Gubernur La Raiba Fihi

  • Bagikan

“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah/94: 6-7)

MASYARAKAT Sulawesi Selatan patut bersyukur kepada Allah, Tuhan Yangahad (Maha Esa), Yang Mahakuasa mewujudkan segala yang dikehendaki-Nya. Kamis, 7 Sha’ban 1443 H., bertepatan 10 Maret 2022, Presiden Joko Widodo melantik Andi Sudirman Sulaeman menjadi Gubernur Sulawesi Selatan sisa Periode 2018-2023.

Sebelumnya, Andi Sudirman dilantik sebagai Wakil Gubernur mendampingi Nurdin Abdullah. Namun, 28 Februari 2021 ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri menjadi pelaksana tugas gubernur setelah Nurdin Abdullah tersandung masalah: ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sunnatullah untuk meniti kepemimpinan publik yang lebih ‘memantang’ bagi putra Bone kelahiran 25 September 1983 ini, berjalan lempang. Sekitar 14 bulan menjadi pelaksana tugas, dilimpahi amanah: dubernur definitif, tanpa embel-embel pelaksana lagi.

***

Gubernur sebuah nomina, kepala pemerintahan pada tingkat provinsi. Jabatan itu bukanlah penanda kuasa seseorang yang memegang amanah, melainkan sebagai wadah pengabdian dalam pelayanan publik. Gubernur adalah seorang rais –dalam bahasa Arab– yang bermakna pemimpin. Rais bisa dimaknai akronim sosok pemimpin yang: Ramah; Amanah; Ikhlas; dan Syukur.

Gubernur sebagai seorang rais, diharapkan mampu bersikap ramah; baik hati, menarik budi bahasanya, manis tutur kata dan sikap serta perbuatannya, suka dan pandai bergaul, sehingga menyenangkan warga masyarakatnya. Masyarakat merasa tenteram dalam kepemimpinannya.

Rais dengan ramah melayani masyarakat tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan warna kulit, golongan, latar belakang suku, kelas ekonomi, keyakinan atau paham keagamaan, maupun ideologi politik.

Sifat dan sikap diskriminasi telah ‘ditutup’ pada detik pertama pelantikannya, sehingga tidak ada ruang kosong dalam sanubarinya menebar diskriminasi kepada masyarakat yang bukan konstituennya, bahkan terhadap rival politiknya. Baginya, tidak ada musuh politik. Rivalitas hanya terjadi selama proses kontestasi politik.

Gubernur seorang pemimpin yang amanah. Memahami bahwa kewenangan yang melekat pada jabatannya hanya titipan masyarakat guna mengatur dan menata kehidupan dalam berbagai aspek dan dimensinya.

Titipan itu diberikan karena dipercaya tidak akan sewenang-wenang dengan wewenang yang dititipkan padanya. Gubernur yang amanah menyadari bahwa jika sewenang-wenang, masyarakat dapat menarik dan mengambil kembali titipannya.

Gubernur adalah pemimpin yang ikhlas. Hatinya bersih dan tulus mengemban amanah yang dititipkan kepadanya. Ia mengamputasi seluruh maksud dan keinginan tersembunyi yang kadang muncul untuk memperkaya diri, memperalat jabatannya, baik disebabkan godaan kebutuhan hidupnya, maupun karena tuntutan keluarga, apatah lagi karena kerabat, dan sabahatnya.

Sifat serakah dan keinginan menyalahgunaan amanah untuk mengumpul dan menumpuk kekayaan yang bukan haknya, bagi gubernur yang ikhlas, telah ia tip-ex hitam-tebal sejak ia membulatkan niat mengikuti kontestasi pelayanan publik.

Gubernur adalah pemimpin yang pandai selalu bersyukur. Bersyukur dititipi jabatan gubernur. Ia sadar, jabatan itu diperoleh untuk kemenangan rakyat: seluruh warga masyarakat Sulawesi Selatan.

Rakyatlah pemilik sesunggunya jabatan itu, sehingga tak takabbur; tak merasa diri mulia, paling hebat, dan paling pandai yang hanya akan menyuburkan tumor angkuh dan parasit kesombongan yang berpotensi menjauhkannya dari rakyat.

Gubernur adalah seorang ‘wali’: wali terhadap rakyat Sulawesi Selatan. Wali, dalam perspektif bahasa Indonesia adalah nomina, yaitu kelas kata yang tidak dapat bergabung dengan kata tidak. Wali dalam perspektif agama atau adat adalah orang yang diserahi kewajiban penentu nasib pengantin perempuan dalam akad nikah; orang saleh atau suci; penyebar agama; kepala pemerintah; dan pemimpim.

***

Gubernur yang mampu menjadi rais yang ramah, amanah, ikhlas, dan selalu syukur, berikhtiar mengembangkan riyasa (kepemimpinan) yang me-wali. Ke-wali-an membawa muruah. Muruah jalan lempang bagi terbentuknya kewibaan.

Kewibaan karena muruah meneguhkan dukungan tulus. Dukungan membuahkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Gubernur yang me-wali mendapatkan predikat la raiba fihi (tidak ada keraguan dalam) kepemimpinannya.

Gubernur la raiba fihi, sejatinya adalah seorang pemimpin, bukan ‘pemimpi’. Gubernur la raiba fihi tak akan terbuai oleh mimpi-mimpinya, melainkan akan selalu berikhtiar, mewujudkan impian rakyat yang dipimpinnya, dalam kenyataan.

Gubernur la raiba fihi, tidak pernah kehilangan motivasi untuk berinovasi dan senantiasa menyandarkan ikhtiarnya pada sunnatullah (QS. Al-Insyirah/94: 6-7).

Tak pernah terbetik sedikitpun, untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan karena haqqul yakin, cara yang halal selalu lebih mulia. (*)

Wallahu a’lam Bish-Shawab.

Penulis: Waspada Santing
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar

  • Bagikan