PSU Tak Digelar Peluang Sengketa di MK

  • Bagikan
Ilustrasi (jawapos.com)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah merekomendasi sekitar 6 Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk melakukan Pemungutan suara ulang (PSU), namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menjalankan rekomendasi tersebut sehingga berpotensi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

Enam TPS tersebut tersebar di empat kabupaten/kota. Dua TPS di Maros, Dua TPS di Wajo, satu TPS di Bulukumba, dan satu TPS di Kepulauan Selayar.

Komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad menyebutkan rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh Bawaslu kabupaten/kota satu hari jelang batas akhir pelaksanaan PSU atau tanggal 23 Februari 2024.

“Kasus di Maros dan Bulukumba itu laporan. Itu terjadi saat rekapitulasi di tingkat kecamatan, jika ada yang memilih lebih dari satu kali, laporan ini kami proses. Dugaan tindak pidana sementara berjalan dan administrasinya juga dilanjutkan,” kata Saiful.

“Secara administrasi kami rekomendasi untuk PSU. Walaupun rekomendasi kami keluar hari ke-9. Sementara batas waktu PSU hanya 10 hari (setelah pemilu),” sambung dia.

Saiful menyebutkan KPU memiliki alasan untuk tidak menjalankan karena tidak ada lagi waktu untuk menyiapkan logistik terutama menyebarkan surat undangan kepada pemilih.

“Jadi kasus ini kami akan jelaskan (jika ada yang menggugat di MK). Tapi kami juga harus pahami KPU juga memiliki batas waktu melakukan PSU dan itu diatur juga oleh undang-undang yang hanya 10 hari (pasca pemilu),” imbuh dia.

Jika ada parpol yang tidak menerima hasil pemilu, kata Saiful, Bawaslu selaku pada pihak terkait dan kini telah dia persiapkan juga hasil pengawasannya mulai dari tingkat TPS, Kecamatan hingga TPS nanti.

“Pada prinsipnya kami sudah siap jika ada peserta Pemilu yang mengajukan sengketa di MK karena Bawaslu selaku pihak terkait,” ujar dia.

Komisioner Bawaslu Sulsel, Alamsyah melanjutkan KPU memiliki dasar sendiri sehingga tidak melakukan PSU. “Ada putusan MK, terkait kejadian tidak memungkinkan lagi, seperti masalah waktu,” katanya.

Alamsyah menyebutkan jika nantinya ada parpol tidak menerima karena KPU tidak melakukan PSU, saat ini sudah disiapkan bukti-bukti jika itu terjadi. “Nanti kita lihat lagi pasca putusan MK (jika ada menggugat) karena kewenangannya ada di MK,” ujar dia.

Sementara itu, KPU Kabupaten Maros, menolak melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di dua tempat pemungutan suara (TPS) sesuai rekomendasi Bawaslu. Tidak dilaksanakan (PSU), ada 2 TPS yaitu di Tompobulu dan Cenrana, sudah tidak cukup waktu kalau berdasarkan UU 7/2017 dan PKPU 25, batas pemungutan suara ulang itu 10 hari pasca hari H atau tanggal 24 Februari. KPU mengaku sudah tidak cukup waktu untuk menggelar PSU.

Ketua KPU Sulsel, Hasbullah mengatakan tidak dilaksanakan PSU oleh KPU Maros karena waktu sangat mepet. Apalagi persoalan logistik dari Jakarta dan rekomendasi yang terkesan tiba-tiba.

"Jadi KPU Maros itu mendapatkan rekomendasi PSU tanggal 23, itu sehari sebelum berakhir PSU sementara kita harus melaksanakan PSU tanggal 24. Di saat tanggal 23 surat rekomendasi diterima tidak mungkin lagi, KPU Maros menyiapkan logistik," ujar Hasbullah.

Menurutnya, dalam kesiapan PSU perlu Logistik harus sesuai dengan kebutuhan, surat pemberitahuan untuk semua TPS harus diberikan sebelum hari H. Dengan demikian, kondisi yang tidak memungkinkan sesuai terminologi hukumnya dalam MK dan dibenarkan kondisi itu tidak memungkinkan untuk dilaksanakan

"Jadi KPU Maros tidak menolak rekomendasinya tapi hari pelaksanaannya yang tidak memungkinkan lagi digelar sebagai UU Nomor 7 terkait dengan PSU yaitu 10 hari setelah hari pencoblosan itu jatuhnya tanggal 24, rekomendasi keluar tanggal 23," imbuh dia.

Kendala ini, kata dia, pihak KPU Maros berkesimpulan tidak bisa melaksanakan itu, bukan tidak menerima rekomendasi, tapi kondisi yang tidak dapat dilakukan "Makanya bagi kami apa yang dilakukan KPU Maros dengan alasan demikian itu adalah sudah sesuai dengan kondisi yang seharusnya dia lakukan, karena tidak mungkin kita memaksa," jelasnya.

"Surat suara harus kita pesan di Jawa, makanya itu tidak memungkinkan. Undangan pemanggilan juga tidak memungkinkan disaat keluarnya rekomendasi tanggal 23. Jadi itu masalahnya, bagi kami apa yang dilakukan KPU Maros sudah benar, tidak memungkinkan melaksanakan PSU," sambung dia.

Pihaknya sudah menerima alasan KPU Maros, dan sudah berkonsultasi ke KPU RI. Pihaknya menilai kondisi tidak memungkinkan untuk tidak dilakukan.

Ketua Partai Raih Kursi

Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus melakukan penghitungan suara dan memperbarui informasi hitung suara melalui situs resmi Pemilu 2024 https://pemilu2024.kpu.go.id. Data sementara menunjukkan sebagian ketua partai yang maju caleg berpeluang lolos.

Mereka adalah Ketua NasDem Sulsel Rusdi Masse, Ketua Gerindra Sulsel Andi Iwan Darmawan Aras, Ketua PDIP Sulsel Ridwan Andi Wittiri, dan Ketua PAN Sulsel Ashabul Kahfi). Mereka dipastikan lolos ke DPR Sulsel.
Ketua partai yang lolos di DPRD Sulsel yakni Ketua NasDem Makassar Andi Rachmatika Dewi, Ketua PKB Makassar Fauzi Andi Wawo, Ketua Golkar Makassar Munafri Arifuddin, dan Ketua PAN Kota Makassar Hamzah Hamid.

Ada juga ketua partai di Gowa yang diprediksi lolos ke DPRD Sulsel yaitu Ketua Gerindra Gowa Andi Tenri Indah, Ketua PAN Gowa Husniah Talenrang, dan Ketua Demokrat Gowa Rismawati Kadir Nyampa.

Andi Iwan Darmawan Aras mengapresiasi masyarakat di dapilnya yang masih tetap mempercayainya untuk duduk di DPR RI.

"Saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat di Sulsel, khusus di dapil II, yang telah berpartisipasi menggunakan hak pilih dalam pesta demokrasi pemilu 2024. yang berlangsung sukses, aman, lancar dan damai," ujar Iwan.

Ia mengajak semua pihak, terus menjaga stabilitas situasi keamanan ini hingga perhitungan selesai dan ada penetapan pemenang oleh KPU nantinya.

"Hal ini agar lebih mengedepankan politik santun dan jangan saling menjatuhkan. Saya berharap semua tim pemenangan bisa mengedepankan sikap sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi," ujar dia.

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Endang Sari mengatakan salah satu dilema dari penerapan sistem pemilihan langsung adalah tidak maksimalnya fungsi kaderisasi partai dalam menyuplai kepemimpinan publik karena dikalahkan oleh popularitas figur.

"Kita tahu bahwa pada pemilihan langsung, figur yang berkontestasi harus melalui tahapan dikenal, disukai, baru kemudian dipilih oleh pemilih. Nah, di tahap inilah figur populer biasanya lebih sukses merebut hati pemilih," ujar Endang.

Menurut dia, dalam kajian ilmu politik, perilaku memilih bisa dilihat dari beberapa pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan sosiologis. Dalam studi itu, diperoleh kesimpulan bahwa perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi.

"Juga afiliasi etnis, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain," imbuh dia.

"Pendekatan sosiologis meyakini bahwa preferensi politik,sebagaimana juga preferensi voting, adalah produk karakteristik sosio ekonomi, seperti pekerjaan, kelas, agama dan ideologi," sambung Endang.

Selanjutnya, kata dia, pemilih dilihat pendekatan psikologis, yang lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politik. Pendekatan ini mengembangkan konsep psikologi, khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku seseorang.

"Hasil penelitian mazhab psikologis ini menekankan kepada faktor variabel psikologis sebagai telaah utamanya yakni, ikatan emosional pada suatu partai politik (identitas partai). Jadi, orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat," ujar Endang. (fahrullah/suryadi/C)

  • Bagikan