Polemik Masa Jabatan

  • Bagikan
Ema Husain Sofyan

Oleh: Ema Husain Sofyan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan kepala daerah serentak dijadwalkan pada 27 November 2024. Kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024.

Sebelum PKPU diterbitkan oleh KPU, ada wacana yang ingin memajukan pelaksanaan pilkada serentak nasional ke September 2024 dengan dalih stabilitas politik dan keamanan sebab belum terbentuk pemerintahan baru (baca: presiden).

Namun wacana majunya pilkada justru menguntungkan caleg yang terpilih di parlemen, sebab caleg terpilih tidak disyaratkan mundur untuk maju pilkada, karena sang caleg belum dilantik. Sebab pelantikan DPR RI tanggal 1 Oktober 2024 sedangkan pelaksanaan pilkada bulan September.

Jadi, calon yang gagal pada pilkada dan terpilih sebagai anggota parlemen tentunya yang bersangkutan akan kembali sebagai anggota parlemen.

Dengan masuknya tahapan Pilkada 2024, maka anggota parlemen yang akan maju pilkada sudah pasti berpikir panjang apakah akan maju pilkada atau tetap sebagai anggota legislatif. Mengingat pendaftaran pilkada dilakukan pada September atau lebih awal daripada pelantikan legislator terpilih.

Banyak juga pertanyaan yang penulis dengar soal apakah wali kota atau bupati yang akan maju pilgub diharuskan mundur. Menurut aturan terkait pilkada, kepala daerah baik bupati maupun wali kota apabila maju sebagai calon gubernur maka yang bersangkutan tidak diharuskan mundur, tapi cukup cuti apabila melakukan kampanye. Lain halnya jika bupati atau wali kota tersebut mengajukan diri sebagai cagub di provinsi lain atau di luar wilayah dia menjabat saat ini.

Hal lain yang lagi ramai dibicarakan adalah soal masa jabatan kepala daerah. Contohnya, Pilwalkot Makassar yang dilaksanakan pada tahun 2020 yang berarti seharusnya masa jabatan wali kota dan wakil wali kota berakhir pada 2025. Tapi, akibat pilkada serentak maka akan dilakukan pemangkasan masa jabatan. Sebagaimana amanah UU Pilkada.

Namun pemotongan masa jabatan tersebut disoal di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 11 kepala daerah di antaranya oleh Moh. Ramdhan Pomanto, Wali Kota Makassar. Wali Kota Makassar mengajukan pengujian terhadap Pasal 201 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) UU Pilkada.

Jadi hasil Pilkada tahun 2020 ada sejumlah 270 kepala daerah yang seharusnya masa jabatannya berakhir pada tahun 2025, bahkan ada yang baru dilantik pada tahun 2021 yang berarti masa jabatannya berakhir pada tahun 2026. Danny dkk menyoal agar Pilkada serentak dilakukan dua kali masing-masing akhir 2024 dan akhir 2025.
Namun sebelumnya, tepatnya 2022, MK pernah memutus uji materi terkait masa jabatan kepala daerah.

Permohonan diajukan oleh bupati dan wakil bupati Halmahera Utara. Namun MK menolak permohonan tersebut, dengan pertimbangan diantaranya para pemohon sebelumnya telah mengetahui jika kepala daerah hasil pilkada tahun 2020 masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2024 atau dengan kata lain tidak sampai lima tahun. Hakim MK menyatakan dalam keadaan normal UU mengatur masa jabatan selama lima tahun. Namun dalam kondisi khusus untuk keserentakan Pilkada 2024 masa jabatan hasil Pilkada 2020 dikurangi karena berakhir pada 2024.

Sebaiknya MK memberikan kepastian hukum secepatnya pada uji materi yang saat ini bergulir, sebelum masa pendaftaran Pilkada dimulai agar para kepala daerah bisa fokus menyelesaikan program kerja yang belum terlaksana. Sebagaimana MK fokus dalam memutus soal norma batas usia menjadi capres dan cawapres beberapa waktu yang lalu.

Apalagi beberapa bulan yang lalu MK memberikan kepastian hukum terkait masa jabatan gubernur dan wakil gubernur Jatim yang sebelumnya berdasarkan UU harus berakhir pada tahun 2023, namun kemudian MK menerima uji materi, sehingga jabatan gubernur Jatim pas lima tahun tepatnya 13 Pebruari 2024. (*)

  • Bagikan