DKPP Sanksi Etik Tujuh Komisioner KPU RI, Ini Pendapat Akademikus Universitas Hasanuddin

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, melanggar etika setelah meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Para penyelenggara pemilu tersebut dinilai melanggar karena tidak segera berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah Peraturan KPU, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia capres-cawapres.

Pembacaan putusan dipimpin langsung oleh Ketua DKPP Heddy Lugito. DKPP memutuskan empat gugatan yang dilayangkan beberapa kalangan yang menyoroti pencalonan Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto.

DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan enam anggotanya. DKPP Hasyim bersama enam komisioner yakni Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, Muhammad Afifuddin, dan Parsadaan Harahap telah melanggar beberapa pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2027 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu.

DKPP menjelaskan pengadu tidak terima karena KPU telah menyalahi prosedur dalam membuat aturan penerimaan calon presiden dan wakil presiden.

Pengamat hukum dan politik dari Universitas Hasanuddin Profesor Amir Ilyas menyebut meskipun ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara atau KPU, tidak akan berdampak pada pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Amir menjelaskan, dalam putusan DKPP tersebut Ketua KPU bersama enam komisioner KPU lainnya dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu berkenaan dengan tidak cermat dan tidak profesional dalam menjalankan tugas serta melanggar PKPU Nomor 19 Tahun 2023 saat menerima pendaftaran Capres Cawapres. Dimana setelah menerima berkas, Ketua KPU langsung mengatakan bahwa dokumen paslon tersebut lengkap.

Ketua KPU Hasyim Asyari juga dinilai melanggar etik oleh DKPP karena menerbitkan surat edaran berkenaan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bukan ke internal KPU tetapi ke Parpol Peserta Pemilu.

"Tidak ada dampak atau implikasi hukumnya, berupa bisa membatalkan Prabowo-Gibran sebagai Paslon Presiden dan Wakil Presiden. Sebab putusan DKPP bukan menguji keabsahan produk hukum KPU (SK Penetapan Paslon). Tetapi hanya menilai apakah perbuatan atau tindakan yang menerima pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran terpenuhi sebagai pelanggaran etik," ujar Amir.

Dengan adanya putusan tersebut, banyak pihak mempertanyakan bagaimana publik akan menilai putusan DKPP tersebut untuk menentukan pilihan pada 14 Februari 2024 nanti. Namun menurut Amir, soal bagaimana penilaian publik atas putusan DKPP itu dalam hal menentukan pilihan merupakan soal persepsi yang hanya bisa diukur dengan survei atau hanya bisa diukur dalam perspektif politik dan sosiologis saja.

Dia menyebut, berkaca dari Putusan MK Nomor 90 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tidak ada pengaruh signifikan atas turunnya elektabilitas pasangan calon presiden nomor urut dua itu.

"Yah, besar kemungkinan dari putusan DKPP tersebut juga tidak akan terlalu memberi pengaruh juga untuk mengerek elektabilitasnya dan memberi insentif untuk dua paslon lawannya, sebab yang bisa memberikan pengaruh berkenaan dengan soal pelanggaran etik, hanya yang bersumber dari pemilih rasional yang berasal dari kelompok pengamat, pakar, dosen, dan warga sipil intelektual lainnya. Dan kelompok-kelompok itu khan jumlahnya sedikit," imbuh Amir.

Termasuk peluang untuk mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pesta demokrasi lima tahunan ini berdasarkan putusan DKPP tersebut dinilai sangat kecil kemungkinannya. Sebab menurutnya Amir, putusan DKPP bukan untuk menyoal absah atau sah tidaknya SK penetapan paslon itu.

Apalagi masa untuk menggugat SK Penetapan Paslon yaitu tiga hari kerja sejak SK tersebut ditetapkan, mengingat SK Penetapan Paslon dikeluarkan oleh KPU RI kemarin pada 13 November 2023. Sehingga kalau ada yang mau mengajukan gugatan sengketa proses Pemilu ke Bawaslu, lalu ke PTUN, dinilai sudah habis waktunya untuk mempersoalkan SK penetapan paslon tersebut.

"Tidak ada kemungkinannya untuk dibatalkan," tutur Amir.

Dengan begitu, KPU dalam menyiapkan putusan DKPP tersebut dikatakan harus lebih hati-hati lagi ke depannya dalam menyampaikan keterangan di depan publik, termasuk harus hati-hati dalam mengambil tindakan dan membuat keputusan yang berkenaan dengan sisa tahapan pemilu ini menuju hari pemungutan suara.

Sebab menurutnya bagaimanapun yang namanya pelanggaran etik memang tidak berdampak secara yuridis pada keabsahan pencalonan, keabsahan hasil pemilihan. Namun jika Komisioner KPU selalu terkena pelanggaran etik, utamanya ketuanya yang sudah ketiga kalinya dikenakan sanksi etik.

Pertama, kasus 'wanita emas'. Kedua, kasus pernyataannya mengenai proporsional tertutup, dan ketiga kasus pencalonan Prabowo-Gibran.

"Kepercayaan publik bisa terdeviasi atas integritas penyelenggara pemilu, lalu akan berimplikasi pada berkurangnya legitimasi hasil pemilu, dan ujungnya rakyat menolak hasil pemilu, khan yang rugi juga kita-kita, kalau negara ini chaos," imbuh dia. (isak pasa'buan/B)

  • Bagikan