Pengacara Terdakwa Kasus Honorarium Fiktif Satpol PP Makassar Terus Pertanyakan Audit Resmi

  • Bagikan
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan honorarium atau honorarium fiktif tunjangan operasional Satpol PP Kota Makassar di 14 kecamatan tahun 2017-2020 di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa (14/2/2023). Foto: ISAK PASA'BUAN/RAKYATSULSEL.

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kuasa hukum atau pengacara terdakwa kasus dugaan korupsi penyalahgunaan honorarium fiktif tunjangan operasional Satpol PP Kota Makassar di 14 kecamatan tahun 2017-2020 terus mempertanyakan hasil audit resmi dari lembaga audit negara atas kasus ini.

Pengacara terdakwa Iman Hud, Abdul Goffur mengatakan, dari beberapa saksi yang telah dihadirkan dalam sidang menyampaikan bahwa sebelum mencuatnya kasus ini, mereka telah di audit oleh pihak Inspektorat Kota Makassar. Dan selama proses audit itu dilakukan, tak ada temuan kerugian negara seperti yang dituduhkan pada kliennya.

"Yang selalu jadi pertanyaan saya, dari semua saksi mengatakan (pernah) di audit oleh Inspektorat Kota Makassar dan BPK, dan tiap tahun itu mereka di audit. Saya tanya apakah ada temuan? dan di jawab sampai detik ini tidak ada temuan. Terus saya tanya lagi, apakah pernah bertemu Inspektorat Provinsi Sulsel yang melakukan audit atau investigasi untuk temuan? (dijawab) tidak pernah," kata Goffur, Rabu (15/3/2023).

Goffur juga menyampaikan, jika hasil audit yang resmi belum dikeluarkan oleh lembaga audit negara, maka atas dasar apa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel menetapkan tersangka atas kasus ini. Termasuk, atas dasar sejumlah camat yang tugas di periode tersebut mengembalikan uang pengganti kerugian negara ke penyidik Kejati Sulsel.

"Jadi pertanyaannya, bagaimana caranya ini mereka (penyidik Kejati Sulsel) melakukan audit. Kan melakukan audit itu harus turun memeriksa dokumen secara langsung," terangnya.

"Saya pun kurang paham atas dasar apa (camat-camat) melakukan pengembalian. Selalu jadi pertanyaan, audit yang bagaimana dilakukan (penyidik), kan begitu tindak pidana korupsi. Harusnya secara tertulis hasil audit itu disampaikan. Sekian kerugian negara, dan itu semestinya dimiliki dulu oleh penyidik sebelum menetapkan tersangka," Goffur melanjutkan.

Dalam sidang sebelumnya, Goffur sempat menggali keterangan beberapa mantan camat terkait proses pengambilan uang kerugian negara ke penyidik Kejati Sulsel.

"Kan tadi bapak bilang diperiksa dua kali. Apakah pemeriksaan terakhir itu langsung disuruh kembalikan uang kerugian negara?," tanya Goffur kepada saksi Fadly Wellang dalam sidang sebelumnya.

Pertanyaan itu pun kemudian dijawab oleh Fadly Wellang, mantan Camat Mamajang. Dia menyampaikan, pengembalian uang kerugian negara dilakukan pada bulan November (2022).

Fadly Wellang bercerita, saat proses pengembalian uang diduga kerugian negara kepada penyidik Kejati Sulsel, dia bersama camat lainnya dikumpulkan oleh penyidik di suatu ruangan di gedung Kejati Sulsel lalu dipanggil satu per satu ke depan dan diperlihatkan berapa kerugian negara yang mereka harus ganti.

"Kami bersatu (disatukan di suatu tempat) baru dipanggil maju ke depan. (Disampaikan) Bahwa inilah yang harus dikembalikan nanti," tutur Fadly Wellang.

Mendengar hal itu, Goffur kemudian kembali bertanya, pada saat camat-camat dikumpulkan oleh penyidik Kejati Sulsel, hasil audit apa yang diperlihatkan. Mengingat hasil audit resmi baru dikeluarkan oleh Inspektorat Provinsi Sulsel per tanggal 1 Desember 2022.

"Ada tidak hasil audit diperlihatkan pada saat itu. Yang diperlihatkan itu apa, hasil catatan, coret-coret atau apa saja?," tanya Goffur.

Mendengar hal itu, saksi pun semuanya terdiam dan tak menjawab pertanyaan Goffur. "Jadi kalau disuruh kembalikan uang Rp1 miliar saat itu, dikembalikan juga," ujar Goffur.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel, Soetarmi yang ikut dikonfirmasi terkait hal tersebut menyampaikan, untuk penjelasan hasil audit resmi pihaknya melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mengahdirkan seorang saksi ahli di persidangan.

"Terkait audit pada perkara (honorarium) Satpol PP nanti akan dijelaskan oleh ahli yang dihadirkan oleh JPU. Nanti ahli yang menjelaskan soal itu audit. Ada waktunya kita akan hadirkan saksi ahli kemudian dia menjelaskan (hasil) audit," ujar Soetarmi.

Adapun saat disinggung soal dasar pengembalian uang kerugian negara sejumlah camat, Soetarmi menjawab bahwa itu adalah hasil penghitungan penyidik Kejati Sulsel atas kasus ini.

"Itu hanya penghitungan peyidik. Karena berdasarkan hasil penyidikan ada indikasi bahwa camat itu menerima. Yah kami minta kembalikan berdasarkan kesadarannya," ujar dia.

Lebih jauh, Soetarmi enggan berkomentar dalam terkait kasus yang sudah berproses di pengadilan ini. Dia mengatakan pihaknya juga menunggu keputusan majelis hakim nantinya.

"Nanti kita liat penetapannya majelis (Hakim) seperti apa. Yang jelas kita hanya menyodorkan alat bukti, kedua bukti perhitungan ahli, kalau nanti dinyatakan itu masih kurang kita tambah (alat buktinya). Jadi kita tidak bisa berkesimpulan. Kita liat saja fakta sidang nanti," pungkasnya.

Untuk diketahui, perkara ini mulai disidangkan pada 30 Januari 2023 di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Mantan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Makassar, Iman Hud dan Abdul Rahim, selaku mantan Kasi Pengendali dan Operasional Satpol PP Kota Makassar didudukkan sebagai terdakwa.

Dalam dakwan yang dibacakan oleh JPU menyebut bahwa terdakwa Iman Hud, Abdul Rahim, dan almarhum Muhammad Iqbal Asnan telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

"Terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau penunjukannya selaku Kepala Seksi Operasi dan Pengendalian Satpol PP Makassar,” kata JPU saat membacakan dakwaan.

Terdakwa dianggap telah melawan hukum dengan menyisipkan 123 nama Personil Satpol PP Kota Makassar ke dalam surat perintah penugasan kegiatan Patroli Kota (Patko), Keamanan dan Ketertiban Umum (Kamtibum) dan Pengendalian Massa (Dalmas) yang anggarannya bersumber pada DPA Satpol PP Kota Makassar tahun anggaran 2017 sampai dengan tahun 2020.

Termasuk pada kegiatan Pengawasan dan Pengamanan Ketertiban Umum Kecamatan yang anggarannya bersumber pada DPA 14 SKPD Kecamatan se-Kota Makassar tahun anggaran 2017 sampai dengan 2020. Terdakwa disebut merancang seakan-akan personil tersebut bertugas di Kecamatan atau bertugas di kegiatan Balaikota Makassar.

Konsep draft surat perintah tersebut langsung ditandatangani oleh terdakwa Iman Hud selaku Kasatpol PP Kota Makassar saat itu, selanjutnya surat perintah tersebut menjadi dasar pembayaran honorarium baik dari dana yang bersumber dari DPA Kecamatan maupun dari DPA Satpol PP Kota Makassar.

"Setelah honorarium dibayarkan Abdul Rahim kemudian menghubungi anggota Satpol PP yang namanya telah disisipkan dalam surat perintah tersebut untuk menyerahkan atau menyetorkan uang honorarium tersebut kepadanya, juga kepada terdakwa almarhum Iqbal Asnan," sebutnya.

"Sehingga Abdul Rahim telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 4,8 miliar sebagaimana Laporan Hasil Audit Inspektorat Daerah Propinsi Sulsel," sambungnya.

Atas perbuatan kedua terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.

“Primernya melanggar Pasal 2 ayat 1 tentang UU Tipikor lalu subsider Pasal 3 UU Korupsi dan alternatif yang kedua Pasal 12 E. Kedua terdakwa sama dakwaannya juncto 55 dan 64 berlanjut,” tutur JPU. (isak/B)

  • Bagikan