besar Nasional.

Semboyan Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya: wanita Belanda. Semboyan itu dijadikan judul buku kumpulan 87 surat Kartini yang dihimpun Armijn Pane, sastrawan, salah seorang pelopor Angkatan Pujangga Baru.

Belakangan, muncul perspektif spritual atas terjemahan Door Duisternis Tot Licht. Haryati Soebadio –yang diidentifikasi sebagai cucu tiri Kartini, menerjemahkan kalimat itu dengan: Dari Gelap Menuju Cahaya. Terjemahan versi Haryati “sepadan” dengan makna penggalan ayat dalam Q.S Al-Baqarah/2: 257: Minaz Zulumaati ilaa al-Nuur.

Beberapa informasi mengungkapkan, Kartini tidak sekadar berjuang untuk emansipasi kaum wanita. Ia juga tekun melakukan pengembaraan spritual dalam pembumian Kitab Suci Alquran. Suasana kebatinan Kartini dalam literasi spiritual diungkapkan melalui surat-suratnya.

Seorang murid yang belajar Islam, pada masa itu, harus sami’na wa ata’na kepada guru. Pantang untuk bertanya. Aturan berlaku umum, termasuk bagi Kartini. Ketika mencoba mendobrak suasana itu dengan menanyakan makna suatu ayat, Kartini dimarahi guru ngajinya.

Kegundahan Kartini menghadapi suasana belajar itu diungkapkan kepada sahabatnya, Stella Zihandelaar: ‘’Mengenai Islam, aku harus menceritakan apa? Bagaimana aku mencintai agamaku jika aku tak mengerti, tetapi tak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci; tak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini orang belajar Alquran, tetapi tak memahami yang dibaca. Aku pikir, adalah gila diajar membaca, tak diajar makna yang dibaca. Aku pikir, tak jadi orang solehpun tak apa-apa asalkan menjadi orang baik hati,’’ (6 November 1899).

Kekecewaan Kartini karena keingintahuannya terhadap Islam tersandera, diungkapkan pula kepada Ny. Abendanon, sahabatnya yang lain: ‘’Aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tak mau lagi membaca Alquran. Jangan-jangan, guruku pun tak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tak boleh mengerti apa artinya.’’ (15 Agustus 1902).

Keinginan Kartini memahami Islam, bergelora Kembali setelah menghadiri pengajian di kediaman pamannya, Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat. Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang --dikenal dengan Kyai Sholeh Darat-- yang ceramah, menjelaskan kandungan ummul kitab, surah Al-Fatihah. Untuk pertama kali Kartini mendengar terjemahan ayat-ayat Alquran. Ia menyimak kata demi kata yang pengajian sang Kyai.

Fadhila Sholeh, cuci Kyai Sholeh, mengungkapkan, usai pengajian, Kartini minta pamannya menemaninya menemui Kyai Sholeh. Terjadi dialog dalam pertemuan itu. ‘’Perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya orang berilmu menyembunyikan ilmunya,’’ kata Kartini.

‘’Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian,’’ Kyai Sholeh, balik bertanya. ‘’Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Kini telah terang sampai makna tersiratnya, sebab Romo Kyai menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,’’ jelas Kartini.
Kyai Sholeh tertegun, tidak langsung menjawab. Kartini melanjutkan, ‘’bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah swt. Aku heran mengapa selama ini ulama melarang penerjemahan Alquran dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran berisi bimbingan agar manusia hidup bahagia dan sejahtera?’’

Kartini memohon agar Kyai Sholeh berkenan menerjemahkan Alquran. Menurutnya, tak ada gunanya membaca kitab suci jika mengetahui artinya. Kyai Sholeh memenuhi harapan Kartini, menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa, dengan huruf pegon (bahasa Jawa dalam aksara Arab gundul) agar tidak dicurigai penguasa Belanda.
Terjemahan surat Al-Fatihah sampai surah Ibrahim, dihimpun dalam kitab yang diberi nama Faidhur-Rahman. Kitab itu dihadiahkan Kyai Sholeh sebagai kado perkawinan ketika Kartini menikah, 21 November 1903.

Melalui terjemahan itu Kartini mempelajari kandungan Alquran. Nuraninya tersentuh ketika membaca Q.S. Al-Baqarah/2: 257, ‘’Allah menjadi pelindung orang-orang yang beriman, mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman).’’

Faidhur-Rahman dari Kyai Sholeh menuntun Kartini menjalani transpormasi spiritual dan pembumian Alquran. Pandangan Kartini tentang Islam berubah. Kepada sahabatnya, Ny. Van Kol, Kartini menulis, ‘’Saya bertekad memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.’’

Pengkajian Kartini tak semata untuk menambah wawasan ilmu dan pemahamannya tentang Islam. Perenungannya telah memancarkan cahaya, meneguhkan imannya. Ia mengungkapkan getar-getar nuraninya dalam cita-rasa Iman-Islam kepada Ny. Abendanon, ‘’Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.’’ (1 Agustus 1903).

Apakah Door Duisternis Toot Licht berarti Habis Gelap Terbitlah Terang dalam versi Armijn Pane, atau Dari Gelap Menuju Cahaya karena terinspirasi pemahaman dan penghayatan Kartini terhadap ayat Minaz-Zulumaati Ilaa an-Nuur?
Wallahu a’lam bish-shawab*

Makassar, 17 Ramadhan 1443 H.

  • Bagikan